NASKAH-NASKAH yang diajukan, barulah merupakan laporan sementara
yang akan disempurnakan dengan memanfaatkan perbincangan dalam
seminar dengan bantuan pembimbing masing-masing. Berikut ini
kutipan dari isi naskah yang tertulis.
Kesusasteraan Jawa Modern (sejak 1757) bersumber pertama dari
kitab-kitab Jawa kuno, dan dari ajaran dan budaya Islam.
Sistim pendidikan keluarga dan calon pujangga istana Surakarta
selalu melalui pesantren dan kitab sastra Jawa Lama. Yosodipuro
I misalnya dikatakan sewaktu berumur 8 tanun dipondokkan di
Pesantren Kedu dalam asuhan Kyai Angamaya. Ronggowarsito sendiri
di usia 14 tahun belajar di Pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo.
Pengaruh ajaran dan budaya Islam dalam sastra Jawa nampak
misalnya dalam timbulnya berbagai kitab suluk (bahasa Arab,
artinya laku). Dalam literatur Jawa Baru nampak jelas pengaruh
kitab tasauf yang tinggi-tinggi seperti Ihya 'Ulumiddin, Insan
al-Kamil. Dalam Serat Wirid pengaruh Ihya sangat besar. Dalam
Centini berbagai nama kitab tafsir, fiqh dan 'aqaid, ada
disebut.
Di segi lain, karya para pujangga Jawa itu juga menunjukkan
kekurangan para penulisnya. Metode keilmuan untuk penulisan
karya iLmiah di kalangan para sarjana lslam kaliber dunia juga
belum dimanfaatkan. (Naskah Serat Wirid, drs. Simuh, IAIN
Yogya).
Adapun aliran kejawen Sapta Darma tampaknya aliran yang damai.
Ini adalah sekumpulan warga yang memusatkan cara peribadatannya
pada tingkah sujud.
Tapi upacara perkawinannya yang khas tidak bersifat mutlak.
Turunan (pimpinan) Sapta Darma Dukuh Kweni misalnya, mengawinkan
anaknya di gereja karena si jejaka pemeluk Katolik. Ada pula
yang secara Islam, dan juga di Catatan Sipil.
Mereka, kaum yang sangat rukun dan tolong-menolong, umumnya
mengaku memilih cara peribadatan tersebut karena
mudah--dibanding ilmu-ilmu agama Islam yang sulit. Bila mereka
kawin secara Islam, mereka mengartikannya sebagai kawin "secara
adat". (Upacara Perkawinan, Kasus Pada Orang-Orang Aliran
Kepercayaan Sapta Darma ...., E. Zainal Abidin SH, UII,
Yogyakarta).
Kepercayaan, atau setidaknya tradisi kejawen--dalam
adat-istiadat rituil, juga menarik dicatat di lingkungan. sosial
kaum transmigran Lampung Utara. Di sini terdapat dua masyarakat
Jawa: yang "Islam Santri" dan yang "Islam Jawa".
Yang santri (pengarang mempergunakan istilah "bukan Jawa")
umumnya memegang pimpinan unit desa, dan menjadi penghubung
rohani golongan santri dan "Jawa". Dalam hubungan itu sendiri
tak pernah dipermasalahkan perbedaan antara mereka: para
pimpinan yang santri itu datang juga ke upacara "Jawa", untuk
membuktikan pengayoman dan memelihara dukungan. (Upacara
Kematian Pada Masyarakat Transmigrasi Jawa di Lampung Utara,
drs. Mansyur, IAIN Lampung).
Percampuran Islam dan adat setempat, justru di masyarakat Islam
yang "murni", bisa diwakili oleh laporan tenang masyarakat
Banjar. Di sini fungsi ulama merasuk dalam setiap upacara baik
agama maupun adat, baik individu dalam siklus kehidupan maupun
sebagian dari pengobatan atau peringatan hari keagamaan.
Fungsi ulama yang tak kurang pentingnya ialah: melindungi
penduduk dari apa yang diyakini sebagai magi hitam. Penduduk
yang akan membangun rumah, lebih dulu datang kepada ulama
membawa beberapa potong pecahan kuali -- jumlahnya sesuai dengan
jumlah tiang rumah, selarnanya genap.
Di antara ulama itu sendiri ada yang mengatakan bahwa sementara
adatistiadat itu adalah perbuatan yang mendekati syirik, tabzir
(mubazir), dilarang agama, dan beliau tak mau melakukannya.
Namun penulis laporan ini juga melihat, bahwa di rumah sang
ulama yang belum lama dibangun, ada pula sebuah bakul tergantung
sebagai salah-satu "syarat" Icesentosaan rumah. (Ulama Dalam
Masyarakat Banjar . . . drs. Alfani Daud, IAIN Antasari
Banjarmasin).
Adapun animisme sudah tentu merupakan ciri pertama suku-suku
yang disebut "terasing", seperti Suku Anak Dalam di hutan-hutan
Jambi. Namun seb agian orang menganggap bahwa mereka pada
asalnya orang Islam juga, hanya kemudian terpisah. Penulis
sendiri tak berkeyakinan seperti itu.
Benar mereka mengenal kalimat-kalimat La ilaha illallah,
Muhammad, Qur'an dan sebagainya. Tapi itu hanyalah menunjukkan
bahwa Suku Anak Dalam menerima pengaruh dari komunikasi. Mereka
sendiri, orang orang yang lugu dan jujur, terbagi dalam bagian
yang masih asli, di hutan, yang mengembara, di pinggir hutan,
dan yang menetap di penampungan pemerintah. Ini adalah sebuah
suku yang sedang berkembang. (Suku Anak Dalam ...., drs. Amir
Faisol A.Z., IAIN Sultan Thoha Syaefuldin, Jambi).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini