Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hari-hari india yang panjang

Fao perwakilan bangkok menyelenggarakan lokakarya teater rakyat asia di chattisgarh, india 13-31 jan 1978. pesertanya berasal dari jepang, filipina, muangthai, sri lanka, indonesia, bangladesh & india. (ter)

18 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH orang sudah berkumpul di daerah Chhattisgarh. India, dan memikirkan perihal "teater pedesaan." Mereka datang dali Jepang, Pilipina, Muangthai, Srilangka, Indonesia Bangladesh dan India sendiri. Tak kurang dari 3 minggu - 13 s/d 31 Januari -- dilangsungkan diskusi, latihan, pementasan, dalam udara musim dingin yang kadangkala menusuk Pada akhirnya mereka berserak kembali ke kandang masing-masing, boleh dikata tak membawa kesimpulan apa pun. Kerja tersebut dinamakan Asian Folk Performing A rts Workshop. Sponsornya: Asian Cultural Forum On Development (FAO - UN) Bangkok, bekerja sama dengan grup teater 'Naya' dari New Delhi. Pertemuan ini merupakan buah usaha yang katanya telah diperjuangkan beberapa tahun Diharapkan, dari adanya kontak akan terbuka pengertian, gagasan dan tentu saja kerja konkrit 'seni untuk pembangunan'. Khususnya teater. Pertemuan yang cukup besar biayanya itu nyaris jadi brengsek. Satu minggu pertama memang sempat disediakan acara mengenal Teater Rakyat India-Chhattisgarh khususnya--lewat pementasan Naya Teater yang disutradarai Tanvir Shri Habib. Pementasan dilangsungkan di sebuah pelataran yang biasanya dipakai untuk penumpukan padi. Lebih dari 10 ribu penonton setiap malam duduk sampai larut. Teater Naya hampir sejenis lenong di TIM yang telah kena sentuh gaya pengadeganan yang trampil. Jadi kadar desanya samalah dengan teater rakyat keliling, tidak benar-benar desa murni. Mereka sangat trampil dan ketat menjaga tempo serta ritme, walaupun seluruhnya tetap improvisatoris. Siang hari para peserta hampir tak tahu, apa yang harus dilakukan setelah kenyang tidur dan makan masakan India yang banyak bawang mentah itu. Untung saja ada keharusan untuk mempertunjukkan sesuatu kepada rakyat, sehingga mereka terpaksa juga latihan. Tapi kemudian pertunjukan yang dilangsungkan hampir semacam atraksi untuk turis. Masing-masing delegasi mempersembahkan nomor-nomor tarian negaranya. Untung ada Sardono W. Kusumo yang berhasil merubah suasana dengan memakai pakaian orang India, topeng tua serta sebuah pedang-pedangan. Ia mondar-mandir di sekitar panggung bikin improvisasi yang grr, sehingga acara lancar dan segar, sampai pukul 2 malam. Drama Buat Nelayan Memasuki minggu kedua terjadi perbedaan pendapat dari pihak penyelenggara sendiri. Satu pihak tidak doyan ngomong, penginnya seluruh peserta turun ke lapangan dan bekerja tanpa target apa-apa. Sedangkan Baljit Malik, pimpinan workshop itu, kepengin ada diskusi: setiap delegasi diharap ngobrol tentang diri mereka dan keadaan di negaranya. Pihak ini juga berusaha benar agar lokakarya tidak didominir oleh seseorang. Seharusnya kedua kepala ini bisa berembuk baik-baik, tapi ternyata India sama India sulit juga. Akhirnya para peserta berusaha sendiri mengambil jalan tengah: pagi hari diskusi, tengah hari sampai malam latihan dan pementasan. Dalam acara diskusi jelas benar perbedaan latar belakang serta acuan dari para peserta. Separuhnya ingin ngomong soal pembangunan, dan drama itu baiknya dijadikan alat. Dari 3 orang peserta Pilipina misalnya, seorang pendeta muda bernama Dong Galenzoga mengaku telah berusaha mengajak beberapa nelayan main drama. Tema dramanya sangat jelas, pelaksanaannya begitu sederhana, optimistis, dan agaknya juga sentimentil. "Saya berusaha menampilkan mereka menurut apa adanya mereka," kata Dong. Empat orang delegasi dari Srilangka, yang lebih merupakan rombongan tan, berada di pihak laim Mereka lebih banyak diam. Siap bekerja. Mereka tidak datang untuk diskusi, mereka membawa gendang dan kostum. Yang bernama K.S. Fernando adalah dosen tari kaliber besar. Fernando seorang seniman tradisionil, dan delegasinya lebih banyak memanfaatkan waktu dengan merekam lagu-lagu India dari aktris Naya Teater. Habib Tanvir yang getol mau kerja, sudah berusaha menarik grup ini bersentuhan dengan peserta lain, tapi merka tidak terseret. Dhepsiri Sooksopha, peserta Muangthai merupakan orang paling aneh. Ia tak pernah berusaha memanfaatkan waktu latihan atau diskusi. Dengan bekal kertas dari panitia, ia sibuk membuat sketsa ke mana-mana. Pada giliran pertunjukan, ia memainkan pantomim orang naik titi dan menarik kerbau yang sejak awal sampai akhir program diulang-ulangnya. Seorang Revolusioner Pernah juga ia main sulap dan melukis di panggung. Pada saat ia mendapat giliran bicara, baru jelas bahwa ia seorang "revolusioner." Ia telah masuk desa dan membangun perpustakaan desa, menyadarkan anak-anak petani supaya bangga dengan pekerjaan ibu bapa mereka. Lalu mengenai teater? Anak muda yang banyak melakukan kerja sosial ini tampaknya bukan pekerja teater. Hanya Masahiko Hotta dan Yoshitugu Hattori, masing-masing asisten sutradara dan aktor 'The Black Tent' dari Tokyo, yang benar-benar siap memasuki lapangan. Dengan bahasa Inggeris yang sangat sulit, mereka menerima semuanya dengan sabar. Mereka inilah yang kemudian bersama delegasi Indonesia (Wayan Diya, Badung dan Rina serta Putu) masuk rangkulan Naya Teater dan 'Tribal Dance' dari Mandala. Kedua grup India itu berusaha mengangkat sebuah dongeng Jepang yang akhirnya disebut dengan judul Dina, serta sebuah lakon Indonesia bernama Auh (Putu Wijaya red). Pementasan dilakukan dalam bahasa Chhattisgarh. Penyutradaraan diusahakan sedemikian rupa sehingga yang penting adalah proses, bukan hasil. Hattori, yang memainkan kedua lakon itu, mempergunakan bahasa Jepang. Dina kemudian lebih menyerupai drama tari ornamentik. Sedang Aluh jadi tontonan jalanan yang sering membingungkan, karena orang desa di sana ternyata sangat terbiasa pada panggung. Satu ketika Aduh dimainkan tanpa rencana di sebuah desa miskin bernama Parragaon. Isi desa yang kebanyakan tukang periuk dan gembala berkumpul dengan herannya melihat pertunjukan berlangsung tanpa bingkai. Mereka berkerumun, sementara seorang yang merasa berwenang langsung bertindak jadi keamanan mengusir anak-anak yang nonton Tuan Hattori tergeletak di tanah memainkan orang sakit. Raksasa & Tukang Kayu Hari telah rembang petang. Mendadak lebih dari seratus ekor sapi mengalir masuk kampung dari padang rumput. Tontonan bayar, debu mengepul, sapi-sapi terkejut. Begitu rombongan lewat, drama diteruskan, sedang tanah sudah belepotan dengan tahi sapi. Ini mungkin bagian yang sedikit menarik dari hari-hari India yang terasa panjang. 2 buah dongeng dari Srilangka juga dicoba digarap. Satu gagal, karena Naya Teater tak sanggup mengikuti gaya Srilangka yang agaknya hendak dipaksakan. Di sini jelas bahwa masing-masing sebenarnya tak sepenuhnya ingin tahu, apalagi mempelajari kebolehan peserta lain. Semuanya sudah merupakan bahan jadi, jadi pengarahan tak mungkin berarti pendiktean, tapi pengkombinasian. Kedua grup India yang telah disebut bagaimanapun juga memang baru pertama kali itu bertemu tangan asing - apalagi Naya Teater termasuk jenis teater rakyat yang segalanya improvisasi. "Dulu saya pernah berusaha mengajar mereka sesuatu," ujar Habib. "Saya gagal. Sekarang yang saya kerjakan hanya mengarahkan sedikit. Belakangan saya ketahui mereka yang banyak sulit membaca itu ternyata cerdas." Cerita Srilangka yang lain mengisahkan seorang tukang kayu yang berhasil memperbudak raksasa. Tapi kemudian raksasa itu membunuh tuannya. Dalam cerita ini Wayan Diya dari Indonesia main sebagai raksasa. Ia sesungguhnya berhasil menggali segi lucu raksasa itu dengan gerak-geriknya. Tapi Parakrama Niriella, anggota Teater Jalanan Srilangka yang bertindak sebagai sutradara, merasa ide ceritanya banyak menyimpang oleh ulah para pemain Naya Teater, sehingga satu kali pementasan, ia menghentikan usahanya. Lalu bertanya pada Habib: "Kenapa sih anda tidak berusaha sedikit memberi perbendaharaan pada Naya Teater?" Keluhan terhadap Naya Teater juga datang dari para peserta yang menganggap grup itu terlalu hingar bingar, seenaknya, tidak bisa menjaga suasana, semua dibikin jadi lelucon. Terutama ketika seorang tokoh "sayap kiri" memberikan ide cerita tentang kebengisan seorang lintah darat. Naya Teater menggarap cerita itu sedemikian rupa sehingga jadi cerita yang sedih tapi lucu. Akhirnya lintah darat tersebut dapat ganjaran. Banyak peserta menganggap cerita itu seharusnya dimainkan lebih halus, lebih sedih. Tapi salah seorang dengan keras membantah: "Sebetulnya yang penting di sini bukan cerita tentang lintah darat, tapi bagaimana cerita itu mereka garap. Dan mengapa mereka bermimpi menghajar lintah darat, sementara di masyarakat India itu lintah tetap merajalela?" Lintah Darat Yang Baik Beberapa peserta tetap merasa pesan dalam cerita itu yang terpenting, sehingga mereka langsung mewawancarai para pemain dengan meluncurkan pertanyaan yang menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tidak beitu faham teater tapi lebih suka soal pendidikan. "Apakah anda merasa telah ikut berbakti kepada masyarakat manakala anda mementaskan cerita bertema sosial semacam itu?" Orang-orang Naya Teater kadangkala menjawab, kadangkala takjub oleh pertanyaan itu sendiri. Tapi waktu salah seorang bertanya adakah mereka pernah menjumpai seorang lintah darat yang baik dalam kehidupan mereka, mereka langsung menjawab: tidak. "Tapi kami toh datang juga kalau kesulitan uang, karena dialah satu-satunya yang selalu siap memberi pinjaman." Esok harinya, bangun tidur, terjadi diskusi. Salah seorang peserta langsung menyatakan penyesalan karena pertanyaan-pertanyaan lebih merupakan pertanyaan sosial. "Kenapa kita harus menuntut mereka memainkan cerita ini dengan sedih? Mereka biasa main komedi, mereka menggali kelucuan dari apa saja. Pementasan mereka bisa jadi artifisial kalau musti bikin melodrama. Lagi apa perlu mereka membedakan tragedi dan komedi?" Kemudian salah seorang terang-terangan bilang, ia tidak ada urusan dengan pembangunan dan pendidikan lewat drama. "Pesan-pesan yang dititipkan dengan kasar bahkan bisa berbalik seperti bumerang," ujarnya dengan yakin. Orang miskin menjadi bahan pembicaraan yang menarik dalam diskusi. Apalagi banyak informasi tentang betapa berkuasanya tuan-tuan tanah India dan betapa melaratnya petani. Lokakarya tampak bukan saja antusias untuk memperbaiki nasib rakyat, tapi juga sudah jadi "kiri". Seorang peserta terangteranganbilang acara kita ini sudah terlalu didominir suasana sosial India. Begitu banyak waktu, terlalu sedikit yang dikerjakan. Pada akhir lokakaryanya, satu hari sebelum mereka mendapat peluang mtuk mementaskan hasil kerja di Desa Parragaon semalam suntuk, baru tercipta suasana kreatif. Malam itu semua berkumpul dan mencoba mengerjakan kembali lakon Dina bersama-sama. Meski suasana jadi simpang siur, karena semua orang tiba-tiba jadi sutradara, itulah pertama kalinya--selama tiga minggu semua orang benar-benar bernafsu untuk bekerja. Lokakarya ini tidak dilakukan secara berkala. Bila ada kebutuhan, mungkin sekali akan dilanjutkan. "Kita tidak tahu apa yang sudah terjadi, bahkan kita barangkali masih tidak tahu apa gunanya setelah lewat beberapa waktu. Mungkin belakangan nanti baru jelas," kata Habib. Sedang Baljit Malik, yang sampai sakit-sakit mengurusi pertemuan itu, sempat berkata: "Kalian seniman, kalian bahagia karena tahu bagaimana cara berekspresi. Tapi kami yang bukan seniman, apa?" Padahal ia patut bangga karena sudah membuat jasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus