Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

<font color=#669900>Idham Chalid:</font> Politikus yang Ulama

Ulama yang juga politikus itu wafat karena usia tua. Membawa gerbong NU tak pernah berhadapan dengan kekuasaan.

19 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika ia wafat pada 11 Juli lalu dalam usia 88 tahun, banyak orang yang sudah tak me nge nal nama Dr KH Idham Cha lid. Sejak 1982 nama Idham sudah tak muncul lagi di jagat politik Indonesia. Apalagi sudah 12 tahun ia didera penyakit berkepanjangan, sehingga banyak generasi muda tak lagi mengenalnya.

Tapi generasi tua sangat mengenal Idham. Selama ini dia dikenal sebagai tokoh akomodatif yang membawa Nahdlatul Ulama tak pernah berhadapan dengan kekuasaan. ernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung serta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat/ Majelis Permusyawaratan Rakyat pada zaman Orde Baru. Ia juga berkali-kali dipercaya sebagai menteri dan bahkan dua kali menjadi wakil perdana menteri pada zaman Orde Lama. Semua itu menjadikan ia tokoh politik yang layak diperhitungkan dan paling menonjol, terutama dari kalangan partai politik dan organisasi Islam.

Idham tipikal kiai dan politikus. Terpilih sebagai Ketua Umum PBNU sejak 1956, dia tergolong paling bisa memba wa gerbong NU dengan jutaan anggotanya. Ia berseberangan dengan Subchan Z.E. dan kalangan muda NU yang menggebu mencitakan demokrasi pada awal Orde Baru. Idham lebih mementingkan penyelamatan gerbong yang besar yang tidak ingin dihadapkan dengan militer.

Buku panduan politik Idham adalah Al-Ahkam As-Sulthaniyah karya Imam Mawardi. Bela negara, menurut kitab itu, adalah keharusan. Kesejah teraan rakyat harus diutamakan mele bihi kepentingan politik. Keberpihak an kepada pihak yang lemah menjadi priori tas. Penghormatan dan penghargaan kepada orang lain adalah amanat Ilahi. Menaati penguasa sepanjang tidak mengajak maksiat menjadi kewajiban agama.

Idham selalu mengikuti skenario politik penguasa. Ketika Partai NU ha rus melebur dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973, Idham menyepakatinya dan tampil sebagai deklarator. Ia bersyukur jika gerbong NU bisa disatukan dengan gerbong elemen Islam yang lain dalam satu wadah politik. Bahkan, ketika jabatannya sebagai Presiden PPP dihabisi Dr H.J. Naro, Ketua DPP PPP dalam muktamar Ancol 1984, ia tak melawan dan konsisten membela partai yang didirikannya itu. Semua dilakukan Idham demi NU dan umat Islam untuk ke utuhan bangsa Indonesia. Idham adalah politikus santun yang tak mengejar materi. Rumah di Jalan Ki Mangunsarkoro, Menteng, Jakarta Pusat, yang dihuninya sejak 1955, ternyata rumah kontrakan.

Sejak awal 1982, sejumlah tokoh NU mulai menggembosi PPP, bahkan menarik NU keluar PPP. Tapi sikap politik Idham tetap kukuh. Maka, pada 4 Mei 1982, sejumlah ulama sepuh yang diseganinya datang dan memintanya mengundurkan di ri dari jabatan Ketua Umum PBNU. Tanpa berpikir panjang, ia langsung membubuhkan tan da tangan.

Idham dituduh membawa gerbong NU dalam politik praktis.Padahal, menurut Idham, apa yang dilakukan adalah meng ikuti kemauan penguasa seraya mengerem lajunya tindakan politik berlebihan penguasa terhadap umat yang mayoritas warga NU.

Melalui muktamar ke-27 pada 1984 di Situbondo, Jawa Timur, NU memutuskan kembali ke Khittah 1926 dan membuang jauh politik dan kembali menjadi gerakan sosial dan kultural. Dalam kepemimpinan KH Ahmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU diposisikan sebagai kelompok penekan. Berhasil. NU menjadi besar dan diperhitungkan, termasuk dalam politik, berkat Ahmad Siddiq dan Gus Dur.

Namun Idham tak serta merta hilang dari gerbong NU. Dia masih dipercaya memim pin Jam’iy yah Thariqah Mu’tabarah An-Nahdliyah (Ikatan Ta rekat NU), berduet dengan ulama karismatis Pekalongan, Ha bib Lutfi bin Yahya. Idham pernah ”mengganggu” Muktamar NU ke-28 pada 1989 di Yogyakarta dengan muncul sebagai pesaing Ahmad Siddiq. Idham kalah dalam perebutan jabatan rais am, tapi ia memperoleh suara cukup signifikan.

NU yang begitu besar tak mungkin bisa dipaksa melepas jubah politiknya. Di era reformasi, sejumlah kalangan yang ”mendongkel” Idham justru kemudian memelopori lahirnya partai politik berbasis warga NU. Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sayang, ketika PKB berhasil menjadi partai ketiga terbesar 1999, Idham sudah sakit. Jika tidak, ia akan mengatakan, ”Gerbong NU sangat besar dan membutuhkan wadah politik seperti yang saya lakukan. Jika tidak, NU akan dimangsa kekuatan politik lain.”

Musthafa Helmy (wartawan senior)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus