Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

"sendirian, di puncak gunung"

Sutan takdir alisyahbana, ketua akademi jakarta, merayakan hut-nya yang ke-70 di tim. anak ke-2 diantara 12 bersaudara dari 4 orang ibu. ia pernah menikah 3 kali dan kini mempunyai 9 anak & 10 cucu. (tk)

18 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGENAKAN baju dan celana pendek khaki, Takdir Alisjahbana memboncengkan anaknya yang baru 6 tahum Dari rumahnya di Jalan Kesehatan, Jakarta, mereka bersepeda menuju Pasar Minggu untuk berkebun. Itu di hari Minggu, 1938, pada usia Takdir yang ke-30. Dan empat puluh tahun kemudian, bapak dan anak sama-sana jadi profesor. Juga sama-sama rektor: Takdir untuk Universitas Nasional, Jakarta, sedang Prof. Dr. ir. Iskandar Alisjahbana unluk ITB Bandung. Minggu lalu, Takdir genap 70 tahun. Hari ulangtahun Ketua Akademi, Jakarta ini diperingati di Teater Arena TIM. Sejumlah 37 cendekiawan dalam dan luarnegeri menghadiahkan karangan ilmiah (beberapa buah menyangkut diri Takdir) dalun sebuah kumpulan berjudul Spectrum, 650 halaman Takdir yang biasa bicara lancar, malam itu agak tersendat. "Akhir-akhir ini saya sering murung, satu hal yang jarang saya alami. Saya menyaksikan pertentangan yang semakin meruncing. Minggu-minggu terakhir ini saya diingatkan: engkau sudah berumur 70 tahun. Saya sesungguhnya ak pernah ingat. Rasanya masih dekat sekali masa kecil ketika . . . Rasanya masih dekat sekali zaman pergerakan dan perang kemerdekaan. Saya merasa iri kepada angkatan muda yang menghadapi zaman besar ini sekarang. Semangat muda adalah kecakapan bermimpi, mencintai. dan mencipta. Budi manusialah yang paling lambat menjadi tua. Saya teringat kritik Rustandi Kartakusumah, bahwa kebudayaan Takdir adalah kebudayaan orang 17 tahun. Saya bilang: Rustandi itu sejak lahir sudah berumur ( tahun dan tetap 80 tahun . . . " Kue Tuhan Takdir selalu menggambarkan dirinya sebaai seniman yang seolah sendirian, di puncak gunung, menyaksikan "fajar hari baru yang menyingsing", sementara orang lain masih lelap tertidur dalam kegelapan lembah di bawah Tapi ia rnembantah tuduhan sebagai pemimpi. Ielum sebulan menjelang ulaltahunnya ke-70, ia mengadakan percoba an okulasi pohon singkong racun dan singkong biasa. "Saya dengar, kalau okulasi ini berhasil, bisa menghasilkan 80 kg singkong. Mengapa pekerjaan yang begini tidak kita coba?" katanya minggu lalu di kebun rumahnya yang luas di Mampang Prapatan, Jakarta. Olahraga dan hobi satu-satunya memang berkebun. "Saya selalu menganjurkan agar biologi benar-benar membuahkan hasil. Jadi biologi ekonomi," menurutnya. Pulang dari perjalanan dalam dan luar negeri Takdir selalu membawa bibit unggul dan selalu ingin mengembangkannya. Di kebunnya ia menanam nenas, durian, rambutan, kedondong, jeruk, bahkan mencoba agar jambu biji menghasilkan buah tanpa biji. Ia juga membiakkan kijing dan udang .... "Dia ini bertangan dingin. Apa saja yang ditanam, jadi," kata isterinya, Margaret Axer, doktor filologi asal Jerman. "Daripada membeli durian Bangkok yang harganya Rp 20.000, kan lebih baik kita menanam sendiri," tambah Takdir. Menurut isterinya, Takdir sama sekali tidak doyan kue. "Biar ada orang kasih kue, di hari raya misalnya," kata isterinya. "Saya lebih suka makan kue dari Tuhan, yaitu buah-buahan," tukas Takdir . Tidak merokok dan tidak minum kopi. Dulu lebih suka air putih, sekarang sudah mau minum teh. Barangkali itu sebabnva ia masih tetap bergairah. "Ia tetap awet karena suka kerja keras dan sangat antusias. Ada kegembiraan dalam kerja," kata isterinya. Tahun 1928 pernah mengajar senam gaya Swedia. "Sekarang saya kadang-kadang juga masih coba-coba bersenam." Meski tugas-tugasnya membutuhkan banyak duduk, ia tak tahan lama-lama di belakang meja. Jadi, "duduk di kursi, membaca atau menulis, kemudian jalan sana, jalan sini." Meski gigi atasnya semua sudah palsu, rambutnya yang tipis sudah seperti sutera, dan kepala botak, tapi jalan fikirannya masih jelas. Mata dan pendengarannya masin baik, bicara pun kadang-kadang lantang, penuh semangat. Penyakit jantung yang pernan diidapnya di masa muda tampaknya alhamdulillah tak kambuh lagi. Sejak jam 6 pagi boleh dikatakan ia tak pernah berhenti. Tidur siang pun tidak. Sampai sore (kadang sampai malam) bekerja di kantor prihadi di Jalan Saharjo, dibantu 5 karyawan. Ia pengurus dan anggota berbagai organisasi keilmuan dan kebudayaan, dalam dan luar negeri. Dan di sana pula ia menulis artikel, juga novel. Ediati Kamil (50) yang bekerja sebagai juru tulis Takdir selama 30 tahun sejak 1945, menyatakan: "Dia dasarnya guru. Jadi selama bekerja dengan dia, saya merasa diajar terus. Kalau saya tak tahu, dia menerangkan baik-baik." Ketika Takdir menyusun Kamus Istilah, Ning ikut pula membantunya. Hampir semua anak sekolah juga mengenal Takdir. Ia orang pertama yang secara baik menulis buku standar Tatabahasa Indonesia. Dua jilid Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia sudah dicetak ulang untuk ke-41 kalinya. Banyak yang menjulukinya sebagai "insinyur bahasa Indonesia". Ia juga dikenal sebagai pendiri majalah Pedjangga Baroe yang bersejaran, tahun 30-an. Guru Yang Ganas Minggu ini ia selesai menulis novel terbaru, Kalah dan Menang, setebal 500 halaman. Menceritakan "konflik batin manusia Indonesia, Jepang dan Belanda" menjelang Perang Dunia II berakhir. Seperti juga novel sebelumnya, Grotta Azzurra, ini juga "novel diskusi". Di kantornya ribuan buku tersusun rapi. "Ia juga tetap berkorespondensi dengan beberapa universitas di luar negeri," kata isterinya. Mau tahu bagaimana Takdir mengumpulkan buku? Waktu masih memimpin penerbit Pustaka Rakyat, ia juga mengimpor buku. Sebagian dijual, sebagian untuk koleksi sendiri. "Dengan begitu tentu saya tidak banyak mendapat untung," kata Takdir tertawa. Karangan Takdir pertama kali dimuat majalah Jong Soernatera, berjudul Tani Briefen (Surat Petani). Ketika itu ia 15 tahun, kelas III Sekolah Guru di Muara Enim. Ketika ibunya meninggal, entah mengapa ia jadi tak sabaran. Waktu itu ia jadi guru di Palembang. "Waktu mengaso, saya sedang baca buku, anak-anak berisik. Saya marah-marah dan anak-anak saya tampar," tuturnya. Beberapa hari kemudian para murid mengadu kepada koran Perca Selatan. "Dan berita tentang ulah saya itu dimuat besar-besar dengan judul Guru Yang Ganas," Takdir tertawa terkekeh-kekeh. Tak lama kemudian ia sakit jantung, 3 bulan. Dan selama itu ia di Bandung menyelesaikan novel Tak Putus Dirundung Malang Diterbitkan oleh Balai Pustaka, honorariumnya 250 gulden. "Itu banyak sekali, sebab gaji saya sebagai guru cuma 120 gulden," kata Takdir. Tampaknya Takdir termasuk orang yang sering beruntung dalam keuangan. Di tahun 1970, ia mendapat ganti rugi kecelakaan dari pesawat SAS sebanyak US$50.000. Uang itu antara lain untuk membeli tanah di sekitar Danau Batur Kintamani, Bali. Ia mendirikan Balai Seni Toyabungkah di sana. Peristiwa itu sendiri menarik. Pesawat baru saja akan tinggal landas dari bandarudara Fiumicino, Roma. Takdir ketika itu akan menghadiri satu konperensi kebudayaan di Jenewa yang diselenggarakan Unesco. Sementara Takdir asyik menulis surat buat keluarga api menjilat-jilat. Dengan sigap Takdir (ketika itu 62 tahun) memecah kaca jendela, meluncur lewat sayap dari ketinggian 6 meter, meski di tanah tampak genangan minyak. Ia terjerembab. Tulang hidung cedera, tulang pinggul patah. Malangnya buruh-buruh Roma lagi mogok. Maka Tadir pun selama 4 hari di rumahsakit tanpa pelayanan: tidak mandi, tidak ganti pakaian. Kemudian pindah ke rumahsakit lain. Tapi yang paling merisaukannya ialah: seluruh naskah pidatonya terbakar. Yang tinggal hanya satu-satunya pakaian yang lekat di badan. Menelepon Dulu Takdir, kini bapak dan 9 anak dan kakek dari 10 cucu, pada usia 21 menikah dengan Raden Ajeng Rohani Daha, dari Bengkulu. Dari isteri yang meninggal tahun 1935 ini lahir 3 orang: Samiati Alisjahbana, meninggal di Hawaii 1967 Iskandar Alisjahbana, kini Rektor ITB dan Sofjan Alisjahbana, pimpinan majalah Femina dan Gadis. Tahun 1941 ia menikah dengan Raden Roro Soegiarti asal Kebumen, yang juga anggota redaksi Poejangga Baroe. Soegiarti meninggal di Los Angeles tahun 1950. Dari perkawinan ini lahir dua puteri: Myrta Kartohadiprodjo, kini Pemimpin Redaksi Femina, dan Sri Artaria yang sekarang lebih banyak mendalami agama Islam. Tahun 1953 Takdir menikah dengan Margaret Axer, filolog lulusan Universitas Bonn dan redaktur kebudayaan Rhein Zeitung di Koblenz, Jerman Barat. Mereka bertemu dalam kongres FEN (organisasi bagi penyair, eseis dan nove]is internasional) di Dublin. Dengan Margaret keluarga Takdir bertambah 4: Tamalia, mahasiswi UI Marga & Marita (gadis kembar mahasiswi ITB) dan Mario yang baru luius SMA. Sofjan, yang di masa kecil paling nakal dan malas, mengaku hubungannya dengan Takdir sebagai sahabat saja. "Kalau dia mau ke rumah. menelepon dulu. Kalau saya lagi sibuk ya saya bilang jangan. Jadi nggak mentang-mentang dia ayah saya." Menurut Alisha, salah seorang adik Takdir dari ibu lain, Takdir amat suka kalau ditanya. Dan orang yang senang ditanya ini lahir 11 Pebruari 1908 di Natal, Tapanuli . Tapi sejak masih kecil sudah pindah ke Bengkulu. "Dan karena besar di Bengkulu, saya merasa sebagai orang Bengkulu," katanya. Kakeknya dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, adalah ulama besar yang biasa disebut Tuan Kadi Tua. Tadir bercerita, bahwa Prof. H. Ibrahim Hussein, Rektor Perguruan Tingi Ilmu Al-Qur'an, bilang bahwa di salah-satu tembok mesjid di Mekah ada sebuah syair karangan Tuan Kadi Besar. "Tapi saya sendiri belum pernah mencek," kata Takdir. Tuan Kadi memang berpendidikan. Banyak koleksi bukunya, semua berbahasa Arab, di rumahnya. Tapi karena semua anaknya tak ada yang bisa memanfaatkan, buku-buku itu ikut dikubur di liang lahad .... Makamnya dianggap keramat. Banyak orang ziarah ke sana. Penjaga Makam Ayah Takdir, Raden Alisjahbana gelar Sutan Arbi, adalah guru Sekolah Rakyat yang juga pernah jadi pokrol. Karena sering bikin sulit Pemerintah Hindia Belanda, ia sering dipindah. Anggota Jam'iaul Khair, dan juga pemberontak. "Ia juga kenal Bung Karno. Ketika Bung Karno dibuang ke Bengkulu, sering diundang ke rumah," tutur Takdir. Bengkulu memang tempat orang buangan di Zaman Belanda. Tak heran kalau banyak keturunan berdarah bangsawan. "Di daerah Tengah Padang, banyak orang bergelar raden, daeng, marah, sutan. Mereka juga saling menikah sesamanya, hingga jadi satu famili," tutur Takdir. Ayah Takdir sendiri, yang diangkat sebagai penjaga makam Sentot Prawirodirdjo (panglima Pangeran Diponegoro), mendapat gelar raden dari Mataram. Dan mungkin "darah seni" Takdir turun dari ayahnya sendiri. Ia sering mendengarkan Hikayat Si Miskin atau kisah-kisah lama dari orangtuanya itu. Menurut Alisha, ayahnya juga sering menulis surat dalam bentuk pantun ketika ia dan Takdir sudah tinggal di Jakarta. Dari 4 orang ibu, Takdir adalah anak ke-2 di antara 12 bersaudara. Delapan di antaranya: Sutan Zaenal Arifin Arbi (72), bekas sekretaris Ketua Parlemen RI, Mr. Sartono. Sutan Zaenal kini dirawat di RSUP Cipto Mangunkusumo. Setelah Takdir, adalah Putri Cahaya Chaerani, kini di Bengkulu Sutan Firmansyah (almarhum) Sutan Natal Alisjahbana Sutan Alamsjah Sutan Baheramsjah dan Putri Balkis alias Alisha Alisjahbana. Takdir juga mudah- kagum pada orang-orang radikal. Di waktu mudanya, ketika masih duduk di Sekolah Guru Atas Bandung, ia menulis tentang Patty, seorang komunis Ambon yang dibuang ke Bengkulu. "Orangnya pintar, cakap dan cepat berpengaruh. Betapa pun saya mengaguminya, meskipun kelemahannya pada uang dan perempuan." Lalu direktur sekolahnya membaca tulisan tersebut. Katanya: "Engkau tidak pada tempatnya bersekolah di sini .... "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus