Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM menjelang di Desa Padang Aji, Selat Karang Asem. Sekitar pukul 22.00 wita, seusai sejumlah tarian rakyat, keluarlah tarian Walunateng Dirah pertanda dimulainya pergelaran drama Calon Arang yang dimainkan perguruan Sandhi Murti.
Perlahan, suasana terasa mencekam di desa terpencil di pegunungan itu. Arena jaba pura desa yang sedang menyelenggarakan upacara piodalan itu dipadati lebih dari 500 penonton, tapi suasana hening. Ketegangan terus menanjak. Apalagi setelah adegan peperangan antara Patih Madri dan para murid Ratu Dirah.
Lima tokoh rangda lalu muncul di tengah-tengah arena sambil mengucapkan mantra-mantra pengleakan. Tampil pula tokoh desa yang desanya terkena wabah grubug mengundang para leak. Dengan nada humor, dia menantang para leak di wilayah itu agar muncul dan bertarung.” Ayo, aku siap dimakan leak,” katanya dalam bahasa Bali.
Adegan berikutnya adalah munculnya dua usungan membawa dua bangke matahyang seolah adalah kroban grubug. Peran sebagai bangke matah (mayat) inilah yang sebenarnya paling ditakutkan orang karena sangat mengundang risiko. Pemainnya bisa benar-benar mati karena menjadi sasaran tembak serangan ilmu leak. Upacara penguburan pun dimulai dengan memandikan jenazah.
Saat itulah banyak penonton yang melihat bola api berseliweran di udara. Di tengah-tengah upacara penguburan, penglingsir Puri Padang Aji memperingatkan penonton agar tidak ikut mendampingi mayat itu ke kuburan (setra) yang jaraknya sekitar 2,5 kilometer. Upacara selesai, mayat itu pun diusung yang diikuti ratusan anggota Sandhi Murti dari belakang.
Kedua mayat itu kemudian diletakkan di atas gundukan tanah kuburan. Upacara selanjutnya dimulai. Pada saat inilah kembali penonton heboh karena melihat api, ada pula yang melihat kain putih membentang. Tidak sampai 15 menit, kedua mayat tadi benar-benar hidup kembali.
Pinisepuh Perguruan Sandhi Murti Indonesia, Drs. I Gusti Ngurah Harta, menyebut bola api yang muncul itu merupakan salah satu wujud leak yang hadir meramaikan pertunjukan. Hanya, leak-leak tadi pengecut tidak berani sampai datang ke arena pertunjukan untuk menunjukkan kesaktiannya.
Bagi Sandhi Murti, pertunjukan Calonarang merupakan bagian dari olah kreativitas mereka. Sekaligus untuk menghibur masyarakat. Tapi mereka punya satu syarat, pergelaran haruslah di tempat-tempat yang masih dipandang angker dan belum terganggu oleh hiruk-pikuk dan sorot lampu.
Drama Calonarang sendiri erat kaitannya dengan ilmu pengleakan karena cerita itu membeberkan bagaimana ilmu leak digunakan pada zaman Kediri. Drama ini biasanya dipergelarkan dalam upacara piodalan (ulang tahun berdasarkan hitungan kalender Bali) Pura tingkat madya yang biasanya 10 tahun sekali sebagai kelengkapan upacara.
Sejak tahun 1980-an, Ngurah Harta secara terbuka menyatakan, dia memang menekuni ilmu pengleakan. Ilmu leak, kata dia, merupakan salah satu kearifan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. ”Sayang sekali kalau hilang, karena nenek moyang kita telah menciptakannya,” ucapnya.
Cikal bakal ilmu ini, menurut dia, adalah ajaran Tantri yang di Bali berkembang pada zaman Mahendradatta (ibu Erlangga). Jadi, jauh sebelum terciptanya kisah mengenai Janda Dirah pada zaman Kerajaan Kediri masa Erlangga itu. Ajaran ini adalah sebuah sekte yang menyembah Durga.
Dan pertunjukan malam itu memang terasa mencekam. Sekaligus menunjukkan di tengah Bali yang makin berubah, tetap saja ada sisi magis Bali yang bertahan. ”Istri saya ketika melihat bola api di udara sampai ketakutan,” ujar Komang Yanes, salah seorang warga Denpasar yang malam itu di Desa Padang Aji, Karang Asem, ikut menonton bersama istrinya.
Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo