Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

<font color=#FF9900>Tafsir Liris</font> dari Belitung

Riri Riza ”menggeser” fokus cerita Laskar Pelangi. Lebih kaya dalam latar sosial dan liris.

22 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELITUNG, 1979. Kota ini ”terbelah”. Sebuah papan bercat kuning dalam tiga bahasa—Indonesia ejaan lama, Belanda, dan Mandarin—yang terpasang di pintu gerbang Perusahaan Negara Tambang Timah, yang berjarak tak jauh dari Sekolah Dasar Muhammadiyah Gantong, Belitung Timur, menunjukkan strata sosial yang terkerat itu. Papan itu bertulisan ”Dilarang Masuk buat orang jang tida punja hak”.

”Orang-orang staf”, begitulah julukan bagi pegawai perusahaan, lalu-lalang menggunakan mobil Datsun, skuter, atau motor Yamaha. Pegawai kecilnya berombongan mengayuh sepeda. Di dalam kompleks perusahaan berdiri rumah-rumah peninggalan Belanda dan Wisma Ria Lenggang yang dilengkapi air mancur. Wisma ini biasa dipakai untuk memutar film-film kungfu melalui layar proyektor.

Sutradara Riri Riza kemudian membenturkannya dengan panorama masyarakat asli Gantong yang terdiri atas etnis Melayu, Tionghoa, dan suku Sawang. Mereka bekerja sebagai buruh timah atau nelayan. Anak-anak mereka terjun menjadi kuli. Dan lihatlah sekolah Muhammadiyah itu: beratap seng penuh lubang, berdinding kayu seadanya, dan harus disangga oleh batang pohon agar tak roboh. Di malam hari, sekolah ini beralih fungsi sebagai kandang kambing.

Di menit-menit awal—juga hampir di sekujur film—Riri menyuguhkan gambar-gambar kontras yang mengentak itu. Dimulai dengan perjalanan pulang Ikal dewasa (dimainkan Lukman Sardi) ke Gantong, Riri segera meletakkan konteks sejarah masyarakat Belitung, sebelum masuk ke dalam cerita Laskar Pelangi. Ia menyelipkan foto dokumenter pemerintah kolonial Belanda saat mendirikan perusahaan Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Billiton pada awal abad ke-20, yang menggambarkan sejarah panjang dan pahit daerah penghasil biji timah terbesar ketiga di dunia itu. Inilah asal mula tercerabutnya masyarakat asli Belitung dari tanahnya sendiri.

Riri di film ini tampak jelas tak hendak menyajikan Laskar Pelangi yang dalam novel dikenal berkisah tentang kenakalan dan kejeniusan anak-anak sekolah Muhammadiyah belaka. Ia memberikan tafsir baru, bahkan memperkayanya dengan latar sosial dan politik. Riri pun kemudian ”menggeser” fokus cerita lebih kepada perjuangan sekolah anak-anak Laskar Pelangi menghadapi hidupnya yang limbung—juga menghadapi sekolah mapan di balik gerbang perusahaan raksasa itu.

Trio Ikal (Zulfany), Lintang (Ferdian), dan Mahar (Verrys Yamarno) memang tetap menjadi pusat cerita. Tapi porsi Bu Muslimah, juga Pak Harfan, guru dan kepala sekolah Muhammadiyah, jauh lebih besar dibanding cerita dalam novel. Dengan lebih berfokus pada Bu Muslimah, Ikal, Lintang, dan Mahar itu, para pembaca setia Laskar Pelangi pun kehilangan cerita kegilaan teman-teman Ikal yang lain.

Kisah Borek alias Samson yang mempraktekkan ”penyakit gila nomor 5” dengan membuka praktek sedot dada dengan bola tenis agar tampak kekar, misalnya, tak cukup dieksplorasi. Ia hanya muncul sambil lalu. Cerita Trapani yang berakhir dramatis, karena menderita mother complex, malah sama sekali tak muncul. Begitu pula kisah Mahar yang bak seorang dukun menyembuhkan Ikal yang sakit akibat dimabuk cinta.

Namun Laskar Pelangi versi Riri sama sekali tak menebas seluruh kelucuan dan kenakalan anak-anak itu. Masih ada aksi tengil Mahar saat mempersiapkan karnaval, Ikal yang berdandan habis-habisan dan bergaya bak Rhoma Irama saat bertemu dengan A Ling yang ia cintai, dan Lintang yang harus menunggu buaya lewat untuk menuju sekolah yang berjarak 40 kilometer dari rumah gubuknya.

Riri justru berhasil menjinakkan ”keganjilan” pada beberapa bagian novel Andrea. Mahar yang mengagetkan Bu Mus dengan tiba-tiba menyanyikan Tennessee Waltz karya Anne Murray dan ”si jenius” Lintang yang berdebat hebat tentang cincin Newton dalam lomba cerdas cermat ”dibumikan” Riri menjadi adegan yang lebih wajar bagi seorang anak. Riri mengganti Tennessee Waltz dengan Bunga Seroja, yang justru memperkental roh Melayu ke dalam film. Dan untuk adegan lomba cerdas cermat itu, secara tak terduga Riri mengubahnya menjadi drama yang menggetarkan. Menonton film ini mengingatkan kita pada film Denias, Senandung di Atas Awan (2006), juga tentang anak di desa terpencil yang tak menyerah untuk bersekolah.

Inilah metamorfosis Laskar Pelangi versi Riri. Ia bercikal bakal tubuh yang sama, tapi kemudian mengelupaskan kulitnya menjadi tubuh yang baru. Salah satu tokoh dalam novel, misalnya, kemudian meninggal dalam film. Dan ini menjadi adegan—yang tak ada dalam novel—yang sungguh menyentuh. Film Laskar Pelangi telah bertransformasi menjadi karya yang lebih realistis dan kaya akan konflik sosial.

Yos Rizal Suriaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus