Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

"mereka orang terpilih"

The galapagos duck, kelompok jazz dari australia mengadakan pertunjukan di tim. gaya musik yang mereka tampilkan tidak mengambil suatu aliran, dapat bermain jazz tradisional, swing & musik eksperimentil. (ms)

18 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAZZ tak perlu tcmpat mapan. Di Jakarta, bermula jenis musik ini mondok di Teater Terbuka TIM. Belakangan ini mulai diungsikan ke Teater Besar. Di Teater Bosar para pemain di panggung bisa lebih dekat dengan penonton. Seperti pada 7 Pebruari malam lalu, ketika kelompok jazz Australia The Galapagos Duck - menggelarkan pertunjukan. Masih mengenakan jas resmi mereka turun memanaskan mulut dan tangan. Apabila Sesam Street, lagu awal, meluncur dengan lembut dan enerjetik, satu-satu pemain menanggalkan jas. Suasana berubah jadi spontan dan ramah-tamah. Stevie Wonder Tom Hare (terompet/saxofon), Chris Qua (bas/fleugelhorn), Len Barnard (dram/perkusi), Roger Frampton (piano), dan Greg Foster (harmonika/trompet), perlanan-lahan menarik simpati. All in Love is Fair (Stevie Wonder), bersandar pada gaya bermain piano Roger Frampton, melilit dengan bagusnya. Bila didengar sekilas cara dan teknik bermain kelompok jazz benua selatan ini memang agak beda dengan kelompok jazz yang berasal dari Jepang atau Jerman Barat misalnya. Setiap pemain punya-keyakinan mantap untuk mengisi setiap peluang. Kalau toh ada lubang menghadang di muka, dengan inisiatif yang pasti karena ikatan batin yang lemah, salah seorang tampil memimpin solo beberapa saat. Seperti yang mereka lakukan ketika memb awakan Mercy Mercy Mercy. Senggakan-senggakan yang spontan dari Chris sambil membetot basnya, kedengaran segar masuk kuping. Roger Frampton yan tidak jinak duduk di belakang pianonya membawakan komposisi Every Thing Happens To Me (Jimmy van Heussen). Pada beberapa bar ia berdiri, lalu menggosok dan mengetuk-ngetuk dawai piano. Beberapa saat ia menggarap dawai itu dengan botol, menggelitik perut piano, yang tarnpaknya merupakan kegemaran Roger Tingkahnya mirip polah pemusik kontomporer yang melakukan konser tunggal. Tom Hare, pencipta dan sekaligus pondorong kolompok ini, selain mahir meniup terompet dan sax enak saja menabun set dram. Tom pernah jadi seorang profesional di kelompok rock dan band panggung. Sedang Greg Foster ternyata guru musik yang pernah main juga di kelompok rock dan orkes simfoni. Tiupan harmonikanya, yang kadang nyeleweng, meningatkan pada nafas musik Junry. Gaya Texasnya mungkin lebih menonjol dari caranya memperalat harmonika - tapi toh ia menggunakannya dengan enak untuk jazz. Ditambah Len yang serba bisa, dan Koger yang berlainan sejak kanak-kanak, merekalah deretan pendukung Galapagos Duck yang kuat. Mereka memang orang terpilih. Gaya musik yang mereka ciptakan tidak mengambil satu aliran. Mereka bebas, untuk suatu saat berm, jazz tradisional, di saat lain bermain swing, sampai pada musik eksperimental kini. Coba dengar ketika mereka mulai mengalunkan Basement Blues kompoisi ciptaan sendiri. Len duduk di kursi, jarijari tangannya dilapis besi, di pangkuan ada sebuah papan penggilas pakaian. Dengan enaknya ia mengocok papan penggilas itu. Hasilnya seperti bunyi puluhan alat perkusi yang kompak berdencing. Sepuluh jarinya yang memukul-mukul itu kemudian menjadi tulang punggung Greg Foster yang bercambang, dan senantiasa mendekap harmonikanya kuat di depan mik. Greg tahu betul bagaimana mengisi pukulan dinamis dram dan papan penggilas pakaian. The Galapagos Duck dibentuk 8 tahun lalu, pengisi acara tetap The Basement Club, jazz terbaik di Australia, terletak di dekat Pelabuhan Sydney. Kalau pernah ke sana, anda sudah tentu mendengar namanya. Jazz di Australia ternyata lebih bisa hidup dan berkembang di dalam klab. Seperti yang dialami Galapagos sendiri: setiap Rabu dan Sabtu mereka bermain untuk penggemar. Namanya mulai dikenal sejak 4 tahun lalu. Diharapkan setelah mereka bermain di Jakarta, kelompok ini akan menjadi bahan pembanding yang kuat di hati publik jazz Indonesia. Jack Lesmana malam itu ada dan turun juga. Chris, sponsor seksi cuap-cuap, mengambil inisiatif mengumandangkan Burung Kakaktua. Enak juga lagu itu, meski pada mulanya bas di tangan Chris pontang-panting melayani permainan bas Jack. Kemudian mereka berpindah pada lagu Sweet Emaline, lalu Basin Street Blues, mengandalkan alat tiup yang dipegang Tom dan Greg. Tidak sebersih seperti yang sering didengar lewat piringan hitam, apalagi Tom kelihatannya menumpuk emosi yang berlebihan - sebelum akhirnya cadangan nafas di perut dan paru-parunya sudah tinggal sejengkal. Tidak semua lagu hasil komposisi sendiri mereka bawakan. Tapi dari beberapa nomor yang mereka congkel dari perbendaharaan, jelas sudah mereka mempunyai tampang dan tehnik penyajian sendiri. Kuat, teristimewa sekali masih berusia rata-rata di bawah 30-an tahun . Kelompok Jack Lesmana atau Ireng mungkin bisa mengambil manfaat dari beberapa penampilan mereka. Untuk pertunjukan yang sayang hanya senlalam itu, Galapagos kemudian menutupnya dengan lagu Isn't She Lovely (Stevie Wonder). Halus, dan menyentuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus