UNI Soviet tak sudi mundur setapak pun. Malahan sikapnya kian tak fleksibel, dan hubungan Cina-Soviet sampai hari ini tak mengalami perubahan berarti. Itulah kurang lebih kesimpulan Wang Jinqing, kremlinolog terkemuka Cina dalam Beijing Revie baru-baru ini. "Masalah utama terletak pada kenyataan bahwa Uni Soviet ingin menguasai kita, sedangkan kita tidak ingin dikuasai. Di mata Moskow kita baik dan revolusioner kalau tunduk di telapak kakinya. Sebaliknya, kita buruk, kontrarevolusioner, atau nasionalis picik kalau tidak mengekor kepadanya," tulis Wang. Tulisan terus terang dan tajam itu muncul kurang dari sepekan setelah Wakil Menteri Luar Negeri Qian Qichen kembali dari Moskow. Wang tak lupa menyisipkan harapan dalam tulisannya agar kelak hubungan dengan Soviet akan lebih baik. Tapi, buat sementara, harapan kedua pihak untuk memperbaiki pertalian sudah buyar. Padahal, dalam dua tahun terakhir ini kedua raksasa komunis itu terlibat dalam perundingan serius buat menormalisasikan hubungan. Sejak semula memang sudah diramalkan bahwa pendekatan itu tak akan berhasil. Sebagai syarat utama normalisasi, Beijing mengajukan tiga tuntutan: penarikan mundur tentara Soviet dari perbatasan dengan Cina pemutusan dukungan terhadap pendudukan Kamboja oleh Vietnam dan penghentian intervensi di Afghanistan. Ketiga prasyarat ini menyangkut masalah strategis dan geopolitis. Buat Moskow berat untuk meluluskannya, apalagi Kremlin makin curiga terhadap persahabatan Beijing-Washington yang makin rapat. Tapi, kemungkinan perbaikan hubungan Moskow-Beijing harus juga dilihat dari segi situasi politik dalam negeri Cina sendiri. Sejak pecah konflik di kalangan elite, yang mencapai puncaknya dalam Revolusi Kebudayaan, tak ada tanda yang menunjukkan bahwa para pemimpin Cina menjadikan pertengkaran dengan Uni Soviet sebagai bahan perselisihan. Baik Liu Shaoqi maupun Deng Xiaoping pernah dituduh pro-Moskow. Malahan Almarhum Liu mendapat cap paling buruk - "Krushchev Cina". Tapi, tak ada bukti yang memperkuat tuduhan itu. Pernyataan-pernyataan anti-Soviet dari kedua seteru Mao ini tak kalah kerasnya dengan ucapan dan tulisan Mao sendiri. "Pengkhianat" Lin Biao dikatakan sedang berusaha melarikan diri ke Uni Soviet ketika pesawat terbang yang ditumpanginya jatuh dekat perbatasan Cina-Sovlet. Seandainya benar ia erusaha merebut kekuasaan dari Mao seperti yang dituduhkan, Lin tidak menginginkan kembalinya persekutuan Cina-Soviet (Lihat: Selingan). Ia sebaliknya berpegang teguh pada pendirian radikal: memelihara terus konfrontasi dengan Amerika dan Uni Soviet. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sejak terbukanya konflik Cina-Soviet, semua kelompok elite politik di Cina selalu menggunakan sentimen nasionalisme anti-Soviet sebagai alat legitimasi mereka. Agaknya, kecenderungan itu sampai sekarang masih bertahan. Bagaimana peta politik elite Cina sekarang? Pengelompokan yang diajukan Jurgen Domes, ahli politik Cina dari Jerman Barat, sangat menarik. Menurut Domes, sejak Mao meninggal dan golongan radikal digulung (1976) terdapat tak kurang dari enam kelompok elite. Pertama, kader-kader sipil yang direhabilitasikan setelah Revolusi Kebudayaan, termasuk Deng Xiaoping, Zhao Ziyang, dan Hu Yaobang - triumvirat yang berkuasa sekarang. Kedua, golongan kader sipil yang selamat dari Revolusi Kebudavaan. Tokohnya antara lain Li Xiannian yang sekarang menduduki kursi kepresidenan. Ketiga, kelompok militer pusat. Keempat, kelompok militer daerah. Kelima, kader-kader di jawatan sekuriti yang kariernya mencuat selama atau sebagai hasil Revolusi Kebudayaan. Dan keenam, kader-kader sipil yang menanjak pamornya berkat Revolusi Kebudayaan. Hua Guofeng yang ditunjuk Mao sebagai penggantinya termasuk dalam kategori ini. Setelah Kongres Partai ke-12, 1982, kelompok kelima dan keenam tampaknya mengalami kemunduran besar. Itu ditandai dengan tergesernya Hua Guofeng dari kedudukan puncak. Tapi tak berarti pengaruh mereka sudah sirna. Jangan dilupakan, sekitar 50 persen anggota Partai Komunis Cina bergabung selama Revolusi Kebudayaan. Para analis Barat umumnya berpendapat bahwa Deng Xiaoping berhasil mempersatukan semua kelompok elite Cina. Tapi, kesimpangsiuran pernyataan politik yang diucapkan berbagai pemimpin RRC membuktikan bahwa pendapat itu tak seluruhnya benar. Misalnya, pembersihan partai dari anasir kekiri-kirian yang diputuskan Kongres Partai ke-12 sampai kini belum terwujud dengan jelas. Malahan kampanye mengganyang "pencemaran spiritual" dan kebudayaanlah yang muncul. Contoh mutakhir: sikap dan pernyataan-pernyataan keras Den Xiaoping dalam masalah Hong Kong. Konon, itu buat mengambil hati golongan ideolog dan militer. Dalam polansasi antarehte ltu, bagaimana pendekatan dengan Moskow? Sampai sekarang belum ada satu kelompok pun yang berani mengusulkan perbaikan hubungan dengan "bekas mentor" itu secara gamblang. Mungkin isunya masih terlalu peka. Kegagalan perundingan dengan Soviet akhir-akhir ini barangkali erat hubungannya dengan gejala itu. Sampai sekarang, di tengah suasana penilaian kembali atas jasa dan karya Mao, perselisihan dengan Uni Soviet mungkin merupakan satu-satunya warisan yang belum diralat atau ditinjau kembali. Suatu hari, apabila seluruh kelompok elite Cina telah sepakat dalam semua masalah, barangkali barulah para pemimpin Cina boleh memecahkan guci wasiat yang terakhir Mendiang Pak Ketua. Tapi, kapan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini