Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nikolaos van Dam*
Merupakan impian banyak orang Arab bahwa setiap orang bisa berbicara bahasa Arab klasik yang sama. Bagi beberapa ahli bahasa Arab, dialek Arab dianggap bentuk yang menyimpang dari bahasa yang digunakan dalam Al-Quran atau dari bahasa Arab yang digunakan Nabi Muhammad. Kenyataannya, dialek Arab sudah lama hidup, bahkan pada era kehidupan Nabi Muhammad. Jadi, merupakan suatu hal yang anomali jika Semenanjung Arab dulu adalah suatu wilayah linguistik yang homogen.
Sebuah wilayah yang luas memang lazim memiliki beraneka ragam dialek. Bahasa Arab Al-Quran merupakan salah satu dari begitu banyak ragam tersebut, juga di masa lalu. Bagi kalangan nasionalis Arab, impian terus berlanjut bahwa semua orang Arab seharusnya menggunakan ragam bahasa klasik yang sama. Kenyataannya, tidak ada satu orang pun yang menggunakan bahasa Arab klasik atau bahasa Arab modern yang baku sebagai bahasa ibu, baik di rumah maupun dalam lingkungan sosial informal lainnya. Karena itu, suatu hal yang tidak realistis untuk berharap bahwa bahasa Arab klasik kelak akan menjadi bahasa penyatu masyarakat Arab, yang dalam hal ini memang belum pernah terjadi. Namun itu tetap sangat penting sebagai faktor pemersatu bagi dunia Arab.
Secara historis, perkembangan bahasa Indonesia agak berbeda dengan perkembangan bahasa Arab. Satu abad yang lalu, bahasa Melayu hanya dituturkan oleh satu kelompok kecil di wilayah yang kini dikenal sebagai Republik Indonesia. Lebih sedikit dari sepuluh persen penduduknya memakai bahasa Melayu sebagai bahasa ibu yang alami; bahasa Melayu merupakan bahasa yang mayoritas digunakan di daerah tertentu di Sumatera. Baru sejak 1920-an, bahasa Melayu berkembang menjadi sebuah bahasa baku yang baru, yang kemudian diberi nama bahasa Indonesia.
Bahasa ini semula agak bersifat artifisial—sebagai bahasa nasional—berasal dari bahasa resmi yang pernah digunakan dalam korespondensi Kerajaan Johor-Riau. Bahasa resmi ini, yang bukan merupakan bahasa percakapan sehari-hari seperti halnya dialek Melayu di daerah Riau, kemudian berkembang lebih lanjut dan menghasilkan contoh sukses dari sebuah "perencanaan bahasa" dan merupakan mukjizat bahwa bahasa ini dalam waktu satu abad menjadi bahasa resmi di seluruh Indonesia. Bahasa ini berhasil memperoleh posisi yang kuat sebagai bahasa persatuan bagi sebagian besar orang Indonesia.
Walaupun tampaknya ada niat resmi untuk mengajarkan bahasa Indonesia yang baku kepada semua penduduk, dalam prakteknya berbagai bentuk dialek sehari-hari juga berkembang di Indonesia. Dialek Melayu yang sebelumnya telah dituturkan relatif tidak berdampak. Dalam teorinya, sebenarnya ada kemungkinan bahasa Indonesia bisa mencapai impian yang diharapkan banyak orang Arab terhadap bahasa mereka—agar semua orang menuturkan satu bahasa resmi sebagai bahasa ibu. Namun, dalam prakteknya, hal itu tidak seperti yang dibayangkan. Mungkin ini juga merupakan dampak dari kenyataan bahwa para pengajar bahasa Indonesia mencampurkan bahasa resmi dengan unsur-unsur daerah yang terdapat dalam bahasa mereka atau dengan berbagai dialek Melayu mereka.
Karena hanya belajar bentuk resmi dari bahasa Indonesia, saya terkejut mengetahui bahwa tidak seorang pun menuturkan secara spontan bentuk murni bahasa Indonesia sebagai bahasa yang digunakan di rumah atau sebagai bahasa ibu.
Apakah ini merupakan gejala yang negatif? Saya rasa ini hanya mencerminkan bahwa dialek berkembang di samping bahasa resmi dan hampir pasti akan tetap berada bersama bahasa resmi. Gejala ini disebut dengan diglosia, yang berarti situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa resmi dan tidak resmi. Gejala diglosia juga terdapat di banyak negara dan hal itu dianggap sebagai suatu hal yang biasa, walaupun kenyataan ini tidak selalu dikenal atau diketahui.
Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegah diglosia, kecuali—dalam hal ini bahasa Indonesia—membangun kesadaran yang kuat bahwa bahasa Indonesia seharusnya diajarkan di sekolah dan lembaga pendidikan lain dengan pesan bahwa bahasa ini merupakan bentuk yang sangat indah dan canggih dari bahasa Indonesia, yang telah berperan penting dalam menyatukan rakyat.
Indonesia, yang dalam rangka persatuan itu, mempunyai keanekaragaman. Peran pemersatu bahasa Indonesia layak dipelihara dengan baik, seperti halnya bahasa Arab. Para pemakai puris bahasa (pengguna bahasa yang murni formal—Red.) cenderung mempunyai keinginan menggunakan bentuk bahasa resmi yang tertentu. Namun mereka tidak bisa memaksakan bahasa apa yang digunakan orang sehari-hari. Upaya memaksakan standar linguistik mereka bahkan dapat menimbulkan ketidaksenangan terhadap bahasa resmi. Apa yang mereka, dan yang lainnya, dapat lakukan adalah mendorong tumbuhnya kecintaan kepada bahasa Indonesia sedemikian rupa sehingga rakyat Indonesia senang menggunakan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari.
*) Pakar Timur Tengah dan mantan Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia, Irak, Mesir, dan Turki
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo