Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Orang PBB Yang Indonesia

Suka dan duka selama bertugas di Timur Tengah. Mayjen Rais Abin, Panglima Unef, menceritakan pengalamannya menjaga pasukan Mesir dan Israel.

19 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH Rais Abin orang Indonesia, atau orang PBB? Mayor Jenderal yang sejak 1 Januari 1977 menjadi panglima UNEF (United Nations Emergency Forces), pasukan darurat PBB di Timur Tengah itu, bicara santai: "Saya ini sekarang 'dipinjamkan' Rl kepada PBB. Saya memang jadi 'sulit'. Sebagai orang PBB saya harus dapat 'mencairkan' aspirasi nasional saya. Tapi dalam mengambil keputusan hirarki saya hanya dengan sekjen PBB Jadi saya ini harus menempatkan aspirasi PBB di atas aspirasi Indonesia yang juga menjadi anggotanya" . . . Dua minggu lalu ia mudik ke Jakarta. Sebagai "orang PBB", ini tidak dianggap perjalanan dinas. "Saya harus melapor dulu kepada pemerintan saya", kata Rais kepada Sekjen Kurt Waldheim, tempat ia bertanggungjawab langsung. "Tidak perlu. Pemerintah tuan sudah mengizinkan tuan bertugas di sini, dan tuan hanya bertanggungjawah kepada kami". "Tapi kalau saya tidak pulang sekarang, saya bisa ditimpukin orang kampung saya", kata Rais berseloroh. Akhirnya diizinkan juga. Tapi itu berarti cuti, dan karenanya biaya perjalanan pun tidak ditanggung PBB. "Jadi saya pulang atas biaya Hankam". Kontradiksi Sejak di SESKOAD (d/h SSKAD) dulu, 1953 - atau malah sebelumnya-Rais Abin memang sudah tertarik pada masalah PBB. Atau persisnya: pada masalah hubungan antar manusia dan antar pihak. Ia sendiri punya keyakinan: betapapun majunya teknologi, untuk mencapai tujuan, yang terpenting tetap hubungan antar manusia. Tak heran, kertas karyanya untuk lulus SSKAD dalam mata-kuliah hukum internasional berjudul: 'Kontradiksi antara Hak Menggunakan Kekerasan oleh Dewan Keamanan dan Hak-Hak Asasi Manusia PBB'. Dan 20 tahun kemudian ia memang menjadi orang PBB. Sebelum pengangkatannya sebagai panglima UNEF itu, awal 1976 ia sudah menjabat kepala staf. Dan 5 bulan kemudian wakil panglima UNEF. Lalu 3 bulan sebelum jabatan panglima penuh, ia merangkap sebagai Pj. panglima setelah panglima yang lama ditarik oleh negaranya Swedia. Untuk menjadi panglima pasukan penengah seperti itu memang harus ada kerjasama yang baik dengan pihak-pihak yang bersengketa: Mesir dan Israel. Terutama Israel, karena RI tak punya hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Israel memang ketat. Sebelum Rais, tak seorang tentara PBB pun (dari negara-negara yang tak ada hubungan diplomatik dengan Israel) diizinkan masuk wilayah Arab yang didudukinya. Padahal bagaimana mungkin kami dapat melakukan tugas dengan baik kalau tak boleh masuk daerah-daerah pendudukan !", kata Rais. "Saya berharap, agar faktor 'hubungan antar negara' disisihkan dulu. Saya, misalnya, sekaraulg adalah orang PBB. Tapi "Saya bisa ditimpuki kalau saya boleh bergerak bebas, kenapa orang lain yang juga sama-sama orang PBB, tidak?" tambahnya. Maka sambil menunggu penegasan yang juga dimintanya dari Jakarta, sebagai percobaan Rais mengirimkan 11 anggota Kotindo (kontingen Indonesia) meninjau wilayan Israel. Bulan September 1976 ada penjelasan dari Mayjen Benny Murdani (Ass Intel Hankam). Kira-kira: 'prinsipnya tak ada larangan, tapi tak akan ada izin resmi dari kami atur saja jangan sampai menimbulkan efek politis di pihak Mesir". Toh masih ada syarat lain dari Israel: kunjungan-kunjungan tak boleh dipublikasikan dan harus diberitahukan 24 jam sebelumnya. "Maka sejauh itu setiap Jum'at anggota-anggota kita yang beragama Islam bersembahyang Jum'at di Masjidil Aqsha Jerusalem dan yang Kristen, hari Minggu beribadah ke Bethlehem, yang keduanya dikuasai Israel". 23 Bangsa Tentara UNEF II ini dibentuk 24 Oktober 1973 (pada ulang tahun PBB ke-28) sesudah gencatan senjata Mesir-lsrael. UNEF I dibentuk bulan Mei 1967, dan sempat "diusir" oleh Nasser. Atas prakarsa menteri luar negeri AS Henry Kissinger, dite~tukanlah daerah penyangga ~(buffer zone) di wilayah gurun Sinai yang hanya berbataskan drum-drum. Tentu saja kemudian dijaga oleh tentara UNEF, yang berkekuatan 4.500 personil. Luasnya meliputi lk. 7.000 KmÿFD. Ini sebenarnya wilayah kedaulatan Mesir yang diduduki Israel. Ke dalam jumlah tenara tersebut ditambahkan lagi 200 perwira dari 17 negara (yang diperbantukan kepada Mayjen Rais Abin) dengan status peninjau militer. Hingga jumlah semuanya meliputi 4.700 orang, terdiri lari 23 bangsa. Perlengkapan mereka: 1.400 kendaraan darat, 4 helikopter, 4 pesawat terbang biasa, 1 kapal laut. Sebelah-menyebelah daerah penyangga, masing-masing sejauh 20 Km, merupakan "daerah persenjataan terbatas". Masing-masing - Mesir dan srael - hanya boleh menempatkan 8.000 tentara, 72 meriaun dan 75 tank di situ. Tapi "penguasa darat" di daerah penyangga hanyalah pasukan-pasukan dari 4 negara: Indonesia, Ghana, Swedia dan Finlandia. Sebabnya: Polandia dan Kanada dianggap mewakili "blok timur/barat", dan karenanya hanya ditugasi mengurus soal-soal logistik, zeni, kesehatan, angkutan, administrasi. Juga Australia, yang hanya menyumbang satuan angkutan udara. Onta Masuk Potret Kotindo "Garuda" sendiri berkekuatan 510 orang. Pertengahan Maret ini tugas mereka berakhir, dan digantikan oleh Kotindo yang lain. Komandan barunya Kol. Soesanto (Yon 401 Kavaleri), mengantikan Kol. Inf. Soehirno. Kepada mereka dipercayakan sebagian daerah paling strategis: di sekitar Giddi Pass dan Mitla Pass. Kedua pass ini memegang peranan penting, baik dalam perang 1956, 1967 maupun 1973. "Hanya kedua pass itulah yang dapat dilalui kendaraan lapis baja (Armor) dan sebagainya. Daerah lainnya gurun pasir melulu. Jalannya keras, berbatu-batu. Tapi siapa yang menguasainya dengan mudah menguasai seluruh gurun Sinai", tutur Rais. Itulah sebabnya di sana di tempatkan 3 stasiun pengawas dengan daya jangkau 100 Km. Dua stasiun dikuasai Mesir dan Israel (diarahkan ke wilayah lawan masing-masing). Di tengah satu stasiun pengawas lagi yang dioperasikan pemerintah AS dengan kekuatan 100 orang. "Dan sebagian dari pengamanannya ditugaskan kepada Kotindo". Seminggu sekali, UNEF menginpeksi, baik ke daerah Mesir maupun Israel. Hari pertama, inspeksi kekuatan manusia dan persenjataan di darat. Hari kedua inspeksi peluru kendali. "Di sana tak boleh ada peluru kendali lebih dari yang telah ditentukan. Di sekitar Sinai sebenarnya paling banyak peluru kendali, dibanding dengan misalnya negara-negara di Asia Tenggara", kata Rais. Setiap hari hampir selalu diadakan pengintaian dari udara - kedua pihak diajak serta - dari ketinggian 35.000 feet (12.000 m). Hasil pemotretan dari udara ini, yang dilaporkan kepada Rais Abin, selalu menimbulkan sengketa - yang segera harus diselesaikan. Alat-alat pemotretnya begitu modern, hingga bisa menjangkau wilayah begitu luas dan sangat mendetil. "Sampai-sampai onta pun tertangkap di peta". Demikian pula halnya peralatan komunikasi. "Telepon siap selama 24 jam dan dengan mudah diadakan hubungan langsung ke Kairo, Tel Aviv, Jenewa atau New York". Badui Pengembara Dalam setiap pertemuan untuk menyelesaikan sengketa, duduk pula wakil-wakil AB Mesir dan Israel. "Syukurlah, sejak adanya daerah penyangga, sampai sekarang belum ada kejadian atau situasi yang buruk", kata Rais. Tapi pertemuan seperti itu, sesuai dengan perjanjian, tidak boleh dipublikasikan. Soalnya: perjanjian Sinai sebenarnya hanya antara Mesir dan Israel saja. Sedang negara-negara Arab lainnya (Libya dan Suria misalnya) menentang. Suatu saat tersiar potret pertemuan Mesir-Israel bersama UNEF. Maka kontan Presiden Assad dari Suria mengeksploitirnya dan menuduh Mesir "berkomplot dengan Israel". Soal lain yang mungkin dianggap "sepele" tapi bisa bikin puyeng adalah: berkeliarannya 9.000 orang Badui pengembara di daerah penyangga. Mereka jelas warganegara Mesir, tapi hidup di daerah kedaulatan Mesir yang diduduki UNEF ataupun Israel. "Sebagai negara yang bertanggungjawab, tentu saja Mesir berusaha melayani warganegaranya", kata Rais. Juga air merupakan bahan sengketa. Pipa-pipa air dari Bersheeba (wilayah Israel) tentu saja dilayani oleh orang-orang Yahudi. Mesir keberatan. "Mereka bukan tak mungkin mata-mata yang menyamar" - seraya mengusulkan pengambilan air dari Suez atau Isma'iliah (wilayah Mesir). Tapi ini terlalu jauh dan tidak praktis. Akhirnya disetujui: si Yahudi mesti memenuhi segudang syarat. Misalnya: harus betul-betul petugas DPU. Sebelumnya dicek dulu oleh petugas Palang Merah Internasional. Dikawal oleh UNEF. Ditunjuki tempat-tempat tertentu yang membutuhkan air. Memang. "Sehari saja tak ada air, lebih dari 3.000 pasukan bisa repot", kata Jenderal Rais. Di malam hari - ini masih bab suka duka -- sering pasukan UNEF dibikin jengkel. Suatu malam ada laporan pelanggaran batas diterima dari stasiun pengawas. Setelah diselidiki, ternyata cuma lepasnya sejumlah kambing atau onta yang berkeliaran. Ada lagi. Hampir setiap malam, drum-drum pembatas daerah penyangga yang rawan itu selalu dipindah - baik oleh tangan usil Israel ataupun Arab. Pokoknya oleh "mereka yang sama-sama cucu Nabi Ibrahim", kata Rais. Dan setiap kali pula pasukan UNEF mengembalikannya ke garis semula. "Lama-lama kita ini 'kan menjadi tukang drum!"... Tim Kesenian Kesatuan dari negara-negara lain, setiap 2 bulan sekali ditinjau pejabat dan pers masing-masing. Dan 3 bulan sekali dihibur oleh tim kesenian. "Tapi untuk Kotindo kurang ada peninjauan yang teratur. Tak ada pula hiburan. Anak-anak kita bisa kejangkitan penyakit rindu rumah dan bosan", kata Rais Abin yang kemudian merenung. Tiba-tiba meledak tawanya: "Satu bulan saja di sana, bisa saja tiba-tiba wajah onta menjadi cakep ! " . . . Tapi untung para prajurit kita murah senyum, tambahnya. Kata Rais, orang sana sangat mahal senyum. "Siapa nula yang suka tersenyum di padang tandus?" . . . Meski begitu, menurut Panglima, orang-orang Kotindo dapat mengambil pelajaran di sana. Suasana tengah gurun yang hampir tanpa tetumbuhan sebyi pun (pohon korma cuma satu dua), dan tak ada oase, "bisa menambah kecintaan kepada tanah air". Tentu saja bertugas di daerah konflik Timur Tengah bukan sekedar menambah kesadaran tersebut. Orang memang boleh mempunyai aspirasi politik atau ideologi tertentu. Tapi melihat bahwa dalam pertikaian selama 30 tahun, begitu banyak korban jatuh di kalangan rakyat, rasa prihatin merupakan satu hal yang galib. Karenanya, bagi 'panglima gurun pasir' ini, "menunda peperangan saja sudah satu sumbangan yang besar. Apalagi kalau sampai bisa mengundurkan kedua pasukan, hingga akhirnya bisa meneken perdamaian". Barangkali itulah sebabnya ia, yang yakin sekali pentingnya 'hubungan antar manusia', dengan bahagia menerima tugas sebagai orang Indonesia pertama yang menjadi panglima UNEF itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus