Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIRI Riza, 37 tahun, mengaku, dalam dua pekan terakhir, di bibirnya tumbuh sariawan saking senewen. Selesai syuting film Laskar Pelangi di Belitung, dia bersiap masuk atmosfer Jawa selama seminggu, menyutradarai film Drupadi. Baru saja selesai syuting Drupadi, otaknya harus dipindahkan lagi ke suasana Belitung, karena dia harus menyelesaikan post-production Laskar Pelangi. Di antara jadwal yang ”sinting” itu, dia masih sempat membacakan orasi dalam acara ulang tahun Aliansi Jurnalis Independen ke-14 tentang sensor film. ”Tapi semua kesibukan ini rewarding,” kata Riri kepada Tempo. ”Saya beruntung, tim untuk Laskar Pelangi dan untuk Drupadi orang-orang yang hebat.”
Berikut ini wawancara wartawan Tempo Yugha Erlangga dengan Riri di lokasi syuting di Belitung, Juni lalu.
Mengapa Anda tertarik mengangkat Laskar Pelangi menjadi film?
Di sini ada potensi cerita, gagasan, dan tema yang kuat. Selain itu, cerita ini memiliki potensi sinematik yang baik sekali. Zaman sekarang banyak novel bagus seperti itu. Tapi novel ini memiliki persoalan yang relevan, yakni ketika suatu kebijakan berdampak langsung kepada kehidupan masyarakat bawah. Ini setting akhir tahun 1970-an, tapi gemanya masih terasa sekarang.
Inilah cerita tentang orang-orang dari struktur masyarakat yang dikalahkan. Mereka dijadikan obyek oleh orang di tingkat elite seperti orang kecamatan, kabupaten, dan pengusaha daerah. Laskar Pelangi bercerita tentang orang-orang yang dikalahkan itu, orang-orang yang tidak diperhitungkan dan tidak cerah masa depannya; kemudian ada kisah tentang anak-anak nakal, anak-anak kuli dan buruh harian.
Bagaimana konsep Anda untuk menuangkannya ke dalam bahasa gambar?
Saya menggunakan mata peristiwa. Misalnya menggambarkan kegembiraan, keriangan, mestinya dialami ketika matahari bersinar. Apalagi kalau membayangkan novel ini, lalu melihat sendiri ke Belitung. Matahari adalah bagian penting bagi kehidupan anak-anak. Dan juga pelangi yang baru muncul setelah ada sinar matahari yang kuat setelah hujan. Jadi, matahari memainkan peranan penting sekali di film ini. Mereka bermain, gembira, dan berbuat nakal, semuanya di bawah teriknya matahari.
Tapi syuting sempat banyak terhalang hujan, kan?
Jadwal syuting memang sudah kita rancang sedemikian rupa. Kita optimistis karena mestinya Mei, Juni, Juli sudah masuk matahari yang cukup. Tapi ternyata kondisi tidak seperti yang kita harapkan.
Ada kerepotan saat menghadirkan pohon Filicium?
Kami datang ke sekolah Muhammadiyah yang asli. Nah, Andrea enggak terlalu ingat di mana tempat pohon itu dulu. Akhirnya saya berpikir, bisa saja dia melihat pohon itu di suatu tempat, dan ketika dia menulis novel dalam imajinasinya dia meletakkan pohon Filicium itu di samping sekolah. Jadi, kita tinggal cari sudut yang enak saja untuk menaruh pohon.
Bagaimana mencari karakter yang pas dengan anak-anak Laskar Pelangi?
Kombinasi antara bisa berakting dan karakter novel; tapi ada berbagai macam pertimbangan. Yang jelas, dari novelnya kita sudah punya bayangan, seperti Kucai yang tukang mengatur, tapi pada saat yang sama gampang juga down. Lintang sangat lurus dan cerdas, dapat dilihat dari matanya. Dia juga tenang dan punya kemauan kuat. Borek paling besar badannya. Lalu Mahar yang sok tahu dan tengil. Dalam prosesnya kami menggunakan imajinasi. Pertama lewat proses praseleksi, kemudian seleksi yang lebih ketat.
Berapa anak yang diproses?
Yang difoto untuk casting ada 1.350 anak dari Tanjung Pandan dan sekitarnya, sampai Manggar dan Gantong. Prosesnya mulai Desember, bolak-balik, makin lama makin matang. Misalnya, saya duduk di satu sekolah dasar di Tanjung Pandan. Kami membuka diri, yang datang 20 orang. Kami tanya, bisa nyanyi enggak?
Siapa yang paling berkesan?
Kucai, dia yang paling berkesan. Ada sesuatu di dalam Yogi Nugraha—pemeran Kucai—yang sangat pas saat memerankan Kucai. Pada dasarnya mereka anak-anak biasa, tidak ada pretensi berlebihan. Saya merasa hampir semua emosi yang kami minta—lucu, dramatis, marah—bisa dia perankan.
Katanya sulit menemukan pemeran Mahar?
Iya, sempat Yogi akan kami jadikan Mahar. Tapi casting director saya, Ismoyo, yakin pasti nanti ketemu. Benar juga, begitu bertemu, Verrys Yamarno sudah di ring basket. Verrys datang dengan gaya baju Mahar. Jalannya begitu sambil cium ketiak, lalu teriak: bau cuka! bau cuka! Lalu dia menyanyi.
Verrys sudah bekerja sama dengan pentolan musik Melayu tingkat nasional terkenal di Jakarta, Marakarma, yang menggarap Iyet Bustami dan semua penyanyi dangdut yang ada di Indonesia itu. Keluarganya sederhana, rumahnya tidak ada listrik.
Kenapa fokus film ini pada Lintang dan Ikal?
Hampir semua motif dalam cerita ini digerakkan oleh Lintang, Ikal, dan Mahar, dengan kemenangan di karnaval. Meski begitu, tidak bisa dikatakan cuma cerita tiga karakter, karena tokoh seperti A Kiong juga figur penting. Apalagi adanya Bu Muslimah, Pak Harfan, bahkan Mahmud dan Bakrie yang agak antagonis, juga penting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo