SUDAH lama datang dari Paris, sudah banyak menulis artikel
musik, baru kali ini Slamet Abdul Sjukur menampilkan karyanya di
TIM. 1 Maret itu, Teater Arena memungut banyak penonton. Mungkin
di antaranya benar-benar ingin tahu apa yang sudah dikerjakan
komponis yang bertahun-tahun mengembara di negeri Napoleon itu.
Penampilan itu dinamakan Parentheses I-II. Dalam kamus, kata itu
diartikan sebagai tanda kurung, atau kalimat sisipan. Komposisi
ini dipentaskan pertama kali di Paris tahun 1972 atas pesanan
'Deutche de la Meurthe'. "Karya ini dibuat 5 tahun yang lalu
buat masyarakat Perancis yang sudah terlalu biasa dengan
kejutan-kejutan. Niatnya bukan membuat sensasi (masihkah kita
percaya pada sensasi) melainkan mau melinat apa yang masih bisa
dilakukan", bunyi folder.
Getir
Dalam arena yang kosong tampak sebuah piano. Seorang penari
balet terbaring, cahaya dari sudut arena tumpah ke kepalanya.
Slamet yang mengenakan pakaian hitam dengan tenang duduk di
belakang piano. Pertunjukan dimulai dengan gerak kecil yang
lambat dari penari Dewi Rani. Koreografi yang dikerjakan oleh
Renate Pook + Deni Carey itu memberi asosiasi seakan sedang ada
proses kelahiran kehidupan. Tekun dan rumit, menyentuh ruang
perlahan-lahan sekali. Sementara sunyi menekan sekali. Dalam
kesunyian itu dapat dirasakan deburan hati penonton yang
menunggu dengan tegang atau berharap dengan berdebar apa yang
akan terjadi. Tak ada yang tahu apakah penari itu akan berdiri
atau apakah piano akan dimainkan.
"Tari dan musik di sini tidak sekedar mencerminkan satu sama
lain. Yang penting justru akibat yang menjadakan kehadiran
masing-masing untuk mencapai dimensi lain. Bahan dan
pemikirannya mungkin sesuatu yang lain buat Indonesia", demikian
sedikit penjelasan lagi dalam folder. Lalu tiba-tiba saja
menghentak secuil bunyi dari tangan Slamet. Tak lama kemudian
dia berdiri, dan membuka tutup piano, memainkan dawai instrumen
itu langsung dengan bendabenda seperti paku atau pensil.
Terdengar bunyi gemerisik. Terdengar suara-suara yang menembus
suasana hening itu,bagaibatin yang sedang "menggumam". Penari
berdiri, mulai melanjutkan gerakan-gerakannya mengarungi arena.
menyarankan percobaannya untuk memasuki "sesuatu yang lebih
nyata dalam kehidupan". Toh makin lama makin terasa betapa
keringnya penataan gerak Pook + Carey yang dibawakan dengan
ketrampilan agak terbatas dari penarl.
Merayu Penonton
Suara dari sunyi. Dinamika dari sesuatu yang kosong. Gerak dari
sesuatu yang diam, merupakan bagian penting musik Slamet. Ia pun
sempat membersitkan beberapa bagian gemuruh, bergelora bahkan
kadangkala melodius, romantis tapi keras dan getir. Melenggang
kangkung, bermanis-manis dan kemudian meratap barangkali adalah
beberapa hal yang tak dilakukannya, karena begitu sibuk
menyelusuri suara dalam hening yang sedang digarap.
Folder memang dengan tepat mengucapkan makna pergelaran. Yakni
Perancis pada tahun 1972, yang bertopang di pundak segala macam
karya-karya besar dan segala macam kejutan dan eksperimen yang
baik maupun yang buruk. Dan bila ini terjadi di arena malam itu,
kita jadi benar-benar melihat potret Perancis 1972 dalam versi
bunyi. Yang barangkali saja bisa menerbitkan rasa kecut:
alangkah kaku, alangkah sedih dan alangkah terbatas sesuatu yang
bisa dilakukan lagi, sesudah begitu banyak yang digarap sejarah
sampai saat ini.
Keteguhan Slamet merupakan sesuatu yang menarik malam itu.
Selain sibuk mengamat-amati apa yang hendak dilakukan sang
penari serta yang bisa didengar telinga, kita juga repot membagi
perhatian supaya dapat mengamati apa yang hendak dikerjakan
Slamet dengan piano sumbat itu. Barangkali di sini, musik telah
kembali menjadi sesuatu yang "sakral". Bahwa penampilan Slamet
bukan lagi semacam hiburan, tetapi ajakan untuk berpikir
bersama-sama. Ada disiplin yang keras dan formil. Ada semacam
jalan fikiran yang dengan jelas terasa ditawarkan dalam
penampilan ini.
Meskipun bunyi yang bisa didengar cukup memancing kita untuk
dengan merdeka melanjutkannya dengan asosiasi dan imajinasi
bermacam ragam tergantung dari latar belakang setiap penonton -
tetapi jelas semuanya sangat rasionil. Barangkali inilah yang
menyebabkan apa yang bisa dialami malam itu lebih banyak meminta
daripada memberi. Secara psikologis barangkali dia mengajarkan
penonton untuk aktip mencipta, setidak-tidaknya menjabarkan
kembali pengertian tentang "waktu". Tetapi andaikan ini
pemmainan, situasi penonton malam itu sedemikian rupa. Sehingga
usai penampilan, baru semuanya tahu bagaimana cara untukhadir.
"Ada satu saat sang penari menghampiri piano. Lalu kedua orang
itu sama-sama membungkuk memperhatikan sesuatu dalam piano. Juga
terdengar suara siul. Penonton benar-benar diajak untuk
menajamkan lagi perasaan dan terutama pendengaran setelah
digasak oleh bising ibukota. Dan pada akhir penampilan, sebuah
kursi turun dari langit-langit. Sang penari mendekati barang
itu. Menyentuhnya. Kursi jatuh menimpa lantai. Piano gemuruh -
dan tiba-tiba putus di tengah. Pertunjukan selesai dalam keadaan
gelap.
Itulah agaknya saat paling dramatis dari seluruh pertunjukan.
Meskipun saat itu tidak akan menjadi begitu mengesankan, kalau
kita tidak diajak menyepi, dan terbenam dalam diri sendiri
begilu lama.
"Buat saya penonton nggak saya fikirkan. Merayu perhatian
penonton sedikitpun nggak ada", kata Slamet kepada TEMPO. "Bahwa
musik saya aneh sudah anda dengar. Tapi saya tidak membutuhkan
sensasi, saya tidak mengharapkannya". Ia bilang, seandainya
hanya ada 1 orang di antara 10 ribu penonton yang mengerti
musiknya, maka 1 orang itulah yang akan diperhatikannya. "Yang
1 orang itu tidak ada dalam pergelaran saya di TIM yang lalu.
Yang ada hanyalah orang-orang yang punya 4 fikiran dan berlapang
dada untuk menerima sesuatu yang tidak biasa".
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini