Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manekin-manekin itu menampilkan berbagai gestur. Sebuah manekin bersosok perempuan dibuat seperti berjalan bergegas. Dandanannya profesional muda. Rambutnya pendek. Potongannya sporty. Helai-helai rambut jatuh ke bagian parasnya.
Sembari ia berjalan, sebatang rokok terjepit di kedua bibirnya. Tangan kirinya menyulut korek gas. Ia mungkin tengah melintas di jalan yang sepi. Ia kelihatan waswas. Matanya mengerling tajam seolah menengok memperhatikan sesuatu secara curi-curi.
Membuat gerak dalam seni patung adalah sukar. Xiang Jing, pematung asal Shanghai itu, mampu menampilkan patung seperti bila kamera menangkap obyek dengan teknik moving. Patung perempuan yang melintas di atas dibuat seperti masih tertangkap gerakan tubuh sebelumnya. Di patung lain, ia membuat wajah patung dalam posisi menoleh yang berkelebat.
Bersama suaminya, Qu Guangji, ia diundang untuk berpameran bersama dua pematung kita, Dolorosa Sinaga serta Yani M. Sastranegara. Mereka terikat sebuah tema: gerak. Dolorosa dianggap sebagai pematung kita yang banyak mengeksplorasi unsur gerak. Memang ia kuat bila membuat patung-patung kecil perempuan yang dibungkus kain. Kain itu menjuntai seolah tertarik ke sana kemari, berkerut akibat gerak tangan dan badan ”dari dalam”. Akan halnya Yani, ia banyak membuat sosok dengan gerak menari atau sosok-sosok yang terembus, tersapu angin.
Memasuki galeri, membandingkan antara dua pematung kita dan suami-istri Cina itu, segera terasa nada dasar persoalan yang digumuli sangat jauh berbeda. Para pematung Cina sudah meninggalkan simbolisme. Manekin-manekin sebesar diri orang itu bukan ungkapan perasaan Xiang Jing, melainkan pengamatan sehari-hari atas kehidupan. Analisisnya atas sebuah perubahan sosial di Cina.
Kita tahu kini Cina menjadi kekuatan kapitalisme baru. Xian Jing terlihat sebagai seorang pemerhati yang cermat. Yang dipotret adalah manusia-manusia ”baru” yang canggung. Mereka yang secara fisik mengadopsi kemodernan, tapi mentalnya belum siap. Sosok-sosok sibuk yang aktif tapi mengalami kesepian.
Sebuah manekin lain, misalnya, menampilkan seorang perempuan berdiri tegak. Pakaiannya tak rapi. Kucel. Baju dalamnya berwarna hijau. Ia mengenakan jaket panjang kulit penuh bercak-bercak lumpur yang menutupi celana pendek merahnya. Gespernya cokelat. Dahinya mengerut. Antara sikap keras dan sikap ketidaktahuan.
Sementara Dolorosa dan Yani bertolak dari dunia dalam. Impresi-impresi sekilas yang diejawantahkan. Pada Yani, terasa lebih ”abstrak”. Pematung Cina dan pematung Indonesia terasa menampilkan dunia berbeda, yang tidak saling menyapa. Apalagi pameran ini ditempatkan sama-sama di tengah ruang Galeri Nasional.
Yang membuat perbedaan mencolok adalah warna. Para pematung Cina tak segan-segan secara progresif mewarnai patungnya. Sementara kebanyakan karya Dolo dan Yani dibiarkan polos sesuai dengan karakter dasar bahan yang digunakan atau dengan warna monokrom. Ketika Edwin Raharjo datang ke studio Xiang Jing di Shanghai, ia mengaku tertegun menyaksikan patung-patung berbahan fiber glass diakhiri dengan teknik melukis.
Bandingkan setelah melihat patung Xiang Jing: Secret. Seorang wanita gemuk, wajahnya seperti lebam. Penuh gores-gores darah. Seluruh tubuhnya dibalut jas kulit merah, kakinya bersepatu merah. Lalu kita melihat karya I, The Witness, patung kecil yang menampilkan sosok Dolorosa sendiri. Sama-sama menyuarakan kesakitan, dengan ekspresi berbeda: yang satu seperti langsung menampilkan subyek persoalan yang minta dianalisis, yang lain berposisi sebagai simbol. Bila ini semacam ”duel”, itulah duel yang tak sinkron.
Sementara Xiang Jin mengeksplorasi sisi-sisi murung manusia di era transisi Cina masa kini, akan halnya karya sang suami Qu Guang Ji bertolak dari guyonan atas birokrasi Cina tempo dulu. Ada pegawai-pegawai atau tentara—berseragam, semua ditampilkan gendut-gendut tak lagi ramping. Ada yang main kartu. Ada yang melayang menangkap babi.
Agaknya, mensatirekan atau memparodikan militer dan birokrasi semasa Mao menjadi tren di kalangan perupa mutakhir Cina. Di Linda Gallery, awal Desember lalu, pasangan suami-istri pematung Jiang Shuo dan Wu Shaoxiang juga berpameran dengan tema demikian (lihat boks: Mengejek Mao dan Pengawal Merah).
Para perupa Cina tahun-tahun terakhir ini memang menjadi anak emas galeri di Jakarta. Edwin Raharjo termasuk yang pertama memperkenalkan gelombang ini. Terutama pelukis pasca-Tiananmen. Memasuki tahun 2007 belum terlihat tanda-tanda akan jenuhnya serbuan ini. Bahkan perkembangan terakhir menampilkan pasangan-pasangan perupa. Tapi, begitu banyaknya pameran pelukis Cina kini, dan bila seleksi tidak variatif, bisa jadi galeri-galeri akan menampilkan hal senada—seperti tema parodi Mao itu. Ini tentu akan membosankan para penikmat pameran.
Apakah Edwin akan terus menampilkan pelukis Cina? Rencananya, waktu-waktu mendatang ia malah akan mendatangkan pelukis dari Inggris dan Taiwan. ”Ketika orang ramai ke Cina, saya akan pindah,” kata Edwin singkat.
Seno Joko Suyono dan Andy Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo