Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Dipimpin Duplikat Worang

Dalam pembangunan desa Pakuweru dan sekitarnya tergolong miskin dan ketinggalan dibandingkan dengan desa lain. kemudian dibawah pimpinan camat F. Palar daerah itu mampu bangun kembali.

19 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARANGKALI semangat dan cara kerja Gubernur Worang, berbekas di desa Pakuweru. Sebab desa yang berpenduduk 1.635 jiwa ini, kebetulan terbilang desa yang paling menonjol setidaknya dua tahun terakhir ini di Kecamatan Tenga. Kecamatan yang satu ini tentu pula menarik perhatian di Sulut sebab dipimpin oleh seorang camat yang dijuluki duplicat Worang di tingkat kecamatan. Tak lain karena sang camat bernama Felix Palar yang Peltu-AD dan bekas ajudan Gubernur Worang yang setia. Belakangan ajudan ini dihadiahi Worang jabatan camat di Kecamatan Tenga, sebagai salah satu dari sekian bekas ajudan dan pengawal gubernur yang sudah ditingkatkan nasibnya. Dan memang ketika Felix Palar dilantik tahun 1975 memimpin kecamatan yang paling parah keadaannya di Kabupaten Minahasa, rakyat setempat agak ngeri menyambut kedatangan sang duplikat Worang yang senantiasa berbaju hijau di saat itu. Kecamatan Tenga berproduksi 700 ton kopra sebulan. Dan yang jadi pilot proyek nampaknya adalah desa Pakuweru. Adapun keadaan desa ini di waktu lalu, digambarkan sebagai sebuah desa yang terlelap di bawah selimut kemiskinan di tengah kawasan yang kaya. Pokok utamanya menurut Kepala Desa S.L. Langi, di waktu itu penduduk setempat dibuai oleh kekayaan desanya tanpa penyuluhan bagaimana seharusnya memanfaatkan dana yang ada guna peningkatan taraf hidup bersama. Dalam situasi hidup begini, terluang kesempatan bagi para tengkulak merayapi celah-celah pohon kelapa dan menjerat petani yang lagi tidur itu dengan ijon. Tetapi sejak Palar turun ke sana keadaan dirubah secara drastis. Terdengarlah pekikan dan umpatan seakan romusha mulai digalakkan di desa ini. Di dalam suasana baru ini, tak jarang terdengar pula suara bagaimana tangan besi sang camat menggusur segala tantangan yang dihadapinya. Tindakan ini terpaksa ditempuh meskipun ia harus menerima risiko digelari camat tukang pukul. Juga Monumen Dua tahun kemudian agaknya gagasan-gagasan Worang yang dibawa oleh bekas ajudannya, setidaknya mulai diakui juga hasilnya oleh mereka yang tadinya ribut-ribut. Sebab dengan bangga Hukum tua desa Pakuweru memamerkan kepada setiap tamu yang berkunjung ke desanya, apa yang dinamakan kehidupan orde baru yang nyata di desanya. "Selama dua tahun terakhir, sudah berhasil digarap dan dimanfaatkan dana sebesar Rp 105 juta melalui swadaya murni masyarakat", tutur Hukumtua SL. Langi Dengan dana sebesar itu yang tentu pula ditopang oleh tenaga rakyat lewat gotong royong desa Pakuweru digalakkan. Tercogoklah sekarang Balai Desa yang termegah di Sulut, karena bangunannya berlantai tiga di bagian depan, dan berfungsi serba guna, dengan luas yang dapat menampung seluruh warga desa. Selain itu pagar dalam desa sepanjang 3 Km berhasil dibeton. Beberapa buah gereja dan sebuah gedung SD berdiri dan tak lupa sebagaimana kesukaan Gubernur Worang, di desa ini dibangun pula sebuah monumen para perintis desa seharga hampir Rp 2 juta. Di samping hasil swadaya masyarakat ini, pihak PUTL sempat pula melirik desa Pakuweru dengan memberikan jatah 50 buah rumah melalui proyek pemugaran rumah. Meskipun proyek ini hanya berbentuk pemberjan perangsang sebesar Rp 25.000 per rumah plus penyuluhan tentang pembuatan rumah murah, tapi gagasan ini nampaknya cukup menolong. Bukan saja berhasil memancing gairah rakyat untuk membangun rumah yang layak, tetapi juga membawa pembaharuan yang nyata di desa ini. "Sebab Bamudes (Badan musyawarah desa) sudah menyusun prograrn, tahun 1980 semua rumah penduduk di desa ini sudah harus beton", kata Hukumtua S.L. Langi dengan yakin. Koperasi Janji Langi ini agaknya bukan sekedar rencana di atas kertas mengingat potensi desa serta perkembangannya. Dengan produksi kopra 90 ton/bulan, serta hasil padi dari 38 ha yang diolah secara Inmas, belum lagi hasil ladang berupa padi dan jagung yang dituai dua kali setahun pemuka-pemuka masyarakat yang terhimpun dalam Bamudes itu, yakin akan kemampuan penduduk yang terdiri dari 365 KK itu. Untuk itu pula setiap KK diwajibkan menggarap ladang, paling kecil 100 x 70 meter alias satu bau. Pasal pengumpulan dana untuk kas desa, ditetapkan aturan melalui musyawarah. Yaitu setiap petani kelapa harus merelakan Rp 1/kg dari kopranya yang langsung dipotong oleh Koperasi Amalgamasi, satu-satunya tempat penjualan kopra yang dibolehkan. Selain itu sang koperasi mengembalikan pula Rp 0,50/kg dari kopra yang dibelinya di desa itu. Mereka yang karena pekerjaannya tak boleh ikut dalam kerja gotong royong pembangunan desa, dimintakan menebus Rp 400/minggu. Bukan itu saja, tapi para warga desa yang bermukim di perantauan, dikirimi pula amplop yang diharapkan untuk dikembalikan setelah berisi. Barangkali dengan cara-cara beginilah, salah satu desa di Sulut ini sempat digalakkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus