Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sendirian di Hamburg?” sapa perempu-an- berambut pirang itu. Matanya demi-kian menggoda. Jika ber-mi-nat, sayang sekali, Anda tidak bisa langsung mengajaknya ber-kencan. Ya, karena perempuan itu hanya sebuah gambar dalam pamflet iklan rumah bordil milik Andreas.
Pamflet itu sudah disebar men-jelang Piala Dunia berlangsung- pada Juni ini. Dan ratusan ri-bu lagi akan dibagikan di setiap stadion yang menggelar laga bo-la- sejagat. Dengan insting bis-nisnya, Andreas memang punya cara sendiri menyemarakkan per-tandingan ”bal-balan” sedunia yang digelar di negerinya.
Bagaimana tidak, jutaan bola-ma-nia dari seluruh kolong bumi akan datang ke Jerman. Dan bagi pa-ra pria penggila bola yang da-tang sendirian, urusan menya-lurkan nafsu purbawinya tentu- men-jadi masalah. Maka, jauh-jauh hari Andreas sudah mem-pro-mosikan rumah bordilnya di Ham-burg.
Artemis, sebuah rumah bordil- lain di Berlin, tak kalah sema-ngat. Pemiliknya sudah menyiap-kan bangunan empat lantai di pu-sat kota, tak jauh dari stadion- Berlin. Pada hari biasa, tempat itu hanya buka dari pukul 22.00 hingga 05.00. Saat turnamen berlangsung, Artemis akan bu-ka 24 jam mengantisipasi jika ada supporter bola yang tiba-tiba ”kepingin”.
Menurut Norman Jacob, peng-acara yang mewakili rumah bordil Artemis, tempatnya mampu- menampung 750 tamu. Untuk da-pat memasuki gedung itu, para pencari kesenangan dikenai tiket- US$ 84 (Rp 756 ribu). Itu baru ti-ket masuk. Jika ingin jajan, te-tamu harus bernegosiasi sendi-ri dengan perempuan yang diinginkan. Tempat ini bebas alkohol dan semua pekerja seks memiliki izin kerja dari Uni Eropa.
Kenyamanan para tamu memang jadi perhatian para peng-usaha hiburan di Jerman. Jadi, jangan pernah merasa waswas bakal digerebek saat berasyik-masyuk di sana. Soalnya, Jerman telah melegalkan bisnis prostitusi sejak 2003. Sejak itu pula sekitar 175 ribu wanita Jerman menjalani profesi sebagai pemuas nafsu. Dalam setahun, nilai transaksi di dunia esek-esek ini diperkirakan mencapai US$ 4,5 miliar. Angka ini pasti melonjak dengan adanya serbuan penonton Piala Dunia.
Untuk menandingi lonjakan para tamu, kabarnya para peng-usaha rumah bordil siap mendatangkan 40-60 ribu wanita pekerja seks dari luar Jerman. Kebanyakan, ”legiun asing” pemuas nafsu ini datang dari negara-ne-ga-ra bekas Uni Soviet dan Eropa Ti-mur. Tentu saja mereka akan ber-praktek menyebar di kota-kota tempat pertandingan ber-lang-sung.
Semua itu diperbolehkan. Mar-ti-na Schmidhofer, anggota de-wan- Green Party yang bertanggung- ja-wab soal kesehatan seksual-, misal-nya, mengatakan Jerman adalah negara terbuka. Dan pemerintah- a-kan mengontrol praktek pelacu-r-an dengan undang-undang yang mereka miliki.
Rumah-rumah bordil memang beroperasi setelah mendapat izin pejabat setempat. Begitu juga dengan pekerja seksnya. ”Perhatian utama kami adalah bagaimana pekerja seks mempunyai kondisi pekerjaan yang baik,” kata Martina Schmidhofer. Pemerintah, kata dia, hanya mengambil tindakan jika ada peraturan yang dilanggar.
Tapi rencana itu segera meng-undang kecaman dari berba-gai penjuru dunia. Pengkritik mengkhawatirkan akan munculnya praktek perdagangan manusia- yang membonceng mobilisasi wanita penghibur dari berbagai negara tersebut. Pag-Asa, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Brussels, Belgia, adalah salah satu pihak yang menya-lakan lampu peringatan itu.
”Piala Dunia membuka ruang sangat luas terjadinya perdagang-an wanita,” kata Sally Beeckman, kriminolog Pag-Asa. LSM ini terkenal getol memberikan advokasi bagi para perempuan yang dipaksa melacur.
Beeckman menceritakan, be-lum- lama ini Pag-Asa menolong se-orang gadis yang dipaksa mela-cur-. Gadis itu, Ana, 20 tahun, ber-ha-sil melarikan diri dari gerombolan berandal yang menyekap-nya- sebulan lebih. Beeckman ya-kin-, korban seperti Ana akan ba-nyak ditemukan di Jerman sela-ma- berlangsungnya Piala Dunia. ”Jadi, komisi dan parlemen Eropa jangan menutup mata soal ini!”
Kritik juga datang dari anggo-ta parlemen Amerika Serikat. Adalah Christopher Smith, dari Partai Republik, yang menuduh pemerintah Jerman memfasilitasi pelacuran di sela Piala Dunia itu. ”Memberikan izin resmi merupakan pelanggaran serius perdagangan manusia,” kata dia. Smith menyebut kebijakan itu sebagai biadab.
Masih dari Negeri Abang Sam, seorang aktivis wanita setempat menuding peningkatan prostitusi itu dimaksudkan untuk meredam perilaku barbar para pendukung tim. Menurut dia, pria Eropa terbiasa membuat keributan dalam ajang akbar sepak bola. Mereka seperti gerombolan binatang buas dalam kegilaan irasional-. ”Apa-kah pemerintah Jerman berpikir bisa menguasai barbarisme itu dengan menyodorkan wanita untuk dianiaya?” cetus Janice Shaw Crouse, aktivis Concerned Women for America’s.
Suara tak kalah keras datang dari Claes Borgström, ombudsman untuk kesetaraan gender Swedia. Dia bahkan meminta tim nasional Swedia memboikot Piala Dunia. ”Boikot itu untuk memprotes prostitusi sebagai bentuk perbudakan modern,” katanya. Otoritas sepak bola Swedia tampaknya tak menggubris jeritan Borgstrom ini.
Protes boleh digeber. Tapi, uniknya, hasrat untuk mencicipi- peluang bisnis justru muncul da-ri kalangan pekerja seks sendi-ri. Porntip Pakwai, aktivis LSM Thailand Empower Foundation, mengungkapkan banyak pekerja seks Chiang Mai tertarik melebarkan sayap ke Jerman.
Para perempuan penghibur itu tak dikoordinasikan oleh rumah bordil Jerman, tapi nekat datang sendiri dengan visa wisatawan. Pakwai hanya bisa mengingatkan agar mereka berhati-hati. ”Pekerja seks sebaiknya menyim-pan nomor telepon kedutaan dan fotokopi identitas,” katanya. Dia mencemaskan mereka akan menjadi korban kekerasan dan mendapat perlakuan tidak adil. Apalagi wanita-wanita itu tidak bisa berbahasa asing.
Pakwai tak mengada-ada. Orga-nisasinya sudah sering mena-ngani kasus pekerja seks yang terjebak jaringan mafia. ”Mereka memaksa wanita-wanita itu melayani banyak pelanggan. Jika (wanita itu) menolak, mereka akan menahan paspor.”
Untuk mencegah hal buruk menimpa para pelacur, sebuah LSM yang berbasis di Afrika, Solwodi, membuka kantor di Jerman. Mereka membuka saluran khusus (hotline) untuk membantu para pelacur yang tertimpa masalah. Saluran yang ditangani 20 petugas itu akan melayani keluhan dalam bahasa Jerman, Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, Polandia, Rumania, dan Ukraina. Me-reka akan bekerja hingga 31 Juli—tiga pekan setelah ber-akhirnya Piala Dunia.
Menanggapi hiruk-pikuk sekitar dunia esek-esek ini, Presiden Badan Sepak Bola Dunia (FIFA), Sepp Blatter, angkat tangan. Dia menyatakan tak berwenang mencegah pelacuran dan perdagangan perempuan seiring berlangsungnya Piala Dunia. Hanya aparat hukum negara bersangkut-an yang bisa melakukannya.
Apa boleh buat, menggilanya- bisnis syahwat tak terelakkan-. Tapi, bagi para pemburu kese-nangan, silakan merenungkan pesan Martina Schmidhofer berikut, ”Pakailah kondom, dan jangan mengharapkan hubungan cinta.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo