Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jejak Mister Gates di Kabinet

Pemerintah meneken kesepakatan pembelian lisensi peranti lunak dengan Microsoft. Menteri Komunikasi dan Menteri Teknologi bersitegang.

25 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERCENGANG betul Judith M.S. Lubis ketika menyambangi kantor Departemen Komunikasi dan Informatika di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis dua pekan lalu. Semua pejabat eselon satu yang akrab dengannya bengong ketika ditanya soal pembelian lisensi peranti lunak dari PT Microsoft Indonesia. "Saya jadi ikut bengong," kata Ketua Asosiasi Warung Internet Indonesia itu.

Menurut sumber internal di departemen itu, para pejabat di sana memang belum tahu kesepakatan Menteri Komunikasi Sofyan Djalil dengan Microsoft sebelum beritanya muncul di Koran Tempo, pekan lalu. Direktur Jenderal Aplikasi Telematika Cahyana Ahmadjayadi pun tak bisa memberikan penjelasan ketika ditanya soal itu.

Di kalangan praktisi teknologi informasi, kesepakatan "sembunyi-sembunyi" yang diteken pada 14 November lalu itu menjadi gunjingan hangat dalam dua pekan terakhir. Nota sembilan lembar yang diteken Sofyan dan Presiden Microsoft Asia Tenggara, Chris Atkinson, itu sendiri hanya beredar di kalangan terbatas.

Nota ini dibuat sebagai tindak lanjut pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan pemilik Microsoft, Bill Gates, di Redmond, Amerika Serikat, 27 Mei 2005. Kabarnya, Mister Gates mau membantu pengembangan teknologi informasi di Indonesia dengan syarat tak ada lagi peranti lunak bajakan Microsoft.

Dalam nota itu disebutkan, pemerintah bakal membeli lisensi 35.496 Microsoft Windows dan 177.480 Microsoft Office. Ini berarti, dengan harga resmi Windows US$ 274 dan Office US$ 179, pemerintah harus menyiramkan duit Rp 377,6 miliar sebelum 30 Juni 2007. Sebagai imbalannya, perusahaan milik miliuner dunia itu akan menghibahkan lisensi Windows dan Office, masing-masing 266.220, untuk Pentium III ke bawah.

Menurut Sofyan, nota dibuat untuk melegalisasi peranti lunak di komputer milik pemerintah. "Ini tahap awal sebelum kampanye legalisasi ke masyarakat luas," katanya. Akibat peranti bajakan itu, Indonesia menjadi negara kelima terbesar dalam pencurian hak cipta. Dari 9 juta unit komputer yang ada sekarang, 87 persen memakai peranti palsu.

Sebagai bagian dari rencana itu, Badan Pusat Statistik akan mendata komputer di seluruh kantor pemerintah pada Februari 2007-menurut data Bank Dunia sebanyak 500 ribu unit komputer. Jumlah peranti bajakan hasil survei itulah yang akan ditebus pemerintah kepada Microsoft dengan "harga negosiasi". Presiden Microsoft Indonesia, Tony Chen, berjanji bakal memberikan diskon lebih dari 70 persen. "Ini niat baik Microsoft membantu pemerintah," katanya.

Jika pemerintah punya duit dan memutuskan membeli lisensi asli, kontrak pembelian akan dibuat pada 31 Maret 2007. Karena itu, kata Sofyan, nota ini belum punya kekuatan hukum apa pun, meski sudah detail mengatur berapa lisensi yang akan dibeli.

Masalahnya, langkah ini bertabrakan dengan program pemerintah sendiri, yang dilansir pada Juni 2004. Saat itu pemerintah meluncurkan program Indonesia Go Open Source (IGOS), yang dideklarasikan Menteri Komunikasi, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Tujuan program IGOS agar masyarakat bermigrasi ke lisensi sistem kode terbuka seperti Linux, yang gratis, bebas dimodifikasi dan disebarkan. Kesepakatan dengan Microsoft, yang sistem kodenya tertutup (proprietary) dan mahal, kata Judith, justru mementahkan IGOS.

Meski diputuskan sidang kabinet, penolakan datang dari Menteri Riset dan Teknologi Koesmayanto Kadiman. Maklum, bekas rektor Institut Teknologi Bandung ini sejak awal antusias dengan program IGOS. "Pembajakan mesti dikikis," katanya kepada Tempo. "Tapi tidak bergantung pada satu perusahaan."

Karena itulah pembahasan dalam rapat kabinet berlangsung alot. Koesmayanto meminta pemerintah mendukung penuh IGOS. Sedangkan Sofyan kukuh mempercepat legalisasi. "IGOS silakan, tapi sampai kapan?" katanya. "Program ini jalan di tempat."

Ia juga mengkritik sistem kode terbuka, yang dinilainya tak cocok dengan peranti canggih. Tapi Koesmayanto menyodorkan bukti, sejak Juni lalu seluruh komputer di kantornya sudah menanggalkan Microsoft. Sebanyak 30 persen dari 5.200 warnet juga sudah memakai open source.

Peluncuran IGOS memang tak didukung aturan. Yang ada hanya kewajiban bagi seluruh lembaga negara untuk menerapkannya. Beda dengan Prancis, Jerman, Inggris, Norwegia, bahkan Peru, yang sudah mengesahkan undang-undang yang mewajibkan komputer kantor publik memakai sistem terbuka. "Koordinasi antarlembaga kita sangat lemah," kata Koesmayanto.

Hal lain yang disorot, nota Microsoft dinilai rawan korupsi dan berbau monopoli. Kesepakatan itu pun dianggap bertolak belakang dengan tujuannya, yakni menjamin pengembangan teknologi informasi. "Kenapa duit Rp 377,6 miliar itu tak dipakai mengembangkan open source?" kata Judith.

Lagi pula, pengamat telematika Onno W. Purbo menambahkan, kreativitas orang lokal tak kalah kualitasnya. Deddy Ariwibowo, misalnya, sukses meracik software Pinux. Sejak pemilik warnet Pointer.net dari Semarang ini merilisnya pada 29 Maret lalu, sudah seribu pengguna mengunduhnya gratis dari Internet. "Kalau kreativitas ini didukung, kita bisa hemat miliaran rupiah," katanya.

Bagja Hidayat, Eko Nopiansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus