Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau terlalu banyak bega dang, muka pucat karena darah berkurang....” Pesan raja dangdut Rhoma Irama dalam lagu Begadang itu layak dicamkan. Begadang, kurang tidur pada malam hari, tak hanya memicu kantuk atau loyo pada siang hari, tapi juga me ngundang segudang masalah kesehatan mental dan fisik. Insomnia sudah menjadi ”gaya hidup” manusia mo dern yang didera stres dan timbunan pekerjaan. Bahkan tak sedikit orang yang justru butuh melek sepanjang malam.
Karena ancaman insomnia yang cenderung disepelekan itulah, gangguan sulit tidur ini menjadi topik pen ting Konferensi Nasional III Psikoterapi 2010 di Jakarta, Sabtu dua pekan lalu. Menurut catatan penyelenggara konferensi, prevalensi insomnia di Indonesia dalam kisaran 10 persen dari jumlah penduduk. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, prevalensinya 10-15 persen. ”Di sini banyak yang tidak diobati dengan baik,” kata Nurmiati Amir, ahli kedokteran jiwa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Simak saja kisah Ina Amanda, 35 tahun, yang mengidap insomnia selama 15 tahun. ”Badan sering pegal-pegal,” kata pengusaha event organizer di Jakarta ini. Gangguan itu datang jika duduk lewat dari setengah jam. Rasa pegal bermula dari bagian belakang (back pain), menyebar ke seluruh badan.
Pusing juga sering mendera. ”Letaknya di belakang dekat telinga, rasanya sakit banget,” kata Ina. Pusing datang kalau dia berpikir keras atau jika lupa minum suplemen penambah darah dan vitamin dosis tinggi.
Waktu tidur Ina memang sangat kurang. Dalam satu minggu, hanya tiga hari dia dapat tidur malam. ”Paling juga hanya tiga jam,” katanya. Pada empat hari lain, praktis matanya tak terpi cing siang-malam. Jika sempat tidur pun hanya sekejap atau sering terbangun.
Ina menderita insomnia kronis. Gejalanya dimulai saat ia duduk di sekolah menengah atas. Berawal dari kebiasaan keluar malam, sampai keterus an dengan kebiasaan tidak tidur pada malam hari. Namun, sejauh ini Ina belum berniat sembuh. ”Masih butuh,” katanya enteng. Waktu begadang digunakan untuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan. Gangguan kesehatan seiring dengan pola hidupnya itu ditanggulangi dengan konsumsi suplemen serta vitamin.
Ina mungkin bakal berubah pikiran jika mengetahui risiko insomnia yang lebih serius apabila ”hobinya” itu dibiar kan berkepanjangan. ”Ancamannya penyakit fisik dan jiwa,” kata Nurmiati. Pasalnya, manusia tidak bisa meninggalkan aktivitas tidur supaya hidupnya sehat. Rekomendasi umum, waktu tidur adalah 6-8 jam sehari. ”Tidak tidur tiga atau empat hari saja pasti ada kelainan,” katanya.
Gangguan psikis akibat kurang tidur misalnya muncul rasa cemas, gelisah, tidak gembira, dan ujung-ujungnya depresi. Kurang tidur akan memicu kelenjar di otak yang merangsang kortisol menjadi hiperaktif. Kortisol adalah hormon stres yang bila berlebih memicu gangguan-gangguan psikis.
Gangguan fisik juga tak kalah serius. Hormon kortisol yang berlebih tadi berdampak pada peningkatan kadar gula dalam darah. ”Lama-lama bisa diabetes,” kata Nurmiati. Pada orang yang sudah memiliki bibit diabetes, kurang tidur akan memperparah kondisinya.
Fungsi otak juga bisa terganggu. Sebab, ”Otak mendapat protein pada saat tidur,” tutur Nurmiati. Proses perbaik an sel, dinding, dan cabang-cabang sa raf di otak yang penting pun terhambat bila tidur malam tidak terjadi. Pende rita insomnia pun terancam kehi lang an sebagian memori, karena saat tidur malam itulah terjadi proses rekonsolidasi memori dan pengaktifan otak. ”Jadi, belajar ala sistem kebut semalam itu tak ada gunanya,” ujar Nurmiati.
Kurang tidur pun memancing penyakit fisik yang relatif ringan seperti influenza atau demam. Ini akibat merosotnya sistem kekebalan tubuh. Aktivitas komponen kekebalan tubuh baru akan meningkat dalam kondisi pemilik tubuh tidur, terutama ketika terlelap.
Gangguan kesehatan akibat insomnia tentu tak terjadi pada anak sekolah yang sulit tidur semalaman karena esoknya mau rekreasi, misalnya. Ini sekadar contoh gangguan tidur ringan. Penyakit baru akan menyerang pende rita insomnia kronis. ”Yang lebih dari sebulan,” ujar Nurmiati. Insomnia kronis umumnya disebabkan gangguan kimia otak, hormon, atau psikiatri.
Insomnia kronis merupakan salah satu dari tiga tipe insomnia. Tipe pertama adalah insomnia transien, yakni kesulitan tidur kurang dari seminggu. Pemicunya stres akut, perubah an dalam sirkadian atau jam biologis, jet lag, dan giliran waktu kerja. Selanjutnya insomnia jangka pendek, berlangsung 1-4 minggu, karena stresor (penyebab stres) yang berlangsung terus, penyakit akut, dan obat-obatan. ”Dua tipe ini gampang pulihnya,” kata Nurmiati.
Masih ada varian insomnia lain yang lebih berbahaya karena mematikan: fatal familial insomnia. Sejauh ini pen deritanya diperkirakan 40 orang di seluruh dunia. ”Di Indonesia belum ada,” kata Nurmiati.
Insomnia jenis fatal ini masih menjadi misteri para ilmuwan, karena terjadi akibat mutasi gen yang menyebabkan kemerosotan fungsi pusat tidur di otak. Penderitanya bakal tak bisa tidur sama sekali atau terjaga sepenuhnya sehingga mengalami kelelahan, halusinasi, kehilangan memori, gangguan kontrol otot, demensia, sampai koma atau meninggal. Kasus ini mencuat setelah tayangan dokumentasi National Geographic akhir April lalu mengisahkan seorang penderitanya, Silvano, akhirnya meninggal.
Insomnia sebenarnya tak terbatas pada kondisi tidak bisa tidur sama sekali, tapi mengacu kategori yang lebih luas sebagai persepsi atau keluhan berkurangnya tidur. Secara umum kondisi ini ditandai oleh satu atau lebih gejala kesulitan tidur, terjaga dari tidur berulang kali dan sulit kembali tidur, terjaga terlalu cepat (dini hari), serta tidur yang tidak memulihkan atau menyegarkan.
Secara umum, ada beberapa penyebab insomnia, mencakup faktor psikis seperti depresi atau kecemasan, bisa juga karena ada kerusakan di otak. Selain itu, kesulitan tidur bisa karena penyakit nyeri seperti rematik. Bisa juga faktor genetik, atau penggunaan beberapa obat, atau juga memang terkait dengan proses penuaan yang berakibat hormon pendukung tidur berkurang.
Yang memprihatinkan, penanganan insomnia masih buruk. ”Banyak kasus mengobati diri sendiri justru menambah penyakit,” kata Nurmiati. Yang biasa dilakukan penderita sendiri adalah mengkonsumsi obat tidur yang berlanjut dengan obat antidepresan. Alih-alih sembuh, penderita malah mengalami ketergantungan obat, kualitas tidur memburuk, atau biasa disebut tidur terpecah, dan muncul kegelisahan serta rasa nyeri.
Pendekatan penyembuhan yang sekarang digencarkan seperti disebut dalam Konferensi Nasional III Psikote rapi 2010 adalah tata laksana komprehensif. Sederhananya adalah meng obati penyebab insomnia, terapi farmakologi atau nonfarmakologi, selanjutnya meningkatkan kualitas tidur. Yang terakhir ini bisa dilakukan sendiri secara bertahap dengan cara membiasakan bangun pagi teratur, menghindari stres emosi dan pekerjaan di tempat tidur, serta berlatih relaksasi.
Peningkatan kualitas tidur ini menjadi pekerjaan rumah bagi penderita insomnia. Roma Uliano, 33 tahun, ma najer di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, contohnya. ”Tidur enam atau delapan jam rasanya sama, saya masih mengantuk,” katanya. Dia belum mendapatkan kesegaran optimal dari tidur.
Tapi kondisi Roma ini jauh lebih baik dibanding sepuluh tahun lalu, saat dia mengidap insomnia kronis. Selama dua tahun Roma hanya tidur rata-rata dua jam setiap hari, dan baru bisa tidur setelah dinihari. ”Siangnya jadi pusing dan lemas,” dia mengisahkan. Penyebabnya, sesuai dengan diagnosis dokter, pikiran yang terus tegang.
Roma sembuh dari insomnia setelah menjalani terapi berupa ritual menyo bek-nyobek koran setiap malam, hingga datang bosan, lelah, dan mengantuk. ”Awalnya tiga jam baru mengantuk, terus makin cepat, sampai tak perlu menyo bek koran lagi,” katanya. Kini Roma tak lagi begadang, seperti pesan Rhoma Irama.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo