Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekerja Yuz Museum menatap lekat rangka besi yang ditopang empat kursi itu. Mereka mengira-ngira letak titik-titik lampu dan potongan kaca yang akan dipasang di sana. Sesekali mereka menengok konsep karya itu di sehelai kertas. Mereka sedang memasang Broken Glass, karya instalasi seniman kontemporer Cina, Li Hui, yang terbuat dari laser dan potongan kaca, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada Ahad siang dua pekan lalu.
Sesekali Diana Wibawa, pengelola Yuz Museum, yang membawa karya itu, menelepon sang seniman untuk meminta penjelasan lebih terperinci soal karya tersebut. Seharusnya karya itu sudah terpasang tiga hari sebelumnya, saat Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo membuka pameran Jakarta Biennale#14.2011. Karya itu sesungguhnya dipersiapkan untuk memberi kejutan bagi para pengunjung di malam pembukaan. Broken Glass dibuat khusus oleh Li Hui untuk Jakarta Biennale.
Namun, saat pembukaan, karya Li Hui itu dan 15 karya seniman luar negeri lainnya masih tersangkut di Bea dan Cukai Bandar Udara Soekarno-Hatta. Keesokan paginya, sebagian karya tersebut baru bisa keluar. Karya Li Hui baru bisa dinikmati pada Rabu pekan lalu. Juga karya Tayeba Begum Lipi, seniman Bangladesh, berupa instalasi kutang-kutang dari silet. Karya ini baru saja dipamerkan di Venice Biennale dan dikirim ke Jakarta Biennale dari Italia.
Menurut Diana, Li Hui sangat kecewa atas kejadian ini. "Dia bahkan belum pernah melihat hasil jadi karyanya. Baru konsepnya," ujarnya. Sebagian besar seniman yang karyanya tersangkut itu berasal dari Filipina, seperti Louie Cordero, Lyra Garcellano, Claro Ramirez, dan Gaston Damag. Seniman lain adalah Varsha Nair dari India dan Wafaa Bilal dari Amerika Serikat.
Meski mereka kecewa karyanya belum tiba di hari pembukaan, beberapa seniman memutuskan berimprovisasi dengan membuat karya dari bahan-bahan yang ditemukan di area Galeri Nasional. Vic Balanon dan Ferdz Valencia, misalnya, langsung membuat instalasi dari dua peti kayu penuh paku dan menambahkan materi multimedia dari komputernya.
Kepala Seksi Penindakan dan Penyidikan Bea-Cukai Soekarno-Hatta, Gatot Sugeng Wibowo, membantah soal penahanan karya itu. Menurut dia, untuk mengeluarkan barang buat pameran, seharusnya panitia mengajukan permohonan izin impor sementara ke Kepala Bea dan Cukai, yang akan menerbitkan surat keputusan dan pemberitahuan impor barang. "Kami tidak menahannya. Penerima kiriman belum melakukan pengurusan surat itu," katanya.
Panitia Biennale juga menghadapi masalah dana. Menurut Dimas Fuady, Manajer Hubungan Masyarakat Dewan Kesenian Jakarta, pemerintah Jakarta hanya mengucurkan sekitar Rp 2 miliar untuk acara ini. Tentulah dana sebesar itu tidak cukup untuk pameran yang melibatkan sekitar 180 seniman dan kelompok seni ini.
Jurus penghematan pun dilakukan, termasuk memotong honor sebagian seniman. Sebagian peserta bisa menerima, tapi banyak pula yang mengundurkan diri. Jurus lain adalah menekan biaya pembuatan karya dengan mengganti materinya, seperti Budi Pradono, yang membuat instalasi bangunan miring gigantik di halaman Galeri Nasional setinggi 12 meter. "Semula direncanakan dari besi, tapi akhirnya dibuat dari bambu," kata Budi.
Soal perizinan juga tak kalah peliknya. Biennale Jakarta kali ini, di samping menggelar karya di Galeri Nasional, Taman Ismail Marzuki, dan Plaza Central Park, memiliki program menggelar karya di taman-taman kota, jembatan bawah tanah, sampai di pos-pos polisi. Meskipun sudah ada rapat koordinasi antara panitia dan jajaran dinas terkait, untuk urusan outdoor ini tetap saja panitia harus mondar-mandir ke sana-kemari.
Untuk izin pertunjukan Saurus di Bundaran Hotel Indonesia, misalnya, panitia butuh waktu sebulan, dari izin ke pos polisi setempat hingga Markas Besar Kepolisian Indonesia. "Alasannya, ada artis asingnya," kata Wirya Kartasasmita, anggota panitia yang mengurus perizinan ini.
Dian Yuliastuti, Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo