Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Membaca dulu, mencari kemudian

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Mataram, semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855 - 1877), sudah lazim bila di bulan puasa kegiatan menari dan menabuh dihentikan. Sebagai gantinya setiap malam ada pembacaan babad (cerita "sejarah" dalam bentuk tembang). Tersebutlah di kediaman Kanjeng Raden Tumenggung Poerwodiningrat. Di sana di bulan puasa pun dilakukan pembacaan babad. Tapi kanjeng satu itu agaknya memang senang -- menurut istilah yang populer sekarang -- bereksperimen. Lain dari yang lain, pembacaan babad dilakukan oleh lebih dari seorang, sambil duduk berhadapan. Seorang yang mendapat giliran maju ke tempat yang di tentukan dengan jalan berjongkok. Pangeran Mangkubumi, yang tertarik ide kanjengnya itu, lantas saja usul sebaiknya sembari berjalan, menari juga. Apa boleh buat yang usul ini boleh dibilang orang kedua sesudah Sultan -- jadi langsung disambut. Cuma KRT Poerwodiningrat cukup arif. Dengan cara demikian, si pembaca memerlukan juga pakaian tari dan segala macam. Maka diusulkannya bagaimana kalau ide itu diambil alih saja oleh sang mangkubumi. Lahirlah lalu yang disebut Langendriyan Mataraman, yang membawakan Serat Damarwulan. Kesenian "baru" itu berkembang pesat hingga beberapa tahun setelah Pangeran Mangkubumi (yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Hamengku Buwono VII) wafat. Menurut catatan Museum Kraton Yogyakarta, kesenian ini dipentaskan secara lengkap terakhir kalinya tahun 1926. Kemudian sepi. Mangkunegaran Tahun 1977 SAB pernah juga mementaskan Langendriyan Mataraman di TIM -- tapi hanya sebagian kecil. Itu berkat penggalian dan bimbingan para ahli tari yang masih ada, kurang lebih dimulai setahun sebelumnya. Seperti bisa disaksikan, pementasan kini tak bisa persis sama seperti dulu. Paling tidak sekarang bukan pria seluruhnya yang ambil bagian, tapi juga puteri. Di Sala ada juga langendriyan. Disebut Langendriyan Mandraswara atau sekarang dikenal sebagai Langendriyan Mangkunegaran. Ini memang ciptaan kerabat Kraton Mangkunegaran bernama Raden Mas Haryo Tondokusumo, semasa pemerintahan Sri Mangkunegara IV (1853-1887). Yang mungkin kedengaran aneh, konon langendriyan Mangkunegaran itu dibikin atas permintaan orang bernama Godlieb. Dia itu saudagar batik keturunan Jerman dan tinggal di Surakarta. Dan mungkin idenya memang datang dari pabrik batiknya. Buruh batik yang sebagian besar wanita itu, kalau bekerja, suka bersenandung. Nah, itu barangkali yang memberi ilham Godlieb untuk menginginkan kesenian langendriyan. Perkembangan kemudian, pemain langendriyan Mangkunegaran tidak lagi harus berjalan jongkok, tapi berdiri biasa. Dan pemainnya dulu semua wanita. Langendriyan Mangkunegaran pernah dipentaskan di TIM oleh Retno Maruti dan teman-temannya. Dan seperti halnya langendriyan Mataraman yang dibawakan SAB, pemainnya pun sudah campur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus