MENGENAKAN baju dan celana pendek khaki, Takdir Alisjahbana
memboncengkan anaknya yang baru 6 tahum Dari rumahnya di Jalan
Kesehatan, Jakarta, mereka bersepeda menuju Pasar Minggu untuk
berkebun. Itu di hari Minggu, 1938, pada usia Takdir yang ke-30.
Dan empat puluh tahun kemudian, bapak dan anak sama-sana jadi
profesor. Juga sama-sama rektor: Takdir untuk Universitas
Nasional, Jakarta, sedang Prof. Dr. ir. Iskandar Alisjahbana
unluk ITB Bandung.
Minggu lalu, Takdir genap 70 tahun. Hari ulangtahun Ketua
Akademi, Jakarta ini diperingati di Teater Arena TIM. Sejumlah
37 cendekiawan dalam dan luarnegeri menghadiahkan karangan
ilmiah (beberapa buah menyangkut diri Takdir) dalun sebuah
kumpulan berjudul Spectrum, 650 halaman Takdir yang biasa bicara
lancar, malam itu agak tersendat.
"Akhir-akhir ini saya sering murung, satu hal yang jarang saya
alami. Saya menyaksikan pertentangan yang semakin meruncing.
Minggu-minggu terakhir ini saya diingatkan: engkau sudah berumur
70 tahun. Saya sesungguhnya ak pernah ingat. Rasanya masih
dekat sekali masa kecil ketika . . . Rasanya masih dekat sekali
zaman pergerakan dan perang kemerdekaan. Saya merasa iri kepada
angkatan muda yang menghadapi zaman besar ini sekarang. Semangat
muda adalah kecakapan bermimpi, mencintai. dan mencipta. Budi
manusialah yang paling lambat menjadi tua. Saya teringat kritik
Rustandi Kartakusumah, bahwa kebudayaan Takdir adalah kebudayaan
orang 17 tahun. Saya bilang: Rustandi itu sejak lahir sudah
berumur ( tahun dan tetap 80 tahun . . . "
Kue Tuhan
Takdir selalu menggambarkan dirinya sebaai seniman yang seolah
sendirian, di puncak gunung, menyaksikan "fajar hari baru yang
menyingsing", sementara orang lain masih lelap tertidur dalam
kegelapan lembah di bawah Tapi ia rnembantah tuduhan sebagai
pemimpi. Ielum sebulan menjelang ulaltahunnya ke-70, ia
mengadakan percoba an okulasi pohon singkong racun dan singkong
biasa.
"Saya dengar, kalau okulasi ini berhasil, bisa menghasilkan 80
kg singkong. Mengapa pekerjaan yang begini tidak kita coba?"
katanya minggu lalu di kebun rumahnya yang luas di Mampang
Prapatan, Jakarta. Olahraga dan hobi satu-satunya memang
berkebun. "Saya selalu menganjurkan agar biologi benar-benar
membuahkan hasil. Jadi biologi ekonomi," menurutnya.
Pulang dari perjalanan dalam dan luar negeri Takdir selalu
membawa bibit unggul dan selalu ingin mengembangkannya. Di
kebunnya ia menanam nenas, durian, rambutan, kedondong, jeruk,
bahkan mencoba agar jambu biji menghasilkan buah tanpa biji. Ia
juga membiakkan kijing dan udang ....
"Dia ini bertangan dingin. Apa saja yang ditanam, jadi," kata
isterinya, Margaret Axer, doktor filologi asal Jerman. "Daripada
membeli durian Bangkok yang harganya Rp 20.000, kan lebih baik
kita menanam sendiri," tambah Takdir. Menurut isterinya, Takdir
sama sekali tidak doyan kue. "Biar ada orang kasih kue, di hari
raya misalnya," kata isterinya. "Saya lebih suka makan kue dari
Tuhan, yaitu buah-buahan," tukas Takdir .
Tidak merokok dan tidak minum kopi. Dulu lebih suka air putih,
sekarang sudah mau minum teh. Barangkali itu sebabnva ia masih
tetap bergairah.
"Ia tetap awet karena suka kerja keras dan sangat antusias. Ada
kegembiraan dalam kerja," kata isterinya.
Tahun 1928 pernah mengajar senam gaya Swedia. "Sekarang saya
kadang-kadang juga masih coba-coba bersenam." Meski
tugas-tugasnya membutuhkan banyak duduk, ia tak tahan lama-lama
di belakang meja. Jadi, "duduk di kursi, membaca atau menulis,
kemudian jalan sana, jalan sini."
Meski gigi atasnya semua sudah palsu, rambutnya yang tipis sudah
seperti sutera, dan kepala botak, tapi jalan fikirannya masih
jelas. Mata dan pendengarannya masin baik, bicara pun
kadang-kadang lantang, penuh semangat. Penyakit jantung yang
pernan diidapnya di masa muda tampaknya alhamdulillah tak kambuh
lagi.
Sejak jam 6 pagi boleh dikatakan ia tak pernah berhenti. Tidur
siang pun tidak. Sampai sore (kadang sampai malam) bekerja di
kantor prihadi di Jalan Saharjo, dibantu 5 karyawan. Ia pengurus
dan anggota berbagai organisasi keilmuan dan kebudayaan, dalam
dan luar negeri. Dan di sana pula ia menulis artikel, juga
novel.
Ediati Kamil (50) yang bekerja sebagai juru tulis Takdir selama
30 tahun sejak 1945, menyatakan: "Dia dasarnya guru. Jadi selama
bekerja dengan dia, saya merasa diajar terus. Kalau saya tak
tahu, dia menerangkan baik-baik." Ketika Takdir menyusun Kamus
Istilah, Ning ikut pula membantunya.
Hampir semua anak sekolah juga mengenal Takdir. Ia orang
pertama yang secara baik menulis buku standar Tatabahasa
Indonesia. Dua jilid Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia sudah
dicetak ulang untuk ke-41 kalinya. Banyak yang menjulukinya
sebagai "insinyur bahasa Indonesia". Ia juga dikenal sebagai
pendiri majalah Pedjangga Baroe yang bersejaran, tahun 30-an.
Guru Yang Ganas
Minggu ini ia selesai menulis novel terbaru, Kalah dan Menang,
setebal 500 halaman. Menceritakan "konflik batin manusia
Indonesia, Jepang dan Belanda" menjelang Perang Dunia II
berakhir. Seperti juga novel sebelumnya, Grotta Azzurra, ini
juga "novel diskusi".
Di kantornya ribuan buku tersusun rapi. "Ia juga tetap
berkorespondensi dengan beberapa universitas di luar negeri,"
kata isterinya. Mau tahu bagaimana Takdir mengumpulkan buku?
Waktu masih memimpin penerbit Pustaka Rakyat, ia juga mengimpor
buku. Sebagian dijual, sebagian untuk koleksi sendiri. "Dengan
begitu tentu saya tidak banyak mendapat untung," kata Takdir
tertawa.
Karangan Takdir pertama kali dimuat majalah Jong Soernatera,
berjudul Tani Briefen (Surat Petani). Ketika itu ia 15 tahun,
kelas III Sekolah Guru di Muara Enim. Ketika ibunya meninggal,
entah mengapa ia jadi tak sabaran. Waktu itu ia jadi guru di
Palembang. "Waktu mengaso, saya sedang baca buku, anak-anak
berisik. Saya marah-marah dan anak-anak saya tampar," tuturnya.
Beberapa hari kemudian para murid mengadu kepada koran Perca
Selatan. "Dan berita tentang ulah saya itu dimuat besar-besar
dengan judul Guru Yang Ganas," Takdir tertawa terkekeh-kekeh.
Tak lama kemudian ia sakit jantung, 3 bulan. Dan selama itu ia
di Bandung menyelesaikan novel Tak Putus Dirundung Malang
Diterbitkan oleh Balai Pustaka, honorariumnya 250 gulden. "Itu
banyak sekali, sebab gaji saya sebagai guru cuma 120 gulden,"
kata Takdir.
Tampaknya Takdir termasuk orang yang sering beruntung dalam
keuangan. Di tahun 1970, ia mendapat ganti rugi kecelakaan dari
pesawat SAS sebanyak US$50.000. Uang itu antara lain untuk
membeli tanah di sekitar Danau Batur Kintamani, Bali. Ia
mendirikan Balai Seni Toyabungkah di sana.
Peristiwa itu sendiri menarik. Pesawat baru saja akan tinggal
landas dari bandarudara Fiumicino, Roma. Takdir ketika itu akan
menghadiri satu konperensi kebudayaan di Jenewa yang
diselenggarakan Unesco. Sementara Takdir asyik menulis surat
buat keluarga api menjilat-jilat. Dengan sigap Takdir (ketika
itu 62 tahun) memecah kaca jendela, meluncur lewat sayap dari
ketinggian 6 meter, meski di tanah tampak genangan minyak. Ia
terjerembab. Tulang hidung cedera, tulang pinggul patah.
Malangnya buruh-buruh Roma lagi mogok. Maka Tadir pun selama 4
hari di rumahsakit tanpa pelayanan: tidak mandi, tidak ganti
pakaian. Kemudian pindah ke rumahsakit lain. Tapi yang paling
merisaukannya ialah: seluruh naskah pidatonya terbakar. Yang
tinggal hanya satu-satunya pakaian yang lekat di badan.
Menelepon Dulu
Takdir, kini bapak dan 9 anak dan kakek dari 10 cucu, pada usia
21 menikah dengan Raden Ajeng Rohani Daha, dari Bengkulu. Dari
isteri yang meninggal tahun 1935 ini lahir 3 orang: Samiati
Alisjahbana, meninggal di Hawaii 1967 Iskandar Alisjahbana,
kini Rektor ITB dan Sofjan Alisjahbana, pimpinan majalah Femina
dan Gadis.
Tahun 1941 ia menikah dengan Raden Roro Soegiarti asal Kebumen,
yang juga anggota redaksi Poejangga Baroe. Soegiarti meninggal
di Los Angeles tahun 1950. Dari perkawinan ini lahir dua puteri:
Myrta Kartohadiprodjo, kini Pemimpin Redaksi Femina, dan Sri
Artaria yang sekarang lebih banyak mendalami agama Islam.
Tahun 1953 Takdir menikah dengan Margaret Axer, filolog lulusan
Universitas Bonn dan redaktur kebudayaan Rhein Zeitung di
Koblenz, Jerman Barat. Mereka bertemu dalam kongres FEN
(organisasi bagi penyair, eseis dan nove]is internasional) di
Dublin.
Dengan Margaret keluarga Takdir bertambah 4: Tamalia, mahasiswi
UI Marga & Marita (gadis kembar mahasiswi ITB) dan Mario yang
baru luius SMA.
Sofjan, yang di masa kecil paling nakal dan malas, mengaku
hubungannya dengan Takdir sebagai sahabat saja. "Kalau dia mau
ke rumah. menelepon dulu. Kalau saya lagi sibuk ya saya bilang
jangan. Jadi nggak mentang-mentang dia ayah saya."
Menurut Alisha, salah seorang adik Takdir dari ibu lain, Takdir
amat suka kalau ditanya. Dan orang yang senang ditanya ini lahir
11 Pebruari 1908 di Natal, Tapanuli . Tapi sejak masih kecil
sudah pindah ke Bengkulu. "Dan karena besar di Bengkulu, saya
merasa sebagai orang Bengkulu," katanya. Kakeknya dari garis
ayah, Sutan Mohamad Zahab, adalah ulama besar yang biasa disebut
Tuan Kadi Tua.
Tadir bercerita, bahwa Prof. H. Ibrahim Hussein, Rektor
Perguruan Tingi Ilmu Al-Qur'an, bilang bahwa di salah-satu
tembok mesjid di Mekah ada sebuah syair karangan Tuan Kadi
Besar. "Tapi saya sendiri belum pernah mencek," kata Takdir.
Tuan Kadi memang berpendidikan. Banyak koleksi bukunya, semua
berbahasa Arab, di rumahnya. Tapi karena semua anaknya tak ada
yang bisa memanfaatkan, buku-buku itu ikut dikubur di liang
lahad .... Makamnya dianggap keramat. Banyak orang ziarah ke
sana.
Penjaga Makam
Ayah Takdir, Raden Alisjahbana gelar Sutan Arbi, adalah guru
Sekolah Rakyat yang juga pernah jadi pokrol. Karena sering bikin
sulit Pemerintah Hindia Belanda, ia sering dipindah. Anggota
Jam'iaul Khair, dan juga pemberontak. "Ia juga kenal Bung
Karno. Ketika Bung Karno dibuang ke Bengkulu, sering diundang ke
rumah," tutur Takdir.
Bengkulu memang tempat orang buangan di Zaman Belanda. Tak heran
kalau banyak keturunan berdarah bangsawan. "Di daerah Tengah
Padang, banyak orang bergelar raden, daeng, marah, sutan. Mereka
juga saling menikah sesamanya, hingga jadi satu famili," tutur
Takdir. Ayah Takdir sendiri, yang diangkat sebagai penjaga makam
Sentot Prawirodirdjo (panglima Pangeran Diponegoro), mendapat
gelar raden dari Mataram.
Dan mungkin "darah seni" Takdir turun dari ayahnya sendiri. Ia
sering mendengarkan Hikayat Si Miskin atau kisah-kisah lama
dari orangtuanya itu. Menurut Alisha, ayahnya juga sering
menulis surat dalam bentuk pantun ketika ia dan Takdir sudah
tinggal di Jakarta.
Dari 4 orang ibu, Takdir adalah anak ke-2 di antara 12
bersaudara. Delapan di antaranya: Sutan Zaenal Arifin Arbi (72),
bekas sekretaris Ketua Parlemen RI, Mr. Sartono. Sutan Zaenal
kini dirawat di RSUP Cipto Mangunkusumo. Setelah Takdir, adalah
Putri Cahaya Chaerani, kini di Bengkulu Sutan Firmansyah
(almarhum) Sutan Natal Alisjahbana Sutan Alamsjah Sutan
Baheramsjah dan Putri Balkis alias Alisha Alisjahbana.
Takdir juga mudah- kagum pada orang-orang radikal. Di waktu
mudanya, ketika masih duduk di Sekolah Guru Atas Bandung, ia
menulis tentang Patty, seorang komunis Ambon yang dibuang ke
Bengkulu. "Orangnya pintar, cakap dan cepat berpengaruh. Betapa
pun saya mengaguminya, meskipun kelemahannya pada uang dan
perempuan." Lalu direktur sekolahnya membaca tulisan tersebut.
Katanya: "Engkau tidak pada tempatnya bersekolah di sini .... "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini