DI Mataram, semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI
(1855 - 1877), sudah lazim bila di bulan puasa kegiatan menari
dan menabuh dihentikan. Sebagai gantinya setiap malam ada
pembacaan babad (cerita "sejarah" dalam bentuk tembang).
Tersebutlah di kediaman Kanjeng Raden Tumenggung
Poerwodiningrat. Di sana di bulan puasa pun dilakukan pembacaan
babad.
Tapi kanjeng satu itu agaknya memang senang -- menurut istilah
yang populer sekarang -- bereksperimen. Lain dari yang lain,
pembacaan babad dilakukan oleh lebih dari seorang, sambil duduk
berhadapan. Seorang yang mendapat giliran maju ke tempat yang di
tentukan dengan jalan berjongkok.
Pangeran Mangkubumi, yang tertarik ide kanjengnya itu, lantas
saja usul sebaiknya sembari berjalan, menari juga. Apa boleh
buat yang usul ini boleh dibilang orang kedua sesudah Sultan --
jadi langsung disambut. Cuma KRT Poerwodiningrat cukup arif.
Dengan cara demikian, si pembaca memerlukan juga pakaian tari
dan segala macam. Maka diusulkannya bagaimana kalau ide itu
diambil alih saja oleh sang mangkubumi. Lahirlah lalu yang
disebut Langendriyan Mataraman, yang membawakan Serat
Damarwulan.
Kesenian "baru" itu berkembang pesat hingga beberapa tahun
setelah Pangeran Mangkubumi (yang kemudian dinobatkan sebagai
Sultan Hamengku Buwono VII) wafat. Menurut catatan Museum Kraton
Yogyakarta, kesenian ini dipentaskan secara lengkap terakhir
kalinya tahun 1926. Kemudian sepi.
Mangkunegaran
Tahun 1977 SAB pernah juga mementaskan Langendriyan Mataraman di
TIM -- tapi hanya sebagian kecil. Itu berkat penggalian dan
bimbingan para ahli tari yang masih ada, kurang lebih dimulai
setahun sebelumnya. Seperti bisa disaksikan, pementasan kini tak
bisa persis sama seperti dulu. Paling tidak sekarang bukan pria
seluruhnya yang ambil bagian, tapi juga puteri.
Di Sala ada juga langendriyan. Disebut Langendriyan Mandraswara
atau sekarang dikenal sebagai Langendriyan Mangkunegaran. Ini
memang ciptaan kerabat Kraton Mangkunegaran bernama Raden Mas
Haryo Tondokusumo, semasa pemerintahan Sri Mangkunegara IV
(1853-1887). Yang mungkin kedengaran aneh, konon langendriyan
Mangkunegaran itu dibikin atas permintaan orang bernama Godlieb.
Dia itu saudagar batik keturunan Jerman dan tinggal di
Surakarta. Dan mungkin idenya memang datang dari pabrik
batiknya. Buruh batik yang sebagian besar wanita itu, kalau
bekerja, suka bersenandung. Nah, itu barangkali yang memberi
ilham Godlieb untuk menginginkan kesenian langendriyan.
Perkembangan kemudian, pemain langendriyan Mangkunegaran tidak
lagi harus berjalan jongkok, tapi berdiri biasa. Dan pemainnya
dulu semua wanita.
Langendriyan Mangkunegaran pernah dipentaskan di TIM oleh Retno
Maruti dan teman-temannya. Dan seperti halnya langendriyan
Mataraman yang dibawakan SAB, pemainnya pun sudah campur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini