SUDARMADJI (44 tahun), bekas dosen ASRI, salah seorang kritikus
seni rupa terpandang di samping Kusnadi, dan sekarang Direktur
Balai lajang, Jakarta. Lulus ASRI tahun 1956, Jurusan Seni
Lukis. Melanjutkan ke IKIP Seni Rupa dan lulus tahun 1968.
Bagaimana tentang ciri khas ASRI?
Dulu, itu jelas. Pengajarnya semua otodidak. Baik Affandi,
Sudarso, Trubus, Rusli. Semangat nasionalisme tinggi. Mereka
mendidik untuk mengali dan mencari seni rupa daerah, jadi ada
corak Indonesia. Juga cara memperoleh ilmu di ASRI banyak
dilakukan di luar, jadi ekspresionisme. Lain dengan ITB yang
melakukan penerapan ilmu di studio, jadi kubisme. Sekarang sih
sama saja. ASRI juga sudah melakukan seperti ITB.
Ketegangan apa saja yang pernah terjadi di ASRI?
ASRI lahir tahun 50 dengan peraturan yang tak lengkap. Ini
memang konyol. Sehingga ASRI menerima dari SMP dan juga dari SMA
dengan penghargaan yang sama, tingkat I dan tingkat II. Jurusan
Guru Gambar, dari SMA, mendapat pengakuan B II. Jadi sudah jelas
penampungannya, bisa jadi guru. Tapi untuk jurusan yang lain
kurang jelas. Timbul ribut-ribut. Pergantian kurikulum dari
model Belanda ke Amerika juga ribut. Dulu kurikulum supel,
seniman masih bisa nyeniman, tapi dengan datangnya kurikulum
Amerika jadi ketat. Apalagi dengan adanya sistim semester,
kredit dan Bahasa Inggeris yang harus lulus. Jurusan Seni Lukis
paling keras memprotes: mereka merasa tertekan. Ini terjadi
tahun 70-an.
Bagaimana dengan pemecatan mahasiswa ASRI dulu? Dan dosen?
Dosen tak ada yang dipecat. Cuma tak lagi diberi kedudukan
penting! Mahasiswa yang tergabung 'Desember Hitam', Muni Ardi,
Hardi, Harsono, Rispurwono dan Siti Adyati, diskors. Saya tak
ingin mereka diskors, saya tak mau menandatangani skorsing itu.
Benarkah ada dosen yang diberi gelar drs dengan mudah? Jangan
tanyakan saya. Benarkah ASRI melempem? Saya tidak usah menjawab.
Nanti dikira tidak obyektif, karena saya termasuk orang yang
"didepak".
Sebenarnya, apa yang bisa dan lebih baik dikerjakan ASRI
sekarang?
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan mahasiswa harus seizin Rektor.
Ini sebenarnya tak perlu. Cukup mereka memberitahu saja. Mereka
berpameran di luar toh atas nama pribadi, kalau ada apa-apa
misalkan ditangkap, karena sekarang musimnya tangkap-tangkapan,
toh mahasiswa yang bersangkutan yang harus menanggung. ASRI
sekarang ini terlalu ketat. Terlambat lima menit tak boleh
masuk. Kalau saya dulu, biarlah terlambat 5 menit asal satu jam
pelajaran berikutnya bisa mereka ikuti. Mereka tak datang ke
sekolah juga tak apa. Melukis waktu tidak in the mood itu kan
biasa. Kita harus berikan kebebasan berkarya dan kreatifitas
yang diperlukan oleh seorang calon seniman, dalam batas
undang-undang yang berlaku. Mustinya, yang perlu ditingkatkan
justru ketepatan tenaga pengajar. Kalau perlu masukkan tenaga
muda.
Seorang alumnus ASRI mengatakan: dulu mahasiswa dan dosen hampir
tak ada beda. Tidur bersama, latihan bersama, sangat akrab.
Sekarang sangat lain. Bagaimana? Wah ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini