Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Jakarta Biennale 2011</font><br />Antara yang ’Kacau’ dan Mengesankan

Yang namanya well-organized itu absen dari penyelenggaraan, padahal banyak karya benar-benar kuat dari sisi gagasan dan pengerjaan.

26 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua kali sudah Jakarta Biennale "melepaskan diri" dari moyangnya. Ia tak lagi sebuah pameran besar yang mencoba menggambarkan perkembangan mutakhir seni rupa Indonesia seperti pameran besar pertama pada 1972. Dewan Kesenian Jakarta, empunya perhelatan, meluaskan pameran besar yang dalam perjalanannya kemudian disebut Jakarta Biennale (agaknya istilah ini mengacu pada biennale pertama di Italia, Venice Biennale, 1895) pada biennale 2009 dan 2011 yang sekarang. Dua pameran ini tak lagi nasional, tapi internasional.

Segera, masalah pun terbit: tak mungkin lagi menggambarkan perkembangan mutakhir, karena pameran ini menjadi internasional. Maka, seperti sudah dilakukan di sejumlah biennale di abad ke-20 di sejumlah kota (negara), diambil satu tema. Mengacu pada tema itulah kurator atau tim kurator memilih seniman dari segala penjuru, dibantu atau tak dibantu oleh kurator "lokal".

Demikianlah Jakarta Biennale (JB) 2011 ini mengambil tema "Maximum City: Survive or Escape?", yang konon terinspirasi buku Maximum City: Bombay Lost and Found karya Suketu Mehta, terbit pada 2004. "Maximum" dalam kaitan ini untuk menyebut sebuah kota "yang sesak dan meledak, melebihi daya dukung dan daya tampungnya". Dari tema itu dijabarkanlah lima subtema: kekerasan dan perlawanan; narsisme, voyeurism, dan tubuh; korban game, sukan, dan gadget; bujuk-rayu metro-text; dan yang kelima, warga kota dan homo ludens. Mungkin subtema ini untuk memudahkan seniman yang diundang "memilih" karya untuk disertakan, sekaligus memudahkan tim kurator, yang terdiri atas Ilham Khoiri, Seno Joko Suyono, Bambang Asrini Widjanarko, dan kurator tamu Eileen Legaspi Ramirez dari Filipina, mengelompokkan karya dalam penyajiannya.

Yang jelas, dengan tema itu, tercapai atau tidak dalam karya, pameran kira-kira akan "senada", tak centang-perenang ke mana-mana. Baik di Galeri Nasional Indonesia maupun di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, "kesenadaan" itu memang ada. Selain itu, faktor penting dari pameran biennale, yakni kecenderungan karya seni rupa mutakhir, tersajikan: seni video dan karya instalasi dalam berbagai ragam (dari yang "sederhana" seperti karya Jet Pascua berupa ratusan garpu ditancapkan di "meja" dan "bangku" sampai karya Yudhi Sulistyo yang membuat "tank" yang lebih besar daripada aslinya dari kertas).

Dari sisi tersebut—"kesenadaan" dan kecenderungan mutakhir—suka atau tak suka, JB 2011, yang diikuti 100-an seniman Indonesia dan 20-an seniman mancanegara, boleh dibilang memenuhi standar. Memang, sejumlah karya semestinya tak usah disertakan. Misalnya karya instalasi luar ruang di halaman samping Galeri Nasional, berupa lubang di tanah sekitar 4 x 5 meter dan berisi entah apa. Tapi konon ini sebuah "kesulitan teknis", seniman bersangkutan tak jadi hadir karena satu dan lain hal. Pada kenyataannya, ada juga karya yang memang urung dipamerkan karena tertahan di bandar udara atau pelabuhan.

Kalau harus dinilai, menurut saya, JB 2011 mirip SEA Games 2011 minus soal korupsinya. Dua event ini diwarnai "kekacauan", tapi hasil akhirnya, meski tak sempurna, bisa dibilang memenuhi standar itu tadi. Meski diwarnai beberapa insiden, misalnya aspal licin di arena balap sepatu roda, secara keseluruhan SEA Games 2011 berjalan baik.

Demikian juga JB 2011. Ada sejumlah karya yang bagi saya mengesankan. Di antaranya karya Lyra Garcellano dari Filipina. Sebuah ruang dengan sebuah tangga tinggi dan bayang-bayangnya di lantai. Lalu pencahayaan yang temaram. Ini sebuah puisi ruang, terasa sedikit surealistis. Judul karyanya Seberapa Dalam Lautan, Seberapa Tinggi Langit; begitu kira-kira kalau diindonesiakan.

Lalu Li Hui dari Cina dengan Broken Glass, yang di malam pembukaan belum hadir. Karya ini memerlukan ruang gelap. Di situ sebidang kaca retak digantung "melayang mendatar", lalu sejumlah sinar laser ditembakkan dari beberapa sudut dan sisi. Sinar itu baru terlihat bila ruang dipenuhi asap. Ketika itulah imaji alam raya tersaji, seperti kita berada di tempat sunyi, sepi sendiri berdiri di tengah malam, dan memandang langit. Di saat gulita itu berseliweran "kehidupan", sinar-sinar itu.

Lalu kendaraan perang semacam tank Yudhi Sulistyo. Ini sebuah eksplorasi material yang sungguh tidak hanya memerlukan keterampilan teknik, tapi juga imaji yang menjadikan material kertas tampak baja dan besi. Ini sebuah guncangan kesadaran untuk menembus hal yang sudah dipahami secara umum tapi ternyata bisa menjadi beda. Inilah kreativitas.

Jangan dilewatkan karya Jumaadi. Ia menggelar karya-karya kayunya yang dibentuk menjadi potongan-potongan tubuh, lalu sepatu ringsek, sandal bobrok, dan beberapa benda "urban" lain. Semuanya ditata rapi di hamparan "tikar", mengingatkan kita pada hamparan benda-benda arkeologi yang baru saja dibersihkan setelah diangkat dari tempat benda-benda itu terkubur ratusan tahun. Potongan-potongan tubuh itu, dan benda-benda yang lain, tidakkah menggemakan kisah semasa itu semua masih hidup?

Dan demikianlah sebuah karya video berkisah tentang mayat orang yang ditemukan (judul karya ini agak meleset menurut saya, Bangkai, semestinya Mayat; terjemahan Inggrisnya benar, Corpse, bukan Carcass). Karya ini merekam jalan, jembatan, dan lorong yang diperkirakan menjadi bagian sehari-hari orang itu semasa hidupnya. Sebuah renungan tentang hidup dengan bahasa seni video yang pas. Catatan: karya ini bisa disaksikan dari "depan" dan "belakang", seperti pada pertunjukan wayang kulit; bedanya, gambar karya video ini di kedua sisi sama jelas dan berwarna, bukan di satu sisi hanya tampak bayang-bayangnya seperti pada pertunjukan wayang kulit.

Terasa bahwa karya-karya video, karena mungkin banyak yang mengesankan, mendominasi JB 2011. Lihat misalnya karya berdua Julia Burns dan Enrica Ho, The Solitude of Jiang Hua. Atau 360 degree Self-Portrait karya Julie Rrap. Adalah Cipta Croft Cusworth yang menyajikan sebuah kota robot. Memasuki kota ini, mendadak kita pun merasa menjadi bagian dari kota itu, bertukar sapa dengan robot-robot, bahkan merasa kita adalah juga robot. Inilah imaji kota masa depan, Distopia-Dollirium, judul karya itu.

Yang juga "memindahkan" hidup sehari-hari ke ruang pameran adalah karya berupa ruang keluarga sebuah rumah. Di situ lengkap: meja dan kursi, televisi, dan dinding penuh foto kenangan, beberapa berupa monitor yang menyajikan rekaman film. Dan semua peranti itu dibalut warna putih. Ini bukan kota masa depan, melainkan ruang keluarga masa kini, mungkin ruang Anda atau saya.

Sebenarnya masih banyak yang bisa dicatat sebagai karya mengesankan. Namun hal itu perlu dipotong di sini, untuk memberi ruang "keluh-kesah" (untuk tak mengatakan "cercaan") kepada sarana dan prasarana JB 2011, yakni dari buku katalog yang "kacau-beliau" hingga penyajian karya yang "mudah-mudahan rapi". Buku katalog itu benar-benar tak berguna. Banyak halaman tak lengkap, tanpa foto atau teks, dan lebih celaka lagi dicantumkannya nama yang (sepertinya) tak ada sangkut-pautnya dengan pameran ini.

Di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki terutama, desain ruangnya saya kira benar-benar asal-asalan. Kita seperti memasuki gudang yang segera dirobohkan karena akan digantikan bangunan baru. Padahal di sini ada karya mengesankan, setidaknya sebuah karya kotak merah besar, berpintu, dan kalau Anda melongok ke dalam, ada sebuah ruang penuh ranting, dan di antara ranting ada bulatan seperti bola mata. Tepat menghadap pintu, sebuah monitor televisi menyajikan gambar diam: sebuah sawah nan hijau.

Dengan satu kalimat, pameran ini memenuhi standar, hanya saja tak well-organized. Sudah saatnya, sebelum semakin kacau, DKJ memikirkan sebuah biennial foundation yang hanya memikirkan JB jauh-jauh tahun (bukan hari) sebelumnya.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus