Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

PLEIDOI UNTUK KORBAN KEKACAUAN

Bekas wartawan yang menyodorkan sudut pandang yang tidak hitam-putih tentang tokoh-tokoh yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia. Dia berikan saksinya lewat novel.

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPENGGAL puisi itu menyeret Putu Astagina, penulisnya, ke kamp tahanan militer di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta. Seorang interogator memeriksa penyair asal Pulau Dewata itu dengan regangan otot dan kepalan tangan. Puisi yang ditemukan dalam sebuah penggerebekan tersebut dipermasalahkan karena penyairnya dianggap mengetahui hari-hari menjelang revolusi 1965. Dan karena itu, ia dituduh menjadi bagian dari persekongkolan sebuah pemberontakan. Waktu itu, lembar kalender menunjuk episode yang hitam dalam sejarah Indonesia: Oktober 1966. Bumi pertiwi baru saja disapu badai politik yang disebut—oleh catatan sejarah Orde Baru—sebagai pemberontakan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (PKI). Kisah Putu Astagina itu adalah salah satu dari beberapa fragmen yang berkelebatan dalam novel karya Martin Aleida, bekas wartawan yang tidak mau menyebutkan nama aslinya. Nama tokoh-tokoh, baik fiktif maupun nyata, dalam sejarah 1960-an itu bermunculan dalam chaotic yang diceritakan oleh Saifullah, tokoh utama novel ini. Mereka antara lain Naibaho, pemimpin redaksi koran Harian Rakyat yang berhaluan komunis; Nyoto, ketua dewan redaksi koran yang sama; dan Mimi Damarwati, kekasih Saifullah. Tampak ada benang merah cerita yang disampaikan oleh novel ini: sebuah pleidoi terhadap orang-orang yang menjadi korban bahasa politik yang hitam-putih di sebuah masa yang chaotic, penuh kekacauan. Novel ini mengungkapkan struktur psikologis beberapa tokoh yang tidak sekadar hitam-putih dalam membuat persepsi ideologi komunisme—yang bisa jadi dianggap "seksi" oleh kalangan seniman—tahun-tahun itu. Cerita sebetulnya berpusat pada tokoh Saifullah, lelaki muda asal Sumatra yang menjadi wartawan di Harian Rakyat. Koran dengan oplah terbesar itu memuat editorial tanggal 2 Oktober 1966 yang mendukung komunisme. Sehari kemudian, koran itu berhenti bernapas. Pemimpin redaksi dan wartawannya ditahan. Saifullah, yang dekat dengan Nyoto, pun diangkut militer. Selama di dalam tahanan itu, Saifullah menyaksikan dan mendengar berbagai cerita kekejaman militer terhadap tahanan politik. Berbagai bentuk penyiksaan dilakukan para interogator untuk membetot pengakuan dari mulut tahanan. Untuk "menafsirkan" puisi Putu Astagina tersebut, misalnya, interogator tak segan mendera punggung penyair itu dengan cambuk. Cerita lain yang memilukan adalah penahanan istri Nyoto dan keempat anaknya yang masih di bawah umur, termasuk seorang bayi berusia dua bulan, di kamp militer. "Kejadian itu memukul perasaan Saifullah. Strategi penumpasan orang-orang merah macam apa yang sedang dijalankan ini?" begitu novel ini menulis. Tapi substansi cerita tidak terletak pada gambaran kekejaman militer itu. Martin tampak mencoba menuangkan opininya tentang komunisme dan peristiwa-peristiwa politik penting lewat dialog para tokoh dalam novel. Misalnya, dalam bagian yang membahas soal editorial Harian Rakyat (HR) 2 Oktober itu terpancar kesan bahwa Martin mencurigai sebuah konspirasi politik untuk menyudutkan PKI. Soalnya, tajuk itu, menurut novel ini, dianggap sebagai lampu hijau bagi para penjagal untuk membantai orang-orang kiri. "Ada yang mengatakan anggota komite sentral PKI Oloan Hutapea yang belakangan mengendalikan HR? Dan dia dekat dengan orang-orang tertentu di angkatan darat," begitu penggalan dialog itu. Sebagai karya sastra, novel ini lemah secara teknis. Karakter tokoh utamanya tidak tergambar secara utuh. Alur ceritanya tidak mampu membangun suatu klimaks cerita sebagaimana resep "gurih" novel. Fragmen-fragmen dari tokoh tertentu dengan tema-tema yang berbeda memecah fokus cerita. Bila harus disebut, nilai lebih dari novel ini adalah kemampuan Martin menyodorkan sudut pandang yang tidak hitam-putih terhadap peristiwa G30S/PKI kepada pembaca, betapapun pengarangnya sendiri menganggap karya ini tak lebih dari sekadar novel. Kelik M. Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus