Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

100 hari yang runyam

Pertunjukan musik di balai sidang senayan jakarta untuk memperingati 100 hari meninggalnya john lennon. diselenggarakan tanpa konsep yang mapan. meski dibikin semacam guyonan. (ms)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYI bangkotan tergolek di pembaringan di pentas. Ia menangis. Ibunya datang dan memberinya botol susu. Lalu si ibu menyuruhnya menyanyi. "mother..." si bayi berseru. Kemudian serombongan kanak-kanak muncul. Semuanya digiring oleh semangat hendak membanyol. Si bayi tadi, yang dimainkan seorang dewasa yang gendut, ternyata John Lennon. Sedang ibunya dimainkan gadis cilik. Bayangkan, sebuah acara mengenang seorang tokoh populer diawali olok-olok macam itu. Yang menduga bahwa di Balai Sidang Senayan akhir pekan lalu itu akan berlangsung macam acara penghormatan tentu saja boleh kecewa. Juga mereka yang mengira adegan awal itu -- bagi Lennon dan ibunya akan berkembang menjadi semacam kabaret tentang riwayat Lennon. Adegan itu tak sampai setengah jam. Memang seru: setelah Lennon ditembak mati, ada adegan misalnya 'Beatles masuk desa'. Tapi sesudahnya cuma parade para kelompok musik yang mencoba menjadi Beatles kecil-kecilan. Acara yang ternyata juga mengecewakan penyelenggaranya -- Keluarga Kecil Kum Kum -- karena pertunjukannya (pukul 15 dan 20) hanya ditonton oleh sedikit sekali orang itu, memang serampangan. Biaya sekitar Rp 8 juta serta waktu persiapannya yang mustahil tak cukup, sama sekali tak menunjukkan hasil yang memadai. Panggung ditata secara tak menarik. Ada sesuatu yang mirip tugu, dicanteli kacamata. Di kiri dan kanan sebuah gubuk. Semuanya tak punya fungsi yang jelas. Sementara para pemain dan entah siapa lagi -- lebih 50 orang -- hiruk pikuk dan mondar-mandir mengganggu pemandangan. Sedikit sekali lagu mendiang atau The Beatlds dinyanyikan. Di antara yang sedikit itu, yang enak didengar adalah yang dibawakan Tara & Jayus. Tapi yang menonjol adalah permainan harmonika dan kecapi Braga Stonealias si tuna netra Supeno. Ia memainkan obladi oblada, Women (dari album terakhir John Lennon, Double Fantasy), Love Me Do dan The Ballad of John & Yoko. Meski kurang utuh, ia mendapat sambutan paling meriah. Maklum. Pepeng dan kawan-kawannya dari GM Selo yang hendak melucu, diteriaki. Sebagian penonton menjadi begitu rusuh -- suatu hal yang jarang terjadi di gedung itu -- ketika Pepeng dkk membalas memaki. Untung tak terjadi huru-hara. Barangkali kekecewaan sedikit berkurang oleh penampilan Dede Harries yang sangat kocak dengan lagu-lagu bikinannya. Juga grup Lasso & Merry dan Iwan Fals. Berakhir pukul 24, acara barusan diselenggarakan tanpa konsep yang genah --meski kelihatannya hendak dibikin semacam guyonan, untuk menghindari sentimentalitas yang berlebihan. Dibanding yang diselenggarakan sebelumnya (sehabis Lennon ditembak) oleh grup Bharata di Hotel Indonesia Sheraton, Ully Sigar dkk di Hotel Mandarin, keduanya di Jakarta, serta yang dibikin Universitas Parahiyangan Bandung 19 Maret lalu, yang di Senayan memang yang paling tak bisa dipaham -- dengan John Lennon sebagai bungkus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus