KECUALI karet, Kabupaten Sambas juga terkenal sebagai penghasil
kopra terbesar di Kalimantan Barat. Jadi tidak heran kalau di
daerah ini terdapat 9 buah pabrik penyulingan minyak kelapa.
Pada tahun 50 atau bahkan tahun 60-an misalnya, produksi kopra
di daerah itu tercatat 50.000 ton lebih.
Tapi kini, masa jaya kopra itu tampak mulai surut. Tentu saja
segera diikuti memudarnya senyum di bibir para petani kelapa di
daerah ini. Di Pemangkat misalnya, memudarnya masa jaya itu amat
terasa. Sebab dua pabrik penyulingan minyak kelapa di sini sudah
lama tidak bekerja lagi. Ini "berarti sudah 3 pabrik yang
terpaksa tutup di Pemangkat," ujar Soewarno, Kepala Dinas
Perkebunan Sambas kepada Sjachran R dari TEMPO.
Dengan begitu di Sambas, cuma tinggal 6 pabrik saja lagi yang
beroperasi. Itupun, "hanya sekedar bertahan untuk tidak tutup
sama sekali," sebut satu sumber di Singkawang. Bahkan menurut
sumber itu, hasil produksi kelapa di Sambas sekarang jika
dibanding tahun 60-an, cuma tinggal 50% saja lagi. Ini
dibenarkan oleh Soewarno. Menurut Soewarno hasil produksi
sekarang cuma tinggal 21.662 ton. Padahal di kabupaten ini
terdapat 29.294,67 ha kebun kelapa. Tapi dari jumlah areal itu,
yang jelas-jelas diketahui tidak menghasilkan sama sekali ada
seluas 9.510 ha. Inilah salah satu sebab mengapa tiga pabrik
penyulingan tadi tutup.
Mati Pucuk
Tapi pangkal sebabnya adalah sudah kelewat tuanya pohon-pohon
kelapa itu sendiri tanpa pernah diremajakan dan ditambah lagi
adanya serangan hama yang bernama orijtes. Kendati orijtes ini
tidak seganas sexava yang pernah melanda Sulawesi Utara, diakui
oleh para petani sebagai amat sulit memberantasnya. "Tidak bisa
disemprot," kata mereka. Hama ini menyerang pohon-pohon kelapa
justeru hanya malam hari. Lebih malang lagi orij ini tidak
tinggal di pohon kelapa itu sendiri. "Mereka cuma numpang
kawin," kata Soewarno. Sebelum mereka kawin, orij jantan dan
betina itu membikin lobang pada umbut-umbut kelapa atau pada
pucuk-pucuk pohon. Setelah lobang selesai orij-orij itu masuk
dan bersenggama di sana. "Setelah selesai bersenggama, mereka
pergi," kata Soewarno pula. Dan begitulah terus menerus.
Akibat tingkah laku orijtes itu, jika serangan tepat mengenai
jantung umbut, kelapa itu pasti mati. Atau menurut istilah orang
di sana, mati pucuk. Selain orijtes, juga masyarakat petani
kelapa di sini mengenal hama si kumbang sagu. Si kumbang sagu
inilah yang kemudian melanjutkan sarang orij setelah hama yang
disebut belakangan ini kawin.
Satu-satunya cara untuk memberantas hama itu adalah memutus
siklus hidup hama itu sendiri. Ini tak mudah. Sebab harus
melalui laboratorium yang dikenal dengan nama 'laboratorium
metarizem'. Di daerah ini memang ada laboratorium tersebut.
Namun hasilnya pun tak segera bisa dilihat. "Makan waktu dan
harus sabar," kata Soewarno.
Nah, mengenai lumurnya masa jaya kopra Sambas khususnya dan
Kalimantan Barat umumnya, memang disadari betul oleh Pemerintah
Daerah. Itulah sebabnya, peremajaan kelapa dilakukan secara
besar-besaran. Menurut Soedjiman, Gubernur Kal-Bar, kini di
daerah itu telah disebarkan satu juta bibit kelapa. Walau
begitu, toh anggapan betapa kasipnya usaha peremajaan masih saja
tersembur. Dan lagi, usaha peremajaan itu sendiri sulit akan
berhasil dengan baik jika tidak dibarengi dengan intensifikasi.
Semacam Bimas, begitu.
Di Riau tak jauh berbeda dengan Kalimantan Barat. Meskipun andil
Riau dalam statistik produksi kelapa Indonesia yang rata-rata
1,4 juta ton setahun itu, hanya sekitar 7 -- 8% saja. Disini
terdapat lebih 150 ribu hektar kebun kelapa. Terutama di
Kabupaten Inderagiri Hilir dan Kepulauan Riau. Namun produksinya
suiit untuk mencapai 100 ribu ton setahun. Pada 5 tahun lalu,
memang pernah sampai 140 ribu ton. Tapi sejak tahun 1973, anjlok
tinggal 80 ribu ton saja.
Orang-orang di Riau menghubungkan kemerosotan itu dengan adanya
monopoli kopra oleh PT. Pembangunan Riau sekitar tahun 1972
sampai 1976. Akibat hempasan harga, banyak kebun-kebun kelapa
yang dibiarkan tertidur. Tapi kalangan pejabat Dinas Perkebunan
Riau sendiri menyebut alasan sudah terlalu tuanya umur
kelapa-kelapa itu. "60% tanaman sebelum Perang Dunia ke II"
begitu pernah dikatakan Suwanda, Kepala Dinas Perkebunan Rakyat
Kepulauan Riau. Tapi juga akibat berbagai hama.
Serangan hama pertama yang diketahui jelas dikawasan ini terjadi
tahun 1971, dari jenis Artona. Puluhan ribu hektar kebun kelapa
rakyat yang bertebaran di pulau-pulau meranggas. Usaha
menanggulanginya praktis tak berhasil. Karena selain
keterbatasan biaya dan obat-obat pembasmi, pun lokasi perkebunan
itu terpencar-pencar sehingga untuk mencapai satu tempat
diperlukan perjalanan berhari-hari. Akibatnya artona itu tak
bisa dimusnahkan semua dan setiap tahun muncul dan
berganti-ganti menggerayangi perkebunan rakyat. Beberapa bulan
lalu, perkebunan kelapa rakyat di Kawal dan Karimun digasaknya.
Padahal daerah itu merupakan salah satu pilot proyek peremajaan
kelapa di Riau, yaitu tempat PMU (Proyek Management Unit) nya.
Belum habis bala Artona, muncul pula ancaman baru. Kini hamanva
lebih serius karena kalangan dinas terkebunan dan ahli-ahli di
Riau tak tahu persis apa namanya. "Sebangsa virus" kata Asmar
Ras, Ketua HKTI Kepulauan Riau. Hama-hama ini menyerang
umbut-umbut kelapa dalam tempo cepat dan kelapa yang terserang
kontan mati berdiri. Satu-satunya ikhtiar pihak dinas perkebunan
maupun HKTI adalah melaporkan hal ini ke Jakarta dan minta
diselidiki. Untuk itulah 2 bulan lalu suatu tim dari. Lembaga
penelitian tanaman keras, Bogor, sudah berkunjung kesana. Namun
sampai kini belum terdengar hasilnya.
Tapi yang paling merisaukan para petani kelapa di Kepulauan Riau
justru musuh rutin mereka sejak turun temurun yaitu monyet,
tupai dan keluang. Jenis binatang pemakan kelapa, baik putik
maupun yang masih muda ini dikabarkan jumlahnya puluhan ribu
ekor. Di sebuah desa bernama Kelarik, Bunguran Barat, dikabarkan
terdapat sekitar 1000 ekor tupai raya (istilah setempat).
Binatang itu turun menyerbu berkelompok sampai 40 ekor. Seperti
juga monyet-monyet.
Bantuan Presiden
Makanya, ketika Presiden Suharto berkunjung ke Kepulauan Riau
tahun 1971, pemuka masyarakat daerah ini minta bantuan berupa
senapan pemburu. "Untuk menembak monyet, pak" ujar mereka. Dan
Presiden rupanya faham, kemudian memang membantu mereka beberapa
belas pucuk senapan. Cuma saja, senapan-senapan itu akhirnya
terpaksa jadi perhiasan di rumah-rumah, dan para monyet dan
tupai tetap merajalela. Soalnya, "Pelurunya tak ada" ujar
Kamruddin. Dan binatang-binatang itu semakin ganas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini