Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Petikan dari kertas seminar

Kutipan dari naskah pada seminar penelitian agama & masyarakat, diadakan depag peb'78, a.l: mengenai pengaruh ajaran islam dalam sastra jawa, aliran kejawen sapta darma, percampuran islam tidak adat, dll. (ag)

18 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASKAH-NASKAH yang diajukan, barulah merupakan laporan sementara yang akan disempurnakan dengan memanfaatkan perbincangan dalam seminar dengan bantuan pembimbing masing-masing. Berikut ini kutipan dari isi naskah yang tertulis.  Kesusasteraan Jawa Modern (sejak 1757) bersumber pertama dari kitab-kitab Jawa kuno, dan dari ajaran dan budaya Islam. Sistim pendidikan keluarga dan calon pujangga istana Surakarta selalu melalui pesantren dan kitab sastra Jawa Lama. Yosodipuro I misalnya dikatakan sewaktu berumur 8 tanun dipondokkan di Pesantren Kedu dalam asuhan Kyai Angamaya. Ronggowarsito sendiri di usia 14 tahun belajar di Pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo. Pengaruh ajaran dan budaya Islam dalam sastra Jawa nampak misalnya dalam timbulnya berbagai kitab suluk (bahasa Arab, artinya laku). Dalam literatur Jawa Baru nampak jelas pengaruh kitab tasauf yang tinggi-tinggi seperti Ihya 'Ulumiddin, Insan al-Kamil. Dalam Serat Wirid pengaruh Ihya sangat besar. Dalam Centini berbagai nama kitab tafsir, fiqh dan 'aqaid, ada disebut. Di segi lain, karya para pujangga Jawa itu juga menunjukkan kekurangan para penulisnya. Metode keilmuan untuk penulisan karya iLmiah di kalangan para sarjana lslam kaliber dunia juga belum dimanfaatkan. (Naskah Serat Wirid, drs. Simuh, IAIN Yogya).  Adapun aliran kejawen Sapta Darma tampaknya aliran yang damai. Ini adalah sekumpulan warga yang memusatkan cara peribadatannya pada tingkah sujud. Tapi upacara perkawinannya yang khas tidak bersifat mutlak. Turunan (pimpinan) Sapta Darma Dukuh Kweni misalnya, mengawinkan anaknya di gereja karena si jejaka pemeluk Katolik. Ada pula yang secara Islam, dan juga di Catatan Sipil. Mereka, kaum yang sangat rukun dan tolong-menolong, umumnya mengaku memilih cara peribadatan tersebut karena mudah--dibanding ilmu-ilmu agama Islam yang sulit. Bila mereka kawin secara Islam, mereka mengartikannya sebagai kawin "secara adat". (Upacara Perkawinan, Kasus Pada Orang-Orang Aliran Kepercayaan Sapta Darma ...., E. Zainal Abidin SH, UII, Yogyakarta).  Kepercayaan, atau setidaknya tradisi kejawen--dalam adat-istiadat rituil, juga menarik dicatat di lingkungan. sosial kaum transmigran Lampung Utara. Di sini terdapat dua masyarakat Jawa: yang "Islam Santri" dan yang "Islam Jawa". Yang santri (pengarang mempergunakan istilah "bukan Jawa") umumnya memegang pimpinan unit desa, dan menjadi penghubung rohani golongan santri dan "Jawa". Dalam hubungan itu sendiri tak pernah dipermasalahkan perbedaan antara mereka: para pimpinan yang santri itu datang juga ke upacara "Jawa", untuk membuktikan pengayoman dan memelihara dukungan. (Upacara Kematian Pada Masyarakat Transmigrasi Jawa di Lampung Utara, drs. Mansyur, IAIN Lampung).  Percampuran Islam dan adat setempat, justru di masyarakat Islam yang "murni", bisa diwakili oleh laporan tenang masyarakat Banjar. Di sini fungsi ulama merasuk dalam setiap upacara baik agama maupun adat, baik individu dalam siklus kehidupan maupun sebagian dari pengobatan atau peringatan hari keagamaan. Fungsi ulama yang tak kurang pentingnya ialah: melindungi penduduk dari apa yang diyakini sebagai magi hitam. Penduduk yang akan membangun rumah, lebih dulu datang kepada ulama membawa beberapa potong pecahan kuali -- jumlahnya sesuai dengan jumlah tiang rumah, selarnanya genap. Di antara ulama itu sendiri ada yang mengatakan bahwa sementara adatistiadat itu adalah perbuatan yang mendekati syirik, tabzir (mubazir), dilarang agama, dan beliau tak mau melakukannya. Namun penulis laporan ini juga melihat, bahwa di rumah sang ulama yang belum lama dibangun, ada pula sebuah bakul tergantung sebagai salah-satu "syarat" Icesentosaan rumah. (Ulama Dalam Masyarakat Banjar . . . drs. Alfani Daud, IAIN Antasari Banjarmasin).  Adapun animisme sudah tentu merupakan ciri pertama suku-suku yang disebut "terasing", seperti Suku Anak Dalam di hutan-hutan Jambi. Namun seb agian orang menganggap bahwa mereka pada asalnya orang Islam juga, hanya kemudian terpisah. Penulis sendiri tak berkeyakinan seperti itu. Benar mereka mengenal kalimat-kalimat La ilaha illallah, Muhammad, Qur'an dan sebagainya. Tapi itu hanyalah menunjukkan bahwa Suku Anak Dalam menerima pengaruh dari komunikasi. Mereka sendiri, orang orang yang lugu dan jujur, terbagi dalam bagian yang masih asli, di hutan, yang mengembara, di pinggir hutan, dan yang menetap di penampungan pemerintah. Ini adalah sebuah suku yang sedang berkembang. (Suku Anak Dalam ...., drs. Amir Faisol A.Z., IAIN Sultan Thoha Syaefuldin, Jambi).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus