BARANGKALI semangat dan cara kerja Gubernur Worang, berbekas di
desa Pakuweru. Sebab desa yang berpenduduk 1.635 jiwa ini,
kebetulan terbilang desa yang paling menonjol setidaknya dua
tahun terakhir ini di Kecamatan Tenga. Kecamatan yang satu ini
tentu pula menarik perhatian di Sulut sebab dipimpin oleh
seorang camat yang dijuluki duplicat Worang di tingkat
kecamatan.
Tak lain karena sang camat bernama Felix Palar yang Peltu-AD dan
bekas ajudan Gubernur Worang yang setia. Belakangan ajudan ini
dihadiahi Worang jabatan camat di Kecamatan Tenga, sebagai salah
satu dari sekian bekas ajudan dan pengawal gubernur yang sudah
ditingkatkan nasibnya. Dan memang ketika Felix Palar dilantik
tahun 1975 memimpin kecamatan yang paling parah keadaannya di
Kabupaten Minahasa, rakyat setempat agak ngeri menyambut
kedatangan sang duplikat Worang yang senantiasa berbaju hijau di
saat itu.
Kecamatan Tenga berproduksi 700 ton kopra sebulan. Dan yang jadi
pilot proyek nampaknya adalah desa Pakuweru. Adapun keadaan desa
ini di waktu lalu, digambarkan sebagai sebuah desa yang terlelap
di bawah selimut kemiskinan di tengah kawasan yang kaya. Pokok
utamanya menurut Kepala Desa S.L. Langi, di waktu itu penduduk
setempat dibuai oleh kekayaan desanya tanpa penyuluhan bagaimana
seharusnya memanfaatkan dana yang ada guna peningkatan taraf
hidup bersama.
Dalam situasi hidup begini, terluang kesempatan bagi para
tengkulak merayapi celah-celah pohon kelapa dan menjerat petani
yang lagi tidur itu dengan ijon. Tetapi sejak Palar turun ke
sana keadaan dirubah secara drastis. Terdengarlah pekikan dan
umpatan seakan romusha mulai digalakkan di desa ini. Di dalam
suasana baru ini, tak jarang terdengar pula suara bagaimana
tangan besi sang camat menggusur segala tantangan yang
dihadapinya. Tindakan ini terpaksa ditempuh meskipun ia harus
menerima risiko digelari camat tukang pukul.
Juga Monumen
Dua tahun kemudian agaknya gagasan-gagasan Worang yang dibawa
oleh bekas ajudannya, setidaknya mulai diakui juga hasilnya oleh
mereka yang tadinya ribut-ribut. Sebab dengan bangga Hukum tua
desa Pakuweru memamerkan kepada setiap tamu yang berkunjung ke
desanya, apa yang dinamakan kehidupan orde baru yang nyata di
desanya. "Selama dua tahun terakhir, sudah berhasil digarap dan
dimanfaatkan dana sebesar Rp 105 juta melalui swadaya murni
masyarakat", tutur Hukumtua SL. Langi Dengan dana sebesar itu
yang tentu pula ditopang oleh tenaga rakyat lewat gotong royong
desa Pakuweru digalakkan. Tercogoklah sekarang Balai Desa yang
termegah di Sulut, karena bangunannya berlantai tiga di bagian
depan, dan berfungsi serba guna, dengan luas yang dapat
menampung seluruh warga desa.
Selain itu pagar dalam desa sepanjang 3 Km berhasil dibeton.
Beberapa buah gereja dan sebuah gedung SD berdiri dan tak lupa
sebagaimana kesukaan Gubernur Worang, di desa ini dibangun pula
sebuah monumen para perintis desa seharga hampir Rp 2 juta. Di
samping hasil swadaya masyarakat ini, pihak PUTL sempat pula
melirik desa Pakuweru dengan memberikan jatah 50 buah rumah
melalui proyek pemugaran rumah. Meskipun proyek ini hanya
berbentuk pemberjan perangsang sebesar Rp 25.000 per rumah plus
penyuluhan tentang pembuatan rumah murah, tapi gagasan ini
nampaknya cukup menolong. Bukan saja berhasil memancing gairah
rakyat untuk membangun rumah yang layak, tetapi juga membawa
pembaharuan yang nyata di desa ini. "Sebab Bamudes (Badan
musyawarah desa) sudah menyusun prograrn, tahun 1980 semua rumah
penduduk di desa ini sudah harus beton", kata Hukumtua S.L.
Langi dengan yakin.
Koperasi
Janji Langi ini agaknya bukan sekedar rencana di atas kertas
mengingat potensi desa serta perkembangannya. Dengan produksi
kopra 90 ton/bulan, serta hasil padi dari 38 ha yang diolah
secara Inmas, belum lagi hasil ladang berupa padi dan jagung
yang dituai dua kali setahun pemuka-pemuka masyarakat yang
terhimpun dalam Bamudes itu, yakin akan kemampuan penduduk yang
terdiri dari 365 KK itu. Untuk itu pula setiap KK diwajibkan
menggarap ladang, paling kecil 100 x 70 meter alias satu bau.
Pasal pengumpulan dana untuk kas desa, ditetapkan aturan melalui
musyawarah. Yaitu setiap petani kelapa harus merelakan Rp 1/kg
dari kopranya yang langsung dipotong oleh Koperasi Amalgamasi,
satu-satunya tempat penjualan kopra yang dibolehkan.
Selain itu sang koperasi mengembalikan pula Rp 0,50/kg dari
kopra yang dibelinya di desa itu. Mereka yang karena
pekerjaannya tak boleh ikut dalam kerja gotong royong
pembangunan desa, dimintakan menebus Rp 400/minggu. Bukan itu
saja, tapi para warga desa yang bermukim di perantauan, dikirimi
pula amplop yang diharapkan untuk dikembalikan setelah berisi.
Barangkali dengan cara-cara beginilah, salah satu desa di Sulut
ini sempat digalakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini