Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Walau sempat duduk tingkat II FE Unkris, Rais Abin, mengaku bukan anak pintar. Si SSKAD (kini seskoad) ia hanya mampu mencapai ranking ke-33.

19 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAIS ABIN bukanlah anak pandai di sekolah. Itu pengakuannya. Dari SSKAD (kini SESKOAD) Bandung, ia lulus sebagai "juara kelas" pada urutan ke-33. Hanya saja ini bukan urutan terakhir, sebab masih banyak calon jenderal lain yang berada di bawahnya. Urutan pertama diduduki Soetopo Yoewono. Kedua: Tambunan, komandan SESKOAD sekarang. Adapun koleganya yang lain sesekolah, antaranya Makmun Murod, Widodo, Poniman, Sapardjo, Sumrahadi, Kaharuddin Nasution. Lahir di Kotagedang, Bukittinggi, 15 Agustus 1926, ia masuk sekolah pertanian di Sukabumi tahun 1944. Lalu bekerja di perkebunan karet Cikumpai dekat Purwakarta. Hari-hari pertama revolusi ia ikut angkat senjata. "Saya sendiri tak mengerti kenapa saya tertarik dunia militer. Barangkali karena terlibat elan pemuda yang waktu itu berkobar ingin membela tanah air", katanya minggu lalu. Meski begitu di tahun-tahun 50-an Rais masih sempat meneruskan SMAnya bahkan melanjutkan kuliah snpai tingkat II Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Jakarta. "Tapi almamater saya adalah TNI. Saya belajar dan sekolah-hidup di TNI". Halim Perdanakusumah Dan karirnya di TNI, selain langsung di medan pertempuran, juga dalam pendidikan "sangat darurat" selama 6 bulan di arkas Besar Tentara RI di Yogyakarta, Jalan Widoro. Tepatnya sejak 11 September 1945. Tahun-tahun berikutnya, menghadapi agresi Belanda I & II (1947-1949) ia sering ditugaskan ke Singapura, menyelundupkan senjata ke wilayah RI. Rombongan pertama bersama Kol. Umar Slamet, dulu komandan resimen. "Ketika itu komandan divisinya Pak Dirman". Kemudian disusul rombongan kedua: Laksda (Purn) John Lie (sekarang pengUsaha besar), Laksarrlana Pertama Koesno (bekas Pangkodamar Kalimantan, kini MPP), F. Salim (kini Dubes RI untuk Venezuela) dan Marsekal Halim Perdanakusumah (almarhum). "Ketika itu kita 'kan di blokir Belanda. Senjata kita sangat terbatas, cuma hasil rampasan Jepang ditambah senjata polisi". Senjata-senjata itu mereka dapatkan dari Singapura, Malaya dan Muangthai. Diselundupkan lewat Sumatera Utara Sumatera Selatan, dan Tegal. Belanda sangat ketat dalam penjagaan. Terutama di Tembilahan, Pekanbaru, Kualatungkal (Jambi). Karenanya tak selamanya misi seperti itu sukses. Marsekal Halim gugur di Singapura. Rais sendiri tertangkap, masuk penjara di Gunung Kijang pulau Bintan, Riau. Berkat persetujuan Roem-Royen (1948), para tawanan dipertukarkan. Rais sendiri dioper ke Tanjung Pinang. Tapi pada saat penyerahan kedaulatan 1949, Rais malah ikut sibuk. Ia turut mengurusi Para tawanan dan sibuk menyelenggarakan timbang terima dengan pihak yang menawannya. Dan kemudian bergabung dengan Komando Babiri (Bangka-Biliton-Riu). Beberapa waktu kemudian ia ditarik ke Nusatenggara, lantas diangkat sebagai kapten brigade di Denpasar, hingga ia pun langsung terlibat dalam kesibukan ikut menumpas pemberontakan RMS. Ketika itu komandan langsungnya Mayor Islam Salim, salah seorang putera Haji Agus Salim, kini pengusaha. Sedang komandan operasi gabungan penumpasannya Kolonel Alex Kawilarang. Setelah lulus SSKAD, ia menjabat Wakasdam di Denpasar. Kemudian Kastaf Peperda Sulawesi Selatan & Tenggara di Makasar (1959-1963) tapi masih juga sempat melanjutkan pendidikan pada Army Staff College (Australia) selama 2 bulan. Dua tahun kemudian, 1965, ia menjadi instruktur pada Pusat Infanteri di Bandung merangkap asisten pembinaan dan pengendalian. Empat tahun lagi sudah berada di Jakarta sebagai perwira urusan perencanaan dan anggota Lembaga Pengkajian Strategis (SUAD). Selain mengikuti kursus di Lemhanas ia juga mengikuti beberapa seminar di Okinawa dan Bangkok. Kawin Perak Sekarang ia sudah meningkat 51 tahun, 2 tahun lagi MPP. Ia bilang sudah lupa jumlah tanda jasa yang didapatnya. Yang terakhir adalah Medali Perdamaian PBB yang ia terima dari Sekjen PBB di gurun pasir Sinai. Bermarkas diIsma'iliyah (wilayah Mesir), Panglima UNEF ini menerima segala fasilitas dari PBB. Mungkin karena penghematan yang sangat ditekankan, di seluruh UNEF hanya ia sendirilah sebagai militer yang berstatus 'pejabat PBB'. Di waktu senggang ia lebih suka membaca buku-buku yang menyangkut politik dan ekonomi. Kadang-kadang main brij atau tenis. Isterinya, wartawan kawakan Dewi Rais (puteri Ratu Aminah Hidayat, tokoh wanita pergerakan dari Banten itu) kini mengikuti suaminya di Isma'iliyah. Ia sedang mempersiapkan buku sejarah perjuangan isteri tentara. Anak mereka yang pertama, Nyonya Yanti Loeis, membuka salon di Jakarta. Anak kedua, Radimita, kuliah di fakultas psikologi di Munster, Jerman Barat. Sedang yang bungsu, Andy Ahmad Hidayat, masih duduk di kelas II SMA 'Indonesia' di Kairo. Menurut adat Minang, konon si bungsu harus dekat dengan sang ayah. Mereka berdua memang bertemu seminggu sekali - meskipun tidak mutlak karena adat. Baru-baru ini perkawinan Rais-Dewi genap berusia 25 tahun. Biasa disebut kawin perak. Ditambah dengan kehadiran 2 orang cucu, mereka bersyukur kepada Tuhan: selama itu mereka dianugerahi kehidupan bersama sebagai kawan akrab yang sangat merasakan apresiasi satu sama lain, seperti dikatakan Nyonya. Selamat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus