JAZZ tak perlu tcmpat mapan. Di Jakarta, bermula jenis musik ini
mondok di Teater Terbuka TIM. Belakangan ini mulai diungsikan ke
Teater Besar. Di Teater Bosar para pemain di panggung bisa lebih
dekat dengan penonton. Seperti pada 7 Pebruari malam lalu,
ketika kelompok jazz Australia The Galapagos Duck - menggelarkan
pertunjukan.
Masih mengenakan jas resmi mereka turun memanaskan mulut dan
tangan. Apabila Sesam Street, lagu awal, meluncur dengan lembut
dan enerjetik, satu-satu pemain menanggalkan jas. Suasana
berubah jadi spontan dan ramah-tamah.
Stevie Wonder
Tom Hare (terompet/saxofon), Chris Qua (bas/fleugelhorn), Len
Barnard (dram/perkusi), Roger Frampton (piano), dan Greg Foster
(harmonika/trompet), perlanan-lahan menarik simpati. All in Love
is Fair (Stevie Wonder), bersandar pada gaya bermain piano Roger
Frampton, melilit dengan bagusnya. Bila didengar sekilas cara
dan teknik bermain kelompok jazz benua selatan ini memang agak
beda dengan kelompok jazz yang berasal dari Jepang atau Jerman
Barat misalnya. Setiap pemain punya-keyakinan mantap untuk
mengisi setiap peluang. Kalau toh ada lubang menghadang di muka,
dengan inisiatif yang pasti karena ikatan batin yang lemah,
salah seorang tampil memimpin solo beberapa saat. Seperti yang
mereka lakukan ketika memb awakan Mercy Mercy Mercy.
Senggakan-senggakan yang spontan dari Chris sambil membetot
basnya, kedengaran segar masuk kuping.
Roger Frampton yan tidak jinak duduk di belakang pianonya
membawakan komposisi Every Thing Happens To Me (Jimmy van
Heussen). Pada beberapa bar ia berdiri, lalu menggosok dan
mengetuk-ngetuk dawai piano. Beberapa saat ia menggarap dawai
itu dengan botol, menggelitik perut piano, yang tarnpaknya
merupakan kegemaran Roger Tingkahnya mirip polah pemusik
kontomporer yang melakukan konser tunggal.
Tom Hare, pencipta dan sekaligus pondorong kolompok ini, selain
mahir meniup terompet dan sax enak saja menabun set dram. Tom
pernah jadi seorang profesional di kelompok rock dan band
panggung. Sedang Greg Foster ternyata guru musik yang pernah
main juga di kelompok rock dan orkes simfoni. Tiupan
harmonikanya, yang kadang nyeleweng, meningatkan pada nafas
musik Junry. Gaya Texasnya mungkin lebih menonjol dari
caranya memperalat harmonika - tapi toh ia menggunakannya dengan
enak untuk jazz. Ditambah Len yang serba bisa, dan Koger yang
berlainan sejak kanak-kanak, merekalah deretan pendukung
Galapagos Duck yang kuat.
Mereka memang orang terpilih. Gaya musik yang mereka ciptakan
tidak mengambil satu aliran. Mereka bebas, untuk suatu saat
berm, jazz tradisional, di saat lain bermain swing, sampai pada
musik eksperimental kini. Coba dengar ketika mereka mulai
mengalunkan Basement Blues kompoisi ciptaan sendiri. Len duduk
di kursi, jarijari tangannya dilapis besi, di pangkuan ada
sebuah papan penggilas pakaian.
Dengan enaknya ia mengocok papan penggilas itu. Hasilnya seperti
bunyi puluhan alat perkusi yang kompak berdencing. Sepuluh
jarinya yang memukul-mukul itu kemudian menjadi tulang punggung
Greg Foster yang bercambang, dan senantiasa mendekap
harmonikanya kuat di depan mik. Greg tahu betul bagaimana
mengisi pukulan dinamis dram dan papan penggilas pakaian.
The Galapagos Duck dibentuk 8 tahun lalu, pengisi acara tetap
The Basement Club, jazz terbaik di Australia, terletak di dekat
Pelabuhan Sydney.
Kalau pernah ke sana, anda sudah tentu mendengar namanya. Jazz
di Australia ternyata lebih bisa hidup dan berkembang di dalam
klab. Seperti yang dialami Galapagos sendiri: setiap Rabu dan
Sabtu mereka bermain untuk penggemar. Namanya mulai dikenal
sejak 4 tahun lalu. Diharapkan setelah mereka bermain di
Jakarta, kelompok ini akan menjadi bahan pembanding yang kuat di
hati publik jazz Indonesia.
Jack Lesmana malam itu ada dan turun juga. Chris, sponsor seksi
cuap-cuap, mengambil inisiatif mengumandangkan Burung Kakaktua.
Enak juga lagu itu, meski pada mulanya bas di tangan Chris
pontang-panting melayani permainan bas Jack. Kemudian mereka
berpindah pada lagu Sweet Emaline, lalu Basin Street Blues,
mengandalkan alat tiup yang dipegang Tom dan Greg. Tidak
sebersih seperti yang sering didengar lewat piringan hitam,
apalagi Tom kelihatannya menumpuk emosi yang berlebihan -
sebelum akhirnya cadangan nafas di perut dan paru-parunya sudah
tinggal sejengkal.
Tidak semua lagu hasil komposisi sendiri mereka bawakan. Tapi
dari beberapa nomor yang mereka congkel dari perbendaharaan,
jelas sudah mereka mempunyai tampang dan tehnik penyajian
sendiri. Kuat, teristimewa sekali masih berusia rata-rata di
bawah 30-an tahun . Kelompok Jack Lesmana atau Ireng mungkin
bisa mengambil manfaat dari beberapa penampilan mereka. Untuk
pertunjukan yang sayang hanya senlalam itu, Galapagos kemudian
menutupnya dengan lagu Isn't She Lovely (Stevie Wonder). Halus,
dan menyentuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini