Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

<font color=#FF9900>Para Pelukis Pelangi</font> di Kanvas Riri

Tidak mudah memerankan sosok yang sudah telanjur dikenal melalui novel yang sangat laris.

22 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riri Riza dan Mira Lesmana, duo yang selalu kompak itu, mondar-mandir Belitung-Jakarta untuk mencari mereka yang mampu meniupkan roh ke dalam sosok-sosok yang sudah dikenal pembaca. Dari tokoh anak-anak, yang rata-rata diambil dari anak Belitung asli yang baru pertama kali mengenal kamera, hingga para pemain terkemuka, seperti Tora Sudiro, Lukman Sardi, dan Mathias Muchus, tetap harus melalui proses casting yang ketat. Inilah sebagian pemeran Laskar Pelangi.

Zulfany, 12 tahun, sebagai Ikal

Ikal adalah sang narator dalam novel Laskar Pelangi. Dialah sang Pemimpi dan alter ego penulisnya. Si kecil keriting bandel ini memiliki daya observasi yang tajam. Penuh humor dan mampu menertawai diri sendiri, Ikal adalah sebuah karakter yang mampu membawa kita masuk ke dalam dunianya, termasuk kawan-kawannya yang kemudian kita kenal sebagai Laskar Pelangi. ”Sahabatku Lintang memiliki hampir semua dimensi kecerdasan… dia seperti toko serba ada kepandaian…,” demikian Ikal mengisahkan Lintang, sahabatnya yang jenius.

Menurut produser Mira Lesmana, pencarian tokoh Ikal membutuhkan waktu yang cukup lama. ”Selain rambutnya harus ikal, dia harus bisa menampilkan sensitivitas tokoh Ikal,” kata Mira. Setelah pencarian yang panjang, akhirnya terpilihlah Zulfany, 12 tahun, bocah kelas II Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tanjung Pandan yang ikal dan, menurut sutradara Riri Riza, seorang anak yang ”muncul dengan aksen Melayu yang puitis”.

Zulfany, seperti tokoh Ikal yang diperankannya, sangat serius dengan sekolahnya. Saat Tempo menemuinya, Zulfany menceritakan bagaimana dia masih harus menyelesaikan tiga ulangan. Dan seperti Ikal, Zulfany tak lupa menyebutkan nasihat orang tuanya setelah ia mendapatkan peran Ikal agar ”serius bermain sebagai Ikal, tidak boleh melupakan pelajaran, dan menjaga kesehatannya”.

Bagaimana ia tampil sebagai Ikal? ”Sebagai anak berusia 12 tahun, dia sangat matang emosinya,” kata Riri kepada Tempo. ”Dia tampil bagus dan percaya diri depan kamera, dan tetap sensitif.”

Zulfany alias Ikal, yang bercita-cita menjadi tentara atau penyanyi, nanti akan menjadi ”penuntun” penonton untuk masuk ke dalam dunia Laskar Pelangi di layar putih. Di masa dewasa, meski sekejap, tokoh Ikal diperankan oleh aktor Lukman Sardi.

Ferdian, 13 tahun,
sebagai Lintang

”Ibunda Guru,
Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah
Salamku, Lintang...”

Setelah membaca kalimat Lintang, pembaca berdebar. Sang narator, Ikal, sudah berkali-kali menyebutkan betapa miskinnya kawasan itu; betapa anak tertua lelaki sebuah keluarga langsung saja menjadi penanggung jawab keluarga. Lalu Lintang yang masih kecil itu, yang jenius itu, yang berhasil menyelamatkan wajah sekolah yang sudah doyong itu menjadi sekolah yang diperhitungkan setelah pertandingan cerdas cermat…, apa yang terjadi dengan pendidikannya setelah ayahnya meninggal?

Ferdian, pemeran Lintang, murid kelas II SMP 1 Gantong, adalah anak lelaki yang gemar bermain bulu tangkis. Seperti Zulfany yang memerankan Ikal, Ferdian adalah bocah yang akan meniupkan roh kepada sosok Lintang, yang membuat hati ratusan ribu pembaca novel Laskar Pelangi robek akibat nasib Lintang nanti. Di masa dewasa, tokoh Lintang diperankan oleh aktor Ariyo Bayu.

Di dalam film, Lintang digambarkan sebagai sosok yang serius. Lintang yang ”jenius” versi Riri jauh lebih membumi daripada ”jenius” versi Andrea Hirata. Mungkin karena itu pula, setelah menyaksikan film ini, kita menjadi lebih percaya bahwa sosok seperti Lintang akhirnya memang bagian dari kita.

Verrys Yamarno, 12 tahun,
sebagai Mahar

Mahar adalah satu-satunya anggota Laskar Pelangi yang diberi satu bab oleh sang narator. Di luar Lintang, sosok Mahar memang sangat istimewa: luar biasa berbakat menyanyi dan mampu membuat seluruh isi kelas tersihir oleh suaranya. Sosok Maharlah yang ditugasi menciptakan suatu pertunjukan pada acara karnaval yang menjadi salah satu adegan kolosal dalam film ini.

Lahir di Gantong, 17 Maret 1996, Verrys, yang dipilih memerankan Mahar, juga merupakan perjalanan panjang bagi sutradara Riri Riza. Begitu hampir putus asa, Riri mengaku melihat, ”Verrys sudah di ring basket datang dengan gaya baju Mahar.”

Verrys sudah bekerja sama dengan pentolan musik Melayu tingkat nasional, dan suaranya yang indah seperti beledu itu tampaknya sebuah keharusan untuk pemilihan tokoh ini. Tapi apakah ia sendiri bercita-cita menjadi penyanyi? Verrys menggeleng. Dia mengaku bercita-cita menjadi ustad karena ”bisa membuat orang menjadi baik”.

Di dalam film, akting Verrys sungguh menonjol dan tengil seperti seorang seniman kecil yang sok tahu. Verrys, sebagai sosok Mahar sang seniman yang percaya hal-hal mistik dan kebatinan, paling berhasil dan bersinar di antara para pemain.

Levina, 13 tahun,
sebagai A Ling

Untuk beberapa bab pertama, A Ling muncul dalam bentuk kuku-kuku cantik yang mencuri perhatian Ikal setiap kali Ikal membeli sekotak kapur. Kuku-kuku cantik yang muncul dari balik jendela kasir itu membuat jiwa Ikal melayang. Inilah bagian paling menarik dalam hidup Ikal. A Ling, meski kehadirannya secara fisik tak selalu kerap, adalah nama yang menjadi pusat gerak dan tingkah laku, menjadi alasan bagi Ikal sejak kecil hingga dewasa kelak untuk berkelana ke pelosok Prancis (dalam novel ketiga, Edensor) mencari cinta dan kebahagiaan.

Si cantik kecil A Ling, pujaan si bandel Ikal, diperankan oleh Levina, anak kelas I SMP Regina Pacis, Tanjung Pandan. Levina yang cantik itu mengaku sangat terharu membaca novel Laskar Pelangi. Dan yang menarik, Levina merasa ada persamaan antara tokoh A Ling dan dirinya, yakni, ”A Ling disuruh jaga toko sama orang tuanya, aku juga jaga toko….” Ayah Levina, seperti ayah tokoh A Ling dalam novel, adalah seorang pedagang.

Adegan pertemuan pertama antara A Ling (seluruh tubuhnya, bukan hanya kuku-kuku cantiknya) dan Ikal akan menjadi salah satu adegan yang paling dinantikan oleh penonton Laskar Pelangi.

Cut Mini, 35 tahun,
sebagai Bu Muslimah

Sosok Bu Muslimah adalah sebuah mutiara dalam Indonesia yang porak-poranda. Peran yang diciptakan Andrea Hirata berdasarkan sosok nyata—dengan nama yang sama—ini jelas merupakan sosok yang sangat diagungkan oleh penulisnya dan disebut sebagai ”induk anak-anak bebek 10 anggota Laskar Pelangi yang mendidik mereka menjadi anak yang saleh, yang haus akan ilmu, dan yang beragama”.

Begitu mulianya sang guru, tampaknya tokoh ini menjadi favorit pembaca novel Laskar Pelangi. Tak mengherankan jika siapa pun yang memerankan Bu Muslimah memiliki beban berat. Cut Mini sudah dikenal masyarakat melalui film Arisan! karya Nia Di Nata. Meski dia beberapa kali muncul dalam sinetron dan film layar lebar, termasuk yang terbaru, Tri Mas Getir (karya Rako Priyanto), inilah peran Cut Mini yang tampaknya dinanti orang.

”Saya membaca bukunya dan sudah terbayang dari bab pertama kisah ini menggambarkan daerah yang kaya dengan timahnya yang masih punya sekolah dengan guru idealis,” kata Cut Mini. Untuk menghidupkan sosok yang menjadi idola pembaca itu, Cut Mini banyak berbincang dengan tokoh sesungguhnya, Muslimah, 56 tahun, ibu tiga anak yang kini masih mengajar matematika di Sekolah Dasar Negeri 6 Gantong. ”Saya tanya bagaimana cara Ibu Mus mengajar mereka. Kata Bu Mus, beliau menyayangi mereka seperti anak. Di dalam kelas, Ibu pun santai, tidak galak.”

Penonton akan menikmati apakah Cut Mini berhasil memenuhi imajinasi mereka tentang sosok Bu Muslimah yang dahsyat itu.

Ikranagara, 65 tahun,
sebagai Pak Harfan

Bagi generasi 1980-an, Ikranagara adalah Markum, lelaki yang dingin dan penuh perhitungan sekaligus komikal dalam Kejarlah Daku, Kau Kutangkap dan Keluarga Markum. Namun generasi masa kini yang menyaksikan film Laskar Pelangi akan melihat sosok Pak Harfan, kepala sekolah yang, saat mengisahkan Perang Badar, suaranya ”berat menggetarkan benang-benang halus dalam kalbu kami”. Dialah sosok yang digambarkan Andrea Hirata sebagai bapak yang mengenakan baju yang sudah pudar dan berlubang di mana-mana, tapi tubuh dan pikirannya penuh dengan ilmu dan kebajikan yang ditumpahkan kepada muridnya.

Ikranagara, yang sudah membaca novelnya, menganggap tokoh Pak Harfan ”sangat idealis seperti sutradara Syuman (Jaya)”. Menurut Ikra, tokoh Harfan menyadari bahwa sistem pendidikan harus dijalankan bagaimanapun untuk menyelamatkan bangsa. ”Ini memang lain dari karakter-karakter yang saya mainkan. Dalam film-film lain, saya jarang tersenyum, apalagi tertawa,” kata Ikra. Namun, dalam film ini, Ikra mengaku, dalam diri Pak Harfan ada jiwa periang yang mampu menyelami anak-anak. ”Waktu syuting anak-anak (SD Muhammadiyah) menang dalam karnaval, Pak Harfan riang gembira. Peran seperti itu memberikan katarsis bagi saya,” kata Ikranagara dengan semangat.

Rieke Dyah Pitaloka, 34 tahun,
sebagai Ibu Ikal

Ibu Ikal, seorang ibu khas Melayu yang gemar mengunyah sirih dan mendidik anak-anaknya dengan tegas dan penuh kasih sayang, mempunyai daftar ”penyakit gila”. Bagi sang ibu, berbagai tingkah laku anak-anak remaja lelaki yang konyol mengandung ”penyakit gila no. 5”. Bayangkan, anak-anak ini percaya bahwa jika bola tenis ditekan ke dada, akan membuat otot dada mereka tumbuh bak tubuh binaragawan sejati. Ibu Ikal menganggap itu pendapat orang yang mengidap ”penyakit gila no. 5”. Sayang, dalam film, soal penyakit gila ini tidak dimunculkan.

Sang ibu dalam novel—maupun film—memang tampil hanya dalam beberapa adegan. Tapi penampilan Rieke Dyah Pitaloka, yang aktingnya luar biasa dalam Berbagi Suami (Nia Di Nata) dan Perempuan Punya Cerita (Nia Di Nata), terlihat bersinar.

”Saya sangat kagum kepada sosok ibu Ikal. Sosok perempuan yang kuat, tegas, apalagi dalam kehidupan. Dia sosok yang agak cerewet, ya, tapi ibu-ibu rata-rata memang begitu….”

Mathias Muchus, 51 tahun,
sebagai Ayah Ikal

Andrea Hirata mengabdikan banyak bab untuk sang ayah, terutama pada novel kedua, Sang Pemimpi. Ayah Ikal adalah pegawai rendahan PN Timah, seorang lelaki tua yang santun, minim kata, yang menunjukkan kasih sayangnya melalui sepasang mata yang teduh. Sang ayah mengenakan baju safari empat saku kebanggaannya hanya pada satu peristiwa penting: ketika Ikal menerima rapor, karena nilai Ikal pasti masuk 10 besar. Dia begitu bangga dan sudi mengendarai sepeda ke sekolah Ikal yang jaraknya begitu jauh. Dan yang paling merobek hati, dia tetap datang dan tetap tenang serta penuh kasih meski suatu hari rapor Ikal anjlok habis-habisan.

Sosok sang ayah, yang dalam novel dan film Laskar Pelangi belum muncul sekerap dalam novel Sang Pemimpi (yang mudah-mudahan suatu hari juga diangkat ke layar lebar oleh tim yang sama), sangat penting. Dialah yang membangun sensitivitas Ikal.

Aktor Mathias Muchuslah yang dipercayakan memegang peran ini. ”Ayah Ikal adalah tipe lelaki yang pendiam, tapi tidak berarti dia statis… dia justru mengharapkan banyak dari pendidikan anaknya,” kata Muchus.

Sama seperti para pemain lain, salah satu kesulitan memerankan sosok warga Belitung adalah aksen Melayu dalam dialog. Namun, ”Kebetulan saya orang Sumatera Selatan. Jadi masih ada kemiripanlah,” kata Muchus.

Leila S. Chudori (Jakarta), Yugha Erlangga (Belitung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus