SEJUMLAH orang sudah berkumpul di daerah Chhattisgarh. India,
dan memikirkan perihal "teater pedesaan." Mereka datang dali
Jepang, Pilipina, Muangthai, Srilangka, Indonesia Bangladesh dan
India sendiri. Tak kurang dari 3 minggu - 13 s/d 31 Januari --
dilangsungkan diskusi, latihan, pementasan, dalam udara musim
dingin yang kadangkala menusuk Pada akhirnya mereka berserak
kembali ke kandang masing-masing, boleh dikata tak membawa
kesimpulan apa pun.
Kerja tersebut dinamakan Asian Folk Performing A rts Workshop.
Sponsornya: Asian Cultural Forum On Development (FAO - UN)
Bangkok, bekerja sama dengan grup teater 'Naya' dari New Delhi.
Pertemuan ini merupakan buah usaha yang katanya telah
diperjuangkan beberapa tahun Diharapkan, dari adanya kontak akan
terbuka pengertian, gagasan dan tentu saja kerja konkrit 'seni
untuk pembangunan'. Khususnya teater.
Pertemuan yang cukup besar biayanya itu nyaris jadi brengsek.
Satu minggu pertama memang sempat disediakan acara mengenal
Teater Rakyat India-Chhattisgarh khususnya--lewat pementasan
Naya Teater yang disutradarai Tanvir Shri Habib. Pementasan
dilangsungkan di sebuah pelataran yang biasanya dipakai untuk
penumpukan padi. Lebih dari 10 ribu penonton setiap malam duduk
sampai larut. Teater Naya hampir sejenis lenong di TIM yang
telah kena sentuh gaya pengadeganan yang trampil. Jadi kadar
desanya samalah dengan teater rakyat keliling, tidak benar-benar
desa murni. Mereka sangat trampil dan ketat menjaga tempo serta
ritme, walaupun seluruhnya tetap improvisatoris.
Siang hari para peserta hampir tak tahu, apa yang harus
dilakukan setelah kenyang tidur dan makan masakan India yang
banyak bawang mentah itu. Untung saja ada keharusan untuk
mempertunjukkan sesuatu kepada rakyat, sehingga mereka terpaksa
juga latihan. Tapi kemudian pertunjukan yang dilangsungkan
hampir semacam atraksi untuk turis. Masing-masing delegasi
mempersembahkan nomor-nomor tarian negaranya.
Untung ada Sardono W. Kusumo yang berhasil merubah suasana
dengan memakai pakaian orang India, topeng tua serta sebuah
pedang-pedangan. Ia mondar-mandir di sekitar panggung bikin
improvisasi yang grr, sehingga acara lancar dan segar, sampai
pukul 2 malam.
Drama Buat Nelayan
Memasuki minggu kedua terjadi perbedaan pendapat dari pihak
penyelenggara sendiri. Satu pihak tidak doyan ngomong, penginnya
seluruh peserta turun ke lapangan dan bekerja tanpa target
apa-apa. Sedangkan Baljit Malik, pimpinan workshop itu, kepengin
ada diskusi: setiap delegasi diharap ngobrol tentang diri mereka
dan keadaan di negaranya. Pihak ini juga berusaha benar agar
lokakarya tidak didominir oleh seseorang. Seharusnya kedua
kepala ini bisa berembuk baik-baik, tapi ternyata India sama
India sulit juga. Akhirnya para peserta berusaha sendiri
mengambil jalan tengah: pagi hari diskusi, tengah hari sampai
malam latihan dan pementasan.
Dalam acara diskusi jelas benar perbedaan latar belakang serta
acuan dari para peserta. Separuhnya ingin ngomong soal
pembangunan, dan drama itu baiknya dijadikan alat. Dari 3 orang
peserta Pilipina misalnya, seorang pendeta muda bernama Dong
Galenzoga mengaku telah berusaha mengajak beberapa nelayan main
drama.
Tema dramanya sangat jelas, pelaksanaannya begitu sederhana,
optimistis, dan agaknya juga sentimentil. "Saya berusaha
menampilkan mereka menurut apa adanya mereka," kata Dong.
Empat orang delegasi dari Srilangka, yang lebih merupakan
rombongan tan, berada di pihak laim Mereka lebih banyak diam.
Siap bekerja. Mereka tidak datang untuk diskusi, mereka membawa
gendang dan kostum. Yang bernama K.S. Fernando adalah dosen tari
kaliber besar.
Fernando seorang seniman tradisionil, dan delegasinya lebih
banyak memanfaatkan waktu dengan merekam lagu-lagu India dari
aktris Naya Teater. Habib Tanvir yang getol mau kerja, sudah
berusaha menarik grup ini bersentuhan dengan peserta lain, tapi
merka tidak terseret.
Dhepsiri Sooksopha, peserta Muangthai merupakan orang paling
aneh. Ia tak pernah berusaha memanfaatkan waktu latihan atau
diskusi. Dengan bekal kertas dari panitia, ia sibuk membuat
sketsa ke mana-mana. Pada giliran pertunjukan, ia memainkan
pantomim orang naik titi dan menarik kerbau yang sejak awal
sampai akhir program diulang-ulangnya.
Seorang Revolusioner
Pernah juga ia main sulap dan melukis di panggung. Pada saat ia
mendapat giliran bicara, baru jelas bahwa ia seorang
"revolusioner." Ia telah masuk desa dan membangun perpustakaan
desa, menyadarkan anak-anak petani supaya bangga dengan
pekerjaan ibu bapa mereka. Lalu mengenai teater? Anak muda yang
banyak melakukan kerja sosial ini tampaknya bukan pekerja
teater.
Hanya Masahiko Hotta dan Yoshitugu Hattori, masing-masing
asisten sutradara dan aktor 'The Black Tent' dari Tokyo, yang
benar-benar siap memasuki lapangan. Dengan bahasa Inggeris yang
sangat sulit, mereka menerima semuanya dengan sabar. Mereka
inilah yang kemudian bersama delegasi Indonesia (Wayan Diya,
Badung dan Rina serta Putu) masuk rangkulan Naya Teater dan
'Tribal Dance' dari Mandala.
Kedua grup India itu berusaha mengangkat sebuah dongeng Jepang
yang akhirnya disebut dengan judul Dina, serta sebuah lakon
Indonesia bernama Auh (Putu Wijaya red). Pementasan dilakukan
dalam bahasa Chhattisgarh. Penyutradaraan diusahakan sedemikian
rupa sehingga yang penting adalah proses, bukan hasil.
Hattori, yang memainkan kedua lakon itu, mempergunakan bahasa
Jepang. Dina kemudian lebih menyerupai drama tari ornamentik.
Sedang Aluh jadi tontonan jalanan yang sering membingungkan,
karena orang desa di sana ternyata sangat terbiasa pada
panggung. Satu ketika Aduh dimainkan tanpa rencana di sebuah
desa miskin bernama Parragaon. Isi desa yang kebanyakan tukang
periuk dan gembala berkumpul dengan herannya melihat pertunjukan
berlangsung tanpa bingkai. Mereka berkerumun, sementara seorang
yang merasa berwenang langsung bertindak jadi keamanan mengusir
anak-anak yang nonton Tuan Hattori tergeletak di tanah memainkan
orang sakit.
Raksasa & Tukang Kayu
Hari telah rembang petang. Mendadak lebih dari seratus ekor sapi
mengalir masuk kampung dari padang rumput. Tontonan bayar, debu
mengepul, sapi-sapi terkejut. Begitu rombongan lewat, drama
diteruskan, sedang tanah sudah belepotan dengan tahi sapi. Ini
mungkin bagian yang sedikit menarik dari hari-hari India yang
terasa panjang.
2 buah dongeng dari Srilangka juga dicoba digarap. Satu gagal,
karena Naya Teater tak sanggup mengikuti gaya Srilangka yang
agaknya hendak dipaksakan. Di sini jelas bahwa masing-masing
sebenarnya tak sepenuhnya ingin tahu, apalagi mempelajari
kebolehan peserta lain. Semuanya sudah merupakan bahan jadi,
jadi pengarahan tak mungkin berarti pendiktean, tapi
pengkombinasian.
Kedua grup India yang telah disebut bagaimanapun juga memang
baru pertama kali itu bertemu tangan asing - apalagi Naya Teater
termasuk jenis teater rakyat yang segalanya improvisasi. "Dulu
saya pernah berusaha mengajar mereka sesuatu," ujar Habib. "Saya
gagal. Sekarang yang saya kerjakan hanya mengarahkan sedikit.
Belakangan saya ketahui mereka yang banyak sulit membaca itu
ternyata cerdas."
Cerita Srilangka yang lain mengisahkan seorang tukang kayu yang
berhasil memperbudak raksasa. Tapi kemudian raksasa itu membunuh
tuannya. Dalam cerita ini Wayan Diya dari Indonesia main sebagai
raksasa. Ia sesungguhnya berhasil menggali segi lucu raksasa itu
dengan gerak-geriknya. Tapi Parakrama Niriella, anggota Teater
Jalanan Srilangka yang bertindak sebagai sutradara, merasa ide
ceritanya banyak menyimpang oleh ulah para pemain Naya Teater,
sehingga satu kali pementasan, ia menghentikan usahanya. Lalu
bertanya pada Habib: "Kenapa sih anda tidak berusaha sedikit
memberi perbendaharaan pada Naya Teater?"
Keluhan terhadap Naya Teater juga datang dari para peserta yang
menganggap grup itu terlalu hingar bingar, seenaknya, tidak bisa
menjaga suasana, semua dibikin jadi lelucon. Terutama ketika
seorang tokoh "sayap kiri" memberikan ide cerita tentang
kebengisan seorang lintah darat. Naya Teater menggarap cerita
itu sedemikian rupa sehingga jadi cerita yang sedih tapi lucu.
Akhirnya lintah darat tersebut dapat ganjaran.
Banyak peserta menganggap cerita itu seharusnya dimainkan lebih
halus, lebih sedih. Tapi salah seorang dengan keras membantah:
"Sebetulnya yang penting di sini bukan cerita tentang lintah
darat, tapi bagaimana cerita itu mereka garap. Dan mengapa
mereka bermimpi menghajar lintah darat, sementara di masyarakat
India itu lintah tetap merajalela?"
Lintah Darat Yang Baik
Beberapa peserta tetap merasa pesan dalam cerita itu yang
terpenting, sehingga mereka langsung mewawancarai para pemain
dengan meluncurkan pertanyaan yang menjelaskan bahwa mereka
sebenarnya tidak beitu faham teater tapi lebih suka soal
pendidikan. "Apakah anda merasa telah ikut berbakti kepada
masyarakat manakala anda mementaskan cerita bertema sosial
semacam itu?"
Orang-orang Naya Teater kadangkala menjawab, kadangkala takjub
oleh pertanyaan itu sendiri. Tapi waktu salah seorang bertanya
adakah mereka pernah menjumpai seorang lintah darat yang baik
dalam kehidupan mereka, mereka langsung menjawab: tidak. "Tapi
kami toh datang juga kalau kesulitan uang, karena dialah
satu-satunya yang selalu siap memberi pinjaman."
Esok harinya, bangun tidur, terjadi diskusi. Salah seorang
peserta langsung menyatakan penyesalan karena
pertanyaan-pertanyaan lebih merupakan pertanyaan sosial. "Kenapa
kita harus menuntut mereka memainkan cerita ini dengan sedih?
Mereka biasa main komedi, mereka menggali kelucuan dari apa
saja. Pementasan mereka bisa jadi artifisial kalau musti bikin
melodrama. Lagi apa perlu mereka membedakan tragedi dan komedi?"
Kemudian salah seorang terang-terangan bilang, ia tidak ada
urusan dengan pembangunan dan pendidikan lewat drama.
"Pesan-pesan yang dititipkan dengan kasar bahkan bisa berbalik
seperti bumerang," ujarnya dengan yakin.
Orang miskin menjadi bahan pembicaraan yang menarik dalam
diskusi. Apalagi banyak informasi tentang betapa berkuasanya
tuan-tuan tanah India dan betapa melaratnya petani. Lokakarya
tampak bukan saja antusias untuk memperbaiki nasib rakyat, tapi
juga sudah jadi "kiri". Seorang peserta terangteranganbilang
acara kita ini sudah terlalu didominir suasana sosial India.
Begitu banyak waktu, terlalu sedikit yang dikerjakan.
Pada akhir lokakaryanya, satu hari sebelum mereka mendapat
peluang mtuk mementaskan hasil kerja di Desa Parragaon semalam
suntuk, baru tercipta suasana kreatif. Malam itu semua berkumpul
dan mencoba mengerjakan kembali lakon Dina bersama-sama. Meski
suasana jadi simpang siur, karena semua orang tiba-tiba jadi
sutradara, itulah pertama kalinya--selama tiga minggu semua
orang benar-benar bernafsu untuk bekerja.
Lokakarya ini tidak dilakukan secara berkala. Bila ada
kebutuhan, mungkin sekali akan dilanjutkan. "Kita tidak tahu apa
yang sudah terjadi, bahkan kita barangkali masih tidak tahu apa
gunanya setelah lewat beberapa waktu. Mungkin belakangan nanti
baru jelas," kata Habib. Sedang Baljit Malik, yang sampai
sakit-sakit mengurusi pertemuan itu, sempat berkata: "Kalian
seniman, kalian bahagia karena tahu bagaimana cara berekspresi.
Tapi kami yang bukan seniman, apa?" Padahal ia patut bangga
karena sudah membuat jasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini