Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Orijtes, orijtes, hama kelapa

Perkebunan kelapa di kab.sambas, kal-bar mendapat serangan hama orijtes, menyebabkan beberapa pabrik minyak kelapa tutup. di kepulauan riau, selain hama aritona, banyak pula binatang pemakan kelapa. (dh)

2 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KECUALI karet, Kabupaten Sambas juga terkenal sebagai penghasil kopra terbesar di Kalimantan Barat. Jadi tidak heran kalau di daerah ini terdapat 9 buah pabrik penyulingan minyak kelapa. Pada tahun 50 atau bahkan tahun 60-an misalnya, produksi kopra di daerah itu tercatat 50.000 ton lebih. Tapi kini, masa jaya kopra itu tampak mulai surut. Tentu saja segera diikuti memudarnya senyum di bibir para petani kelapa di daerah ini. Di Pemangkat misalnya, memudarnya masa jaya itu amat terasa. Sebab dua pabrik penyulingan minyak kelapa di sini sudah lama tidak bekerja lagi. Ini "berarti sudah 3 pabrik yang terpaksa tutup di Pemangkat," ujar Soewarno, Kepala Dinas Perkebunan Sambas kepada Sjachran R dari TEMPO. Dengan begitu di Sambas, cuma tinggal 6 pabrik saja lagi yang beroperasi. Itupun, "hanya sekedar bertahan untuk tidak tutup sama sekali," sebut satu sumber di Singkawang. Bahkan menurut sumber itu, hasil produksi kelapa di Sambas sekarang jika dibanding tahun 60-an, cuma tinggal 50% saja lagi. Ini dibenarkan oleh Soewarno. Menurut Soewarno hasil produksi sekarang cuma tinggal 21.662 ton. Padahal di kabupaten ini terdapat 29.294,67 ha kebun kelapa. Tapi dari jumlah areal itu, yang jelas-jelas diketahui tidak menghasilkan sama sekali ada seluas 9.510 ha. Inilah salah satu sebab mengapa tiga pabrik penyulingan tadi tutup. Mati Pucuk Tapi pangkal sebabnya adalah sudah kelewat tuanya pohon-pohon kelapa itu sendiri tanpa pernah diremajakan dan ditambah lagi adanya serangan hama yang bernama orijtes. Kendati orijtes ini tidak seganas sexava yang pernah melanda Sulawesi Utara, diakui oleh para petani sebagai amat sulit memberantasnya. "Tidak bisa disemprot," kata mereka. Hama ini menyerang pohon-pohon kelapa justeru hanya malam hari. Lebih malang lagi orij ini tidak tinggal di pohon kelapa itu sendiri. "Mereka cuma numpang kawin," kata Soewarno. Sebelum mereka kawin, orij jantan dan betina itu membikin lobang pada umbut-umbut kelapa atau pada pucuk-pucuk pohon. Setelah lobang selesai orij-orij itu masuk dan bersenggama di sana. "Setelah selesai bersenggama, mereka pergi," kata Soewarno pula. Dan begitulah terus menerus. Akibat tingkah laku orijtes itu, jika serangan tepat mengenai jantung umbut, kelapa itu pasti mati. Atau menurut istilah orang di sana, mati pucuk. Selain orijtes, juga masyarakat petani kelapa di sini mengenal hama si kumbang sagu. Si kumbang sagu inilah yang kemudian melanjutkan sarang orij setelah hama yang disebut belakangan ini kawin. Satu-satunya cara untuk memberantas hama itu adalah memutus siklus hidup hama itu sendiri. Ini tak mudah. Sebab harus melalui laboratorium yang dikenal dengan nama 'laboratorium metarizem'. Di daerah ini memang ada laboratorium tersebut. Namun hasilnya pun tak segera bisa dilihat. "Makan waktu dan harus sabar," kata Soewarno. Nah, mengenai lumurnya masa jaya kopra Sambas khususnya dan Kalimantan Barat umumnya, memang disadari betul oleh Pemerintah Daerah. Itulah sebabnya, peremajaan kelapa dilakukan secara besar-besaran. Menurut Soedjiman, Gubernur Kal-Bar, kini di daerah itu telah disebarkan satu juta bibit kelapa. Walau begitu, toh anggapan betapa kasipnya usaha peremajaan masih saja tersembur. Dan lagi, usaha peremajaan itu sendiri sulit akan berhasil dengan baik jika tidak dibarengi dengan intensifikasi. Semacam Bimas, begitu. Di Riau tak jauh berbeda dengan Kalimantan Barat. Meskipun andil Riau dalam statistik produksi kelapa Indonesia yang rata-rata 1,4 juta ton setahun itu, hanya sekitar 7 -- 8% saja. Disini terdapat lebih 150 ribu hektar kebun kelapa. Terutama di Kabupaten Inderagiri Hilir dan Kepulauan Riau. Namun produksinya suiit untuk mencapai 100 ribu ton setahun. Pada 5 tahun lalu, memang pernah sampai 140 ribu ton. Tapi sejak tahun 1973, anjlok tinggal 80 ribu ton saja. Orang-orang di Riau menghubungkan kemerosotan itu dengan adanya monopoli kopra oleh PT. Pembangunan Riau sekitar tahun 1972 sampai 1976. Akibat hempasan harga, banyak kebun-kebun kelapa yang dibiarkan tertidur. Tapi kalangan pejabat Dinas Perkebunan Riau sendiri menyebut alasan sudah terlalu tuanya umur kelapa-kelapa itu. "60% tanaman sebelum Perang Dunia ke II" begitu pernah dikatakan Suwanda, Kepala Dinas Perkebunan Rakyat Kepulauan Riau. Tapi juga akibat berbagai hama. Serangan hama pertama yang diketahui jelas dikawasan ini terjadi tahun 1971, dari jenis Artona. Puluhan ribu hektar kebun kelapa rakyat yang bertebaran di pulau-pulau meranggas. Usaha menanggulanginya praktis tak berhasil. Karena selain keterbatasan biaya dan obat-obat pembasmi, pun lokasi perkebunan itu terpencar-pencar sehingga untuk mencapai satu tempat diperlukan perjalanan berhari-hari. Akibatnya artona itu tak bisa dimusnahkan semua dan setiap tahun muncul dan berganti-ganti menggerayangi perkebunan rakyat. Beberapa bulan lalu, perkebunan kelapa rakyat di Kawal dan Karimun digasaknya. Padahal daerah itu merupakan salah satu pilot proyek peremajaan kelapa di Riau, yaitu tempat PMU (Proyek Management Unit) nya. Belum habis bala Artona, muncul pula ancaman baru. Kini hamanva lebih serius karena kalangan dinas terkebunan dan ahli-ahli di Riau tak tahu persis apa namanya. "Sebangsa virus" kata Asmar Ras, Ketua HKTI Kepulauan Riau. Hama-hama ini menyerang umbut-umbut kelapa dalam tempo cepat dan kelapa yang terserang kontan mati berdiri. Satu-satunya ikhtiar pihak dinas perkebunan maupun HKTI adalah melaporkan hal ini ke Jakarta dan minta diselidiki. Untuk itulah 2 bulan lalu suatu tim dari. Lembaga penelitian tanaman keras, Bogor, sudah berkunjung kesana. Namun sampai kini belum terdengar hasilnya. Tapi yang paling merisaukan para petani kelapa di Kepulauan Riau justru musuh rutin mereka sejak turun temurun yaitu monyet, tupai dan keluang. Jenis binatang pemakan kelapa, baik putik maupun yang masih muda ini dikabarkan jumlahnya puluhan ribu ekor. Di sebuah desa bernama Kelarik, Bunguran Barat, dikabarkan terdapat sekitar 1000 ekor tupai raya (istilah setempat). Binatang itu turun menyerbu berkelompok sampai 40 ekor. Seperti juga monyet-monyet. Bantuan Presiden Makanya, ketika Presiden Suharto berkunjung ke Kepulauan Riau tahun 1971, pemuka masyarakat daerah ini minta bantuan berupa senapan pemburu. "Untuk menembak monyet, pak" ujar mereka. Dan Presiden rupanya faham, kemudian memang membantu mereka beberapa belas pucuk senapan. Cuma saja, senapan-senapan itu akhirnya terpaksa jadi perhiasan di rumah-rumah, dan para monyet dan tupai tetap merajalela. Soalnya, "Pelurunya tak ada" ujar Kamruddin. Dan binatang-binatang itu semakin ganas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus