Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kita Pun Ingin PLT Nuklir

Indonesia sedang mempersiapkan pembangunan PLTN. Proyek ini dipelajari oleh batan, PLN dan Nira konsultan dari Australia. murid & lasem yang dicalonkan sebagai lokasinya. (ilt)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEPARA, Pati, Rembang, Demak, Kudus -- semua itu melahirkan berbagai asosiasi pengertian seperti Kerajaan Islam pertama di Jawa, Wali Songo, mesjid, rokok kretek, ukiran kayu, RA Kartini dan mungkin dalam waktu tidak terlalu lama lagi juga tenaga nuklir. Syahdan, menurut Antara, pemerintah telah mempersiapkan pembangunan sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di daerah bekas keresidenan Pati, yang sejak zaman RA Kartini hanya menonjol dalam bertambahnya penduduk. Sedang dua gunungnya - Muria dan Lasem -- masih bagaikan kerbau yang menjorokkan tanduknya ke laut Jawa di sebelah timur Semarang. Kedua tempat inilah yang dicalonkan pemerintah sebagai lokasi PLTN tersebut. Proyek ini sekarang giat dipelajari oleh sebuah tim terdiri dari unsur BATAN, PLN dan NIRA, sebuah konsultan asal Itali. Studi ketatalaksanaannya diharapkan selesai Oktober mendatang. Sutaryo Supandi, dari BATAN, seperti dikutip Antara, mengatakan bahwa proyek tersebut direncanakan selesai dalam waktu 5 - 8 tahun dan berkapasitas 600 megawatt. Ia membutuhkan biaya sebesar satu milyar dollar AS, termauk eskalasi dan bunga selama masa konstruksinya kira-kira sama besarnya dan sama mahalnya dengan proyek PLN Pilipina -- pertama di kawasan ASEAN -- yang sedang dibangun di semenanjung Bataan. Di luar dugaan bahwa proyek PLTN seperti ini masih dipersiapkan. Tadinya ia disangka sudah dibatalkan untuk masa Repelita II akibat pertimbangan lebih matang. Ternyata kini ia muncul lagi, bahkan diproyeksikan di suatu daerah dalam zone seismik aktif. Zone ini dimulai dari Sumatera melalui pantai Jawa dan Sulawesi Selatan, membelok ke Kalimantan Timur dan terus ke Pilipina. Tercatat di peta bahwa zone ini dapat mengalami gempa bumi tektonik berkekuatan sampai 4 pada skala Richter dan dalam frekwensi 300 sampai 400 gempa setahun. Sekalipun G. Muria dan G. Lasem tidak tergolong gunung berapi, kegiatan tektonis yang menghinggapi daerah itu cukup mengandung risiko bagi pembangunan sebuah proyek nuklir dengan 'sampah' bahan bakarnya yang membahayakan. Dibanding Asahan Harga listrik dari reaktor nuklir sudah bisa diperkirakan akan jauh lebih mahal bagi Indonesia ketimbang yang dihasilkan oleh pembangkit bertenaga air. Siapa pula pemakai 600 megawatt listrik itu di daerah RA Kartini yang tidak memiliki industri yang berarti Contoh PLTA Asahan yang berkapasitas ama dianggap ekonomis yang dapat dipcrtanggungjawabkan karena dikaitkan dengan pembangunan proyek pengolahan aluminium. Itu pun listriknya masihakan banyak bersisa. Harga PLTA Asahan masih hampir separuh lebih murah daripada PLTN yang direncanakan ini. Unsur radio aktif bukanlah kotoran yang bisa dibasuh dengan air dan sabun saja. Karenanya risiko yang terkandung dalam proyek nuklir semacam itu yang merupakan sumber potensial dari ranas, neutron dan radiasi -- selamanya akan sangat besar bagi lingkungan, terutama bagi penduduknya. Majalah Amerika OMNI, edisi Januari lalu mengemukakan bahwa Pilipina, dengan pinjaman dari Export-lmport Bank sebesar $ 644 juta dengan jaminan tambahan lagi, sangat mengherankan telah membeli sebuah reaktor nuklir dari Westinghouse dan sekarang dibangun justru di suatu daerah yang tersohor akan kegiatan tektonisnya, kurang lebih 22 km dari sebuah gunung berapi. Juga harga listriknya akan jauh lebih mahal, dibanding dengan yang dari pembangkit bertenaga air, panas bumi atau batubara. "Tidak satu pun (faktor di atas) dipelajari sebelumnya. Reaktor ini tidak mungkin disetujui di Amerika Serikat berdasar keadaan semacam itu," tulis OMNI. Bahwa bahaya radio aktif itu bukan khayalan saja, contohnya dikemukakan oleh Dr. Stephen Hanauer. Pejabat Nuclear Regulatory Commission (AS) ini selama 10 tahun mengumpulkan bukti-bukti kejadian. Antara lain ia mencatat bahwa para pekerja di pembangkit tenaga nuklir La Crosse, Wisconsin (AS), mendapatkan sumber air minum mereka terkena radio aktif sedikit akibat kesalahan sambung salah satu penyalur. Ada pula enam PLTN lainnya di AS menemukan bahwa alat-alat pengaman mereka yang direncanakan mengambang bila terjadi kecelakaan, ternyata tenggelam bagaikan sepotong timah. Banyak lagi contoh kelalaian dan insiden di proyek nuklir AS. Padahal negeri itu sudah maju sekali. Juga di Jepang, di prefektur Ibaragi, sebuah PLTN dengan tidak sengaja membuang 'sampah' radio aktif dalam konsentrasi cukup tinggi ke sungai yang mengalir dekat perusahaan itu, sebanyak 4 ton. Rupanya ada kebocoran pada salah satu tangki penyimpan. 'Sampah' itu terus mengalir ke samudera Pasifik yang sebenarnya dilarang pemerintah. Kejadian semacam itu rupanya tidak terelakkan skalipun peraturan pengamanan berlapis empat sampai lima, dan terjadi di negara yang justru memiliki industri dan teknologi termaju di dunia ini. Dengan kemampuan Indonesia yang masih terbatas -- tarohlah 10 tahun lagi -- dibanding dengan tingkat kemajuan seperti di AS dan Jepang sekarang ini, risiko PLTN sungguh mengerikan. Soal Politik 'Sampah' nuklir itu, bahkan di Eropa sekali pun, kini masih menjadi persoalan. Di Jerman Barat, misalnya, pembangunan PLTN-nya pesat sekali tapi 'sampahnya entah mau dibawa ke mana. Tiap negara-bagiannya kini memiliki tempat penyimpanan sementara, sedang pemerintah federal masih harus menyediakan tempat penyimpanan pusat, mengingat 'sampah' itu kian banyak. Cogema, singkatan nama suatu perusahaan pemerintah Perancis, di Cap de La Hague sanggup menampung 'sampah' itu guna diolah dan dipakai kembali. Ia menjual jasa reprocessing pada para langganan PLTN di mana-mana. Tapi pabrik Cogema sudah bekerja penuh, sedang orang Jerman tampaknya masih 'malu hati' -- maklum Jerman kan juga kaya -- untuk mengirim 'sampah' nuk-lirnya ke La Hague itu. Bagi negara berkembang, proyek PLTN jelas akan menambah ketergantungan pada negara maju. Bukan hanya sumber biaya, tenaga ahli, maupun untuk pembuangan 'sampah', melainkan juga untuk memperoleh bahan bakar dan suku cadangnya. Ketergantungan ini mempunyai risiko ikatan politik, seperti kolumnis Peter Shear mengungkapkannya di Bangkok Post, bagi rencana Thailand membangun PLTN. Indonesia, rnenurut Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie dalam suatu interpiu TEMPO, memang berhasrat membangun PLTN tapi secara ekonomis masih "belum bisa dipertanggungjawabkan." Namun ia mengakui bahwa BATAN telah diminta menyiapkan diri. Dalam hal ini, PLTN Indonesia mau menjadi no. 2 atau no. 3 di ASEAN? Yang pasti ialah tiada urgensinya bagi Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus