YANG menarik ialah munculnya Langendriyan Yogyakarta -- dalam
pementasan beberapa tari klasik Yogya di Teater Arena TIM,
Jakarta, 28 Pebruari - 3 Maret, oleh rombongan Siswo Among
Bekso. Langendriyan Yogya adalah pertunjukan tari dengan dialog
tembang yang sudah berusia lebih 100 tahun, dan selama 40-an
tahun tak pernah dipentaskan pihak Kraton.
Di Yogya, tentu terpeliharanya kesenian kraton karena kraton
sampai sekarang masih ada dan hidup. Tapi rasanya kelestarian
kesenian takkan terjamin tanpa melibatkan mereka yang berada di
luar kraton. Zaman 'kan sudah berubah. Dan jembatan antara
kraton dan yang di luar, yang kini berhasil-baik dalam
popularitas maupun mutunya -- adalah yang bernama Paguyuban
Siswo Among Bekso itu organisasi yang memelihara dan
mengembangkan tari klasik Yogya, didirikan 1952.
Sebetulnya kesadaran untuk memasyarakatkan tari kraton sudah ada
sejak 1918. Sultan Yogya waktu itu, Hamengku Buwono VII, atas
usul Jong Java mengizinkan tari kraton diajarkan kepada siapa
saja yang berminat. Maka terbentuklah Krido Bekso Wiromo (KBW),
yang diasuh para guru tari kraton dan langsung dipimpin Putera
Mahkota bersama dua saudara Sultan. KBW itulah yang mulai
mengajarkan tari secara sistimatik.
Non-Stop 16 Jam
Perang Dunia II, disusul Perang Kemerdekaan Indonesia,
menyebabkan kraton agak kehilangan kesempatan mengurus
keseniannya. Baru tahun 1950 Sultan Hamengku Buwono IX teringat
lagi. Sebuah sekolah menari untuk umum didirikan, di bawah
Kawedanan Ageng Punakawan Krido Mardowo -- satu instansi kraton
yang mengurus bidang kesenian. Tapi sekolah ini kemudian kalah
populer dengan Paguyuban Siswo Among Bekso yang baru berdiri dua
tahun kemudian. Konon memang ada persaingan antara kedua nya,
walaupun kini sama-sama di bawah satu pimpinan.
Yang ingin benar-benar menguasai tari klasik diharuskan
menguasai tujuh macam aturan. Pandangan mata yang mantap. Gerak
leher (bukan kepala) yang tepat. Sikap tegak tanpa tegang.
Posisi kaki yang tepat. Posisi paha yang tepat. Posisi jari-jari
kaki yang tepat. Dan cara merendahkan tubuh dengan menekuk lutut
yang pas. Untuk berhasil, jelas membutuhkan ketekunan dan
disiplin.
Dulu, misalnya, pementasan wayang orang -- diselenggarakan 1«
tahun sekali di kraton -- bisa berlangsung dua sampai empat
hari, dan setiap harinya nonstop 16 jam. Bagaimana bisa, tanpa
disiplin dan penguasaan teknik?
Mungkin tak banyak diketahui orang: meskipun kelihatan gerak
tari sama saja, tiap penari punya hak mengembangkannya sesuai
dengan kepribadian dan kodrat tubuh masing-masing. Dan bukannya
tak mungkin, kemudian justru menyimpang dari aturan. Tanpa
penguasaan tujuh teknik baku tadi, di ramalkan dia akan
berkembang mundur bukan maju. Hanya saja penguasaan tknis yang
sudah sempurna pun bukan tanpa masalah. Misalnya saja tertumbuk
pada titik gawat, yang oleh GBPH Suryobrongto (64 tahun, anggota
Dewan Ahli Siswo Among Bekso) disebut "titik mati". Yang
dibutuhkan kemudian ialah "pengisian ilmu dan penyempurnaan
garis-garis yang makin rumit." Dan untuk tari klasik
Yogyakarta, ilmu itu disebut ilmu Joged Mataram. Di bawah
asuhan seorang guru yang kurang waspada atau si penari itu
sendiri yang semberono, kegagalan menguasai ilmu itu bisa
membuat pcnguasaan tekniknya buyar tanpa guna.
Apa sih, isi ilmu yang gawat itu? Ada empat hal. Pertama disebut
sewiji, kemampuan memusatkan perhatian tanpa harus tegang. Kedua
greget, semangat menggebu-gebu namun tidak baik dilepas begitu
saja -- harus disalurkan sewajarnya. Ketiga, sengguh, rasa
percaya diri sendiri tanpa harus sombong. Dan keempat, ora
mingkuh, tidak bergeser niatnya meski harus menghadapi apa pun.
Menurut GBPI Suryobrongto, penari yang sudah menguasai ilmu itu
akan menari dengan wajar menurut watak yang sudah tercetak dalam
pribadinya. Biar datang gempa, ia akan menyelesaikan tarinya
dengan tenang.
"Ilmu" tersebut diciptakan oleh Sultan HB I (1755-1792) -- untuk
para-penari yang dulu kebanyakan para perajurit kraton.
Masihkah ilmu itu mampu diserap oleh para anggota SAB sekarang
Jawab GBPH Suryobrongto: Itulah salah satu kesulitan kami. Jaman
sekarang banyak penari yang cepat puas. Hingga untuk mencapai
mutu tinggi, sulit."
Dibenarkan oleh seorang penari dan ahli tari muda anggota Dewan
Kesenian Jakarta, Sal Murgiyanto: "Agak susah mencari penari top
dalam SAB. Tapi sebagai kelompok mereka kompak. Mungkin karena
mereka hanya mempeiajari tari klasik saja tidak yang
lain-lain."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini