C. SNOUCK HURGRONJE. POLITIK BELANDA TERHADAP ISLAM DAN KETURUNAN ARAB Oleh: Hamid Algadri Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1984, 227 halaman PROSES penyatuan bagian-bagian masyarakat menjadi satu bangsa merupakan perkembangan masyarakat yang dapat diamati dan dialami banyak golongan etnis, agama, dan tradisi. Proses itu makin jelas sejak awal abad kedua puluh, ketika pengertian dan konsep pembinaan bangsa mulai dirumuskan melalui pergerakan nasional hingga tercapai kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945. Di antara golongan yang dulu dikenal sebagai minoritas - Arab, Cina, dan Eurasia maka keturunan Arab-lah yang paling berhasil dalam proses asimilasi dengan penduduk Indonesia. Aktif dalam partisipasi kehidupan agama dan politik, makin menipisnya ciri-ciri kebudayaan Arab, dan kedudukannya dalam perdagangan merupakan jalur penting bagi golongan itu. Menguraikan faktor yang mengiringi proses integrasi nasional itu tidaklah mudah Hamid Algadri mencobanya dengan bertolak dari riwavat hidup sendiri, biografi politik C. snouck Hurgronje, politik Islam Hindia Belanda, serta kedudukan keturunan Arab pada masa kolonial dan setelah Indonesia merdeka. Empat segi yang dicoba Hamid Algadri untuk dapat secara utuh dianalisa sebagai kesatuan pandangannya mengenai peta bumi permasalahan agak terbatas dalam buku ini. Tiap-tiap segi dapat menjadi satu jilid besar. Sebagai sarjana hukum dan politikus, Hamid Algadri memulai bukunya dengan status hukum keturunan Arab yang dianggapnya ganjil dalam masyarakat kolonial. Kemudian ia mencoba menempatkan keganjilan status hukum keturunan Arab itu dalam latar belakang sejarah yang jauh, baik abad berlangsungnya maupun tempat pergolakannya, yaitu Spanyol dan Timur Tengah. Ilmuwan dan pejabat Hindia Belanda, yang dijadikan pangkal tolak, betapapun dikritik kelihatan tetap besar dan tegar saja. Karya tulis mereka tetap tidak dapat diabaikan begitu saja oleh seorang peneliti masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Snouck Hurgronje, dengan analisa, rekonstruksi, pandangannya sebagai pejabat kolomal, dan cara kerjanya, patut menjadi teladan calon ilmuwan dan pejabat. Namun, perlu dibedakan usaha-usaha serius studi Snouck Hurgronje dan rekomendasi politiknya bagi pemerintah Hindia Belanda, yang sudah barang tentu pada masanya menguntungkan pemerintah jajahan daripada penduduk Indonesia, khususnya yang beragama Islam. Dalam bab-bab akhir buku ini dibahas keterlibatan keturunan Arab dengan gerakan nasionalis pada masa Hindia Belanda, menghadapi Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan setelah Konperensi Meja Bundar yang mengakui kedaulatan RIS - an kemudian menjadi Republik Indonesia lagi sesuai dengan Proklamasi Kemerdekaan. Menurut saya, bagian yang mengkritik Snouck Hurgronje terlalu banyak, sehingga proses integrasi keturunan Arab menjadi bangsa Indonesia agak terdesak pembahasannya. Misalnya, dalam buku ini, tidak terdapat data mengenai jumlah keturunan Arab pada pusat-pusat permukiman di Jawa dan pulau-pulau lainnya. Juga kurang sekali informasi mengenai riwayat hidup tokoh-tokoh keturunan Arab pada abad kedua puluh ini, kecuali asal usul di masa silam. Walau terdapat empat segi perkembangan (autobiorafi penulis, biorafi politik Snouck Hurgronje, politik Islam Hindia Belanda, dan kedudukan serta peranan keturunan Arab dari masa ke masa) yang dipakai sebagai bingkai permasalahan mengenal proses integrasi nasional, jangkauan yang dimasudkan Hamid Algadri memang terbatas. Beberapa segi perubahan masyarakat, melalui pendekatan sosiologis historis (seperti yang dirintis oleh Wertheim, van der Kroef, dan Benda), masih perlu dikembangkan Memang benar, segi-segi yang diungkapkan, dianalisa dan diterangkan Hamij Al-gadri belum pernah ditulis, terutama dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan sumbangan studi yang perlu disambut peneliti dan penulis tentang masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Lampiran dokumen dan arsip, yang jumlahnya 14 buah, akan lebih membantu pembaca mendapatkan benang merah penulisan apabila disesuaikan tempatnya dengan tema-tema yang digarap. Ilustrasi dan peta akan lebih memberikan informasi bila disertai deskripsi dan penunjukan halaman dalam buku. Istilah "sumber primer" (halaman 262) yang bagi ilmu sejarah artinya telah baku yaitu sumber sejarah yang dekat dengan terjadinya peristiwa - dalam buku ini diartikan sebagai bahan acuan awal penulisnya. Abdurrachman Surjomihardjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini