APAKAH Rais Abin orang Indonesia, atau orang PBB? Mayor
Jenderal yang sejak 1 Januari 1977 menjadi panglima UNEF (United
Nations Emergency Forces), pasukan darurat PBB di Timur Tengah
itu, bicara santai:
"Saya ini sekarang 'dipinjamkan' Rl kepada PBB. Saya memang jadi
'sulit'. Sebagai orang PBB saya harus dapat 'mencairkan'
aspirasi nasional saya. Tapi dalam mengambil keputusan hirarki
saya hanya dengan sekjen PBB Jadi saya ini harus menempatkan
aspirasi PBB di atas aspirasi Indonesia yang juga menjadi
anggotanya" . . .
Dua minggu lalu ia mudik ke Jakarta. Sebagai "orang PBB", ini
tidak dianggap perjalanan dinas.
"Saya harus melapor dulu kepada pemerintan saya", kata Rais
kepada Sekjen Kurt Waldheim, tempat ia bertanggungjawab
langsung.
"Tidak perlu. Pemerintah tuan sudah mengizinkan tuan bertugas
di sini, dan tuan hanya bertanggungjawah kepada kami".
"Tapi kalau saya tidak pulang sekarang, saya bisa ditimpukin
orang kampung saya", kata Rais berseloroh.
Akhirnya diizinkan juga. Tapi itu berarti cuti, dan karenanya
biaya perjalanan pun tidak ditanggung PBB. "Jadi saya pulang
atas biaya Hankam".
Kontradiksi
Sejak di SESKOAD (d/h SSKAD) dulu, 1953 - atau malah
sebelumnya-Rais Abin memang sudah tertarik pada masalah PBB.
Atau persisnya: pada masalah hubungan antar manusia dan antar
pihak. Ia sendiri punya keyakinan: betapapun majunya teknologi,
untuk mencapai tujuan, yang terpenting tetap hubungan antar
manusia. Tak heran, kertas karyanya untuk lulus SSKAD dalam
mata-kuliah hukum internasional berjudul: 'Kontradiksi antara
Hak Menggunakan Kekerasan oleh Dewan Keamanan dan Hak-Hak Asasi
Manusia PBB'.
Dan 20 tahun kemudian ia memang menjadi orang PBB. Sebelum
pengangkatannya sebagai panglima UNEF itu, awal 1976 ia sudah
menjabat kepala staf. Dan 5 bulan kemudian wakil panglima UNEF.
Lalu 3 bulan sebelum jabatan panglima penuh, ia merangkap
sebagai Pj. panglima setelah panglima yang lama ditarik oleh
negaranya Swedia. Untuk menjadi panglima pasukan penengah
seperti itu memang harus ada kerjasama yang baik dengan
pihak-pihak yang bersengketa: Mesir dan Israel. Terutama Israel,
karena RI tak punya hubungan diplomatik dengan negara tersebut.
Israel memang ketat. Sebelum Rais, tak seorang tentara PBB pun
(dari negara-negara yang tak ada hubungan diplomatik dengan
Israel) diizinkan masuk wilayah Arab yang didudukinya. Padahal
bagaimana mungkin kami dapat melakukan tugas dengan baik kalau
tak boleh masuk daerah-daerah pendudukan !", kata Rais. "Saya
berharap, agar faktor 'hubungan antar negara' disisihkan dulu.
Saya, misalnya, sekaraulg adalah orang PBB. Tapi "Saya bisa
ditimpuki kalau saya boleh bergerak bebas, kenapa orang lain
yang juga sama-sama orang PBB, tidak?" tambahnya. Maka sambil
menunggu penegasan yang juga dimintanya dari Jakarta, sebagai
percobaan Rais mengirimkan 11 anggota Kotindo (kontingen
Indonesia) meninjau wilayan Israel.
Bulan September 1976 ada penjelasan dari Mayjen Benny Murdani
(Ass Intel Hankam). Kira-kira: 'prinsipnya tak ada larangan,
tapi tak akan ada izin resmi dari kami atur saja jangan sampai
menimbulkan efek politis di pihak Mesir". Toh masih ada syarat
lain dari Israel: kunjungan-kunjungan tak boleh dipublikasikan
dan harus diberitahukan 24 jam sebelumnya. "Maka sejauh itu
setiap Jum'at anggota-anggota kita yang beragama Islam
bersembahyang Jum'at di Masjidil Aqsha Jerusalem dan yang
Kristen, hari Minggu beribadah ke Bethlehem, yang keduanya
dikuasai Israel".
23 Bangsa
Tentara UNEF II ini dibentuk 24 Oktober 1973 (pada ulang tahun
PBB ke-28) sesudah gencatan senjata Mesir-lsrael. UNEF I
dibentuk bulan Mei 1967, dan sempat "diusir" oleh Nasser. Atas
prakarsa menteri luar negeri AS Henry Kissinger, dite~tukanlah
daerah penyangga ~(buffer zone) di wilayah gurun Sinai yang
hanya berbataskan drum-drum. Tentu saja kemudian dijaga oleh
tentara UNEF, yang berkekuatan 4.500 personil. Luasnya meliputi
lk. 7.000 KmÿFD. Ini sebenarnya wilayah kedaulatan Mesir yang
diduduki Israel.
Ke dalam jumlah tenara tersebut ditambahkan lagi 200 perwira
dari 17 negara (yang diperbantukan kepada Mayjen Rais Abin)
dengan status peninjau militer. Hingga jumlah semuanya meliputi
4.700 orang, terdiri lari 23 bangsa. Perlengkapan mereka: 1.400
kendaraan darat, 4 helikopter, 4 pesawat terbang biasa, 1 kapal
laut. Sebelah-menyebelah daerah penyangga, masing-masing sejauh
20 Km, merupakan "daerah persenjataan terbatas". Masing-masing -
Mesir dan srael - hanya boleh menempatkan 8.000 tentara, 72
meriaun dan 75 tank di situ.
Tapi "penguasa darat" di daerah penyangga hanyalah
pasukan-pasukan dari 4 negara: Indonesia, Ghana, Swedia dan
Finlandia. Sebabnya: Polandia dan Kanada dianggap mewakili "blok
timur/barat", dan karenanya hanya ditugasi mengurus soal-soal
logistik, zeni, kesehatan, angkutan, administrasi. Juga
Australia, yang hanya menyumbang satuan angkutan udara.
Onta Masuk Potret
Kotindo "Garuda" sendiri berkekuatan 510 orang. Pertengahan
Maret ini tugas mereka berakhir, dan digantikan oleh Kotindo
yang lain. Komandan barunya Kol. Soesanto (Yon 401 Kavaleri),
mengantikan Kol. Inf. Soehirno. Kepada mereka dipercayakan
sebagian daerah paling strategis: di sekitar Giddi Pass dan
Mitla Pass.
Kedua pass ini memegang peranan penting, baik dalam perang 1956,
1967 maupun 1973. "Hanya kedua pass itulah yang dapat dilalui
kendaraan lapis baja (Armor) dan sebagainya. Daerah lainnya
gurun pasir melulu. Jalannya keras, berbatu-batu. Tapi siapa
yang menguasainya dengan mudah menguasai seluruh gurun Sinai",
tutur Rais.
Itulah sebabnya di sana di tempatkan 3 stasiun pengawas dengan
daya jangkau 100 Km. Dua stasiun dikuasai Mesir dan Israel
(diarahkan ke wilayah lawan masing-masing). Di tengah satu
stasiun pengawas lagi yang dioperasikan pemerintah AS dengan
kekuatan 100 orang. "Dan sebagian dari pengamanannya ditugaskan
kepada Kotindo".
Seminggu sekali, UNEF menginpeksi, baik ke daerah Mesir maupun
Israel. Hari pertama, inspeksi kekuatan manusia dan persenjataan
di darat. Hari kedua inspeksi peluru kendali. "Di sana tak boleh
ada peluru kendali lebih dari yang telah ditentukan. Di sekitar
Sinai sebenarnya paling banyak peluru kendali, dibanding dengan
misalnya negara-negara di Asia Tenggara", kata Rais. Setiap hari
hampir selalu diadakan pengintaian dari udara - kedua pihak
diajak serta - dari ketinggian 35.000 feet (12.000 m).
Hasil pemotretan dari udara ini, yang dilaporkan kepada Rais
Abin, selalu menimbulkan sengketa - yang segera harus
diselesaikan. Alat-alat pemotretnya begitu modern, hingga bisa
menjangkau wilayah begitu luas dan sangat mendetil.
"Sampai-sampai onta pun tertangkap di peta". Demikian pula
halnya peralatan komunikasi. "Telepon siap selama 24 jam dan
dengan mudah diadakan hubungan langsung ke Kairo, Tel Aviv,
Jenewa atau New York".
Badui Pengembara
Dalam setiap pertemuan untuk menyelesaikan sengketa, duduk pula
wakil-wakil AB Mesir dan Israel. "Syukurlah, sejak adanya daerah
penyangga, sampai sekarang belum ada kejadian atau situasi yang
buruk", kata Rais. Tapi pertemuan seperti itu, sesuai dengan
perjanjian, tidak boleh dipublikasikan.
Soalnya: perjanjian Sinai sebenarnya hanya antara Mesir dan
Israel saja. Sedang negara-negara Arab lainnya (Libya dan Suria
misalnya) menentang. Suatu saat tersiar potret pertemuan
Mesir-Israel bersama UNEF. Maka kontan Presiden Assad dari
Suria mengeksploitirnya dan menuduh Mesir "berkomplot dengan
Israel".
Soal lain yang mungkin dianggap "sepele" tapi bisa bikin puyeng
adalah: berkeliarannya 9.000 orang Badui pengembara di daerah
penyangga. Mereka jelas warganegara Mesir, tapi hidup di daerah
kedaulatan Mesir yang diduduki UNEF ataupun Israel. "Sebagai
negara yang bertanggungjawab, tentu saja Mesir berusaha melayani
warganegaranya", kata Rais.
Juga air merupakan bahan sengketa. Pipa-pipa air dari Bersheeba
(wilayah Israel) tentu saja dilayani oleh orang-orang Yahudi.
Mesir keberatan. "Mereka bukan tak mungkin mata-mata yang
menyamar" - seraya mengusulkan pengambilan air dari Suez atau
Isma'iliah (wilayah Mesir). Tapi ini terlalu jauh dan tidak
praktis. Akhirnya disetujui: si Yahudi mesti memenuhi segudang
syarat. Misalnya: harus betul-betul petugas DPU. Sebelumnya
dicek dulu oleh petugas Palang Merah Internasional. Dikawal oleh
UNEF. Ditunjuki tempat-tempat tertentu yang membutuhkan air.
Memang. "Sehari saja tak ada air, lebih dari 3.000 pasukan bisa
repot", kata Jenderal Rais.
Di malam hari - ini masih bab suka duka -- sering pasukan UNEF
dibikin jengkel. Suatu malam ada laporan pelanggaran batas
diterima dari stasiun pengawas. Setelah diselidiki, ternyata
cuma lepasnya sejumlah kambing atau onta yang berkeliaran. Ada
lagi. Hampir setiap malam, drum-drum pembatas daerah penyangga
yang rawan itu selalu dipindah - baik oleh tangan usil Israel
ataupun Arab. Pokoknya oleh "mereka yang sama-sama cucu Nabi
Ibrahim", kata Rais. Dan setiap kali pula pasukan UNEF
mengembalikannya ke garis semula. "Lama-lama kita ini 'kan
menjadi tukang drum!"...
Tim Kesenian
Kesatuan dari negara-negara lain, setiap 2 bulan sekali ditinjau
pejabat dan pers masing-masing. Dan 3 bulan sekali dihibur oleh
tim kesenian. "Tapi untuk Kotindo kurang ada peninjauan yang
teratur. Tak ada pula hiburan. Anak-anak kita bisa kejangkitan
penyakit rindu rumah dan bosan", kata Rais Abin yang kemudian
merenung. Tiba-tiba meledak tawanya: "Satu bulan saja di sana,
bisa saja tiba-tiba wajah onta menjadi cakep ! " . . .
Tapi untung para prajurit kita murah senyum, tambahnya. Kata
Rais, orang sana sangat mahal senyum. "Siapa nula yang suka
tersenyum di padang tandus?" . . . Meski begitu, menurut
Panglima, orang-orang Kotindo dapat mengambil pelajaran di sana.
Suasana tengah gurun yang hampir tanpa tetumbuhan sebyi pun
(pohon korma cuma satu dua), dan tak ada oase, "bisa menambah
kecintaan kepada tanah air".
Tentu saja bertugas di daerah konflik Timur Tengah bukan sekedar
menambah kesadaran tersebut. Orang memang boleh mempunyai
aspirasi politik atau ideologi tertentu. Tapi melihat bahwa
dalam pertikaian selama 30 tahun, begitu banyak korban jatuh di
kalangan rakyat, rasa prihatin merupakan satu hal yang galib.
Karenanya, bagi 'panglima gurun pasir' ini, "menunda peperangan
saja sudah satu sumbangan yang besar. Apalagi kalau sampai bisa
mengundurkan kedua pasukan, hingga akhirnya bisa meneken
perdamaian".
Barangkali itulah sebabnya ia, yang yakin sekali pentingnya
'hubungan antar manusia', dengan bahagia menerima tugas sebagai
orang Indonesia pertama yang menjadi panglima UNEF itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini