Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

7 aturan baku + 1 ilmu

Ilmu joged mataram, suatu penguasaan teknik yang sempurna untuk menguasai tari klasik. organisasi yang memelihara dan mengembangkan tari klasik di yogya pada th 1952. (tr)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG menarik ialah munculnya Langendriyan Yogyakarta -- dalam pementasan beberapa tari klasik Yogya di Teater Arena TIM, Jakarta, 28 Pebruari - 3 Maret, oleh rombongan Siswo Among Bekso. Langendriyan Yogya adalah pertunjukan tari dengan dialog tembang yang sudah berusia lebih 100 tahun, dan selama 40-an tahun tak pernah dipentaskan pihak Kraton. Di Yogya, tentu terpeliharanya kesenian kraton karena kraton sampai sekarang masih ada dan hidup. Tapi rasanya kelestarian kesenian takkan terjamin tanpa melibatkan mereka yang berada di luar kraton. Zaman 'kan sudah berubah. Dan jembatan antara kraton dan yang di luar, yang kini berhasil-baik dalam popularitas maupun mutunya -- adalah yang bernama Paguyuban Siswo Among Bekso itu organisasi yang memelihara dan mengembangkan tari klasik Yogya, didirikan 1952. Sebetulnya kesadaran untuk memasyarakatkan tari kraton sudah ada sejak 1918. Sultan Yogya waktu itu, Hamengku Buwono VII, atas usul Jong Java mengizinkan tari kraton diajarkan kepada siapa saja yang berminat. Maka terbentuklah Krido Bekso Wiromo (KBW), yang diasuh para guru tari kraton dan langsung dipimpin Putera Mahkota bersama dua saudara Sultan. KBW itulah yang mulai mengajarkan tari secara sistimatik. Non-Stop 16 Jam Perang Dunia II, disusul Perang Kemerdekaan Indonesia, menyebabkan kraton agak kehilangan kesempatan mengurus keseniannya. Baru tahun 1950 Sultan Hamengku Buwono IX teringat lagi. Sebuah sekolah menari untuk umum didirikan, di bawah Kawedanan Ageng Punakawan Krido Mardowo -- satu instansi kraton yang mengurus bidang kesenian. Tapi sekolah ini kemudian kalah populer dengan Paguyuban Siswo Among Bekso yang baru berdiri dua tahun kemudian. Konon memang ada persaingan antara kedua nya, walaupun kini sama-sama di bawah satu pimpinan. Yang ingin benar-benar menguasai tari klasik diharuskan menguasai tujuh macam aturan. Pandangan mata yang mantap. Gerak leher (bukan kepala) yang tepat. Sikap tegak tanpa tegang. Posisi kaki yang tepat. Posisi paha yang tepat. Posisi jari-jari kaki yang tepat. Dan cara merendahkan tubuh dengan menekuk lutut yang pas. Untuk berhasil, jelas membutuhkan ketekunan dan disiplin. Dulu, misalnya, pementasan wayang orang -- diselenggarakan 1« tahun sekali di kraton -- bisa berlangsung dua sampai empat hari, dan setiap harinya nonstop 16 jam. Bagaimana bisa, tanpa disiplin dan penguasaan teknik? Mungkin tak banyak diketahui orang: meskipun kelihatan gerak tari sama saja, tiap penari punya hak mengembangkannya sesuai dengan kepribadian dan kodrat tubuh masing-masing. Dan bukannya tak mungkin, kemudian justru menyimpang dari aturan. Tanpa penguasaan tujuh teknik baku tadi, di ramalkan dia akan berkembang mundur bukan maju. Hanya saja penguasaan tknis yang sudah sempurna pun bukan tanpa masalah. Misalnya saja tertumbuk pada titik gawat, yang oleh GBPH Suryobrongto (64 tahun, anggota Dewan Ahli Siswo Among Bekso) disebut "titik mati". Yang dibutuhkan kemudian ialah "pengisian ilmu dan penyempurnaan garis-garis yang makin rumit." Dan untuk tari klasik Yogyakarta, ilmu itu disebut ilmu Joged Mataram. Di bawah asuhan seorang guru yang kurang waspada atau si penari itu sendiri yang semberono, kegagalan menguasai ilmu itu bisa membuat pcnguasaan tekniknya buyar tanpa guna. Apa sih, isi ilmu yang gawat itu? Ada empat hal. Pertama disebut sewiji, kemampuan memusatkan perhatian tanpa harus tegang. Kedua greget, semangat menggebu-gebu namun tidak baik dilepas begitu saja -- harus disalurkan sewajarnya. Ketiga, sengguh, rasa percaya diri sendiri tanpa harus sombong. Dan keempat, ora mingkuh, tidak bergeser niatnya meski harus menghadapi apa pun. Menurut GBPI Suryobrongto, penari yang sudah menguasai ilmu itu akan menari dengan wajar menurut watak yang sudah tercetak dalam pribadinya. Biar datang gempa, ia akan menyelesaikan tarinya dengan tenang. "Ilmu" tersebut diciptakan oleh Sultan HB I (1755-1792) -- untuk para-penari yang dulu kebanyakan para perajurit kraton. Masihkah ilmu itu mampu diserap oleh para anggota SAB sekarang Jawab GBPH Suryobrongto: Itulah salah satu kesulitan kami. Jaman sekarang banyak penari yang cepat puas. Hingga untuk mencapai mutu tinggi, sulit." Dibenarkan oleh seorang penari dan ahli tari muda anggota Dewan Kesenian Jakarta, Sal Murgiyanto: "Agak susah mencari penari top dalam SAB. Tapi sebagai kelompok mereka kompak. Mungkin karena mereka hanya mempeiajari tari klasik saja tidak yang lain-lain."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus