JEPARA, Pati, Rembang, Demak, Kudus -- semua itu melahirkan
berbagai asosiasi pengertian seperti Kerajaan Islam pertama di
Jawa, Wali Songo, mesjid, rokok kretek, ukiran kayu, RA Kartini
dan mungkin dalam waktu tidak terlalu lama lagi juga tenaga
nuklir.
Syahdan, menurut Antara, pemerintah telah mempersiapkan
pembangunan sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di
daerah bekas keresidenan Pati, yang sejak zaman RA Kartini
hanya menonjol dalam bertambahnya penduduk. Sedang dua gunungnya
- Muria dan Lasem -- masih bagaikan kerbau yang menjorokkan
tanduknya ke laut Jawa di sebelah timur Semarang.
Kedua tempat inilah yang dicalonkan pemerintah sebagai lokasi
PLTN tersebut. Proyek ini sekarang giat dipelajari oleh sebuah
tim terdiri dari unsur BATAN, PLN dan NIRA, sebuah konsultan
asal Itali. Studi ketatalaksanaannya diharapkan selesai Oktober
mendatang.
Sutaryo Supandi, dari BATAN, seperti dikutip Antara, mengatakan
bahwa proyek tersebut direncanakan selesai dalam waktu 5 - 8
tahun dan berkapasitas 600 megawatt. Ia membutuhkan biaya
sebesar satu milyar dollar AS, termauk eskalasi dan bunga
selama masa konstruksinya kira-kira sama besarnya dan sama
mahalnya dengan proyek PLN Pilipina -- pertama di kawasan ASEAN
-- yang sedang dibangun di semenanjung Bataan.
Di luar dugaan bahwa proyek PLTN seperti ini masih dipersiapkan.
Tadinya ia disangka sudah dibatalkan untuk masa Repelita II
akibat pertimbangan lebih matang. Ternyata kini ia muncul lagi,
bahkan diproyeksikan di suatu daerah dalam zone seismik aktif.
Zone ini dimulai dari Sumatera melalui pantai Jawa dan Sulawesi
Selatan, membelok ke Kalimantan Timur dan terus ke Pilipina.
Tercatat di peta bahwa zone ini dapat mengalami gempa bumi
tektonik berkekuatan sampai 4 pada skala Richter dan dalam
frekwensi 300 sampai 400 gempa setahun. Sekalipun G. Muria dan
G. Lasem tidak tergolong gunung berapi, kegiatan tektonis yang
menghinggapi daerah itu cukup mengandung risiko bagi pembangunan
sebuah proyek nuklir dengan 'sampah' bahan bakarnya yang
membahayakan.
Dibanding Asahan
Harga listrik dari reaktor nuklir sudah bisa diperkirakan akan
jauh lebih mahal bagi Indonesia ketimbang yang dihasilkan oleh
pembangkit bertenaga air. Siapa pula pemakai 600 megawatt
listrik itu di daerah RA Kartini yang tidak memiliki industri
yang berarti Contoh PLTA Asahan yang berkapasitas ama dianggap
ekonomis yang dapat dipcrtanggungjawabkan karena dikaitkan
dengan pembangunan proyek pengolahan aluminium. Itu pun
listriknya masihakan banyak bersisa. Harga PLTA Asahan masih
hampir separuh lebih murah daripada PLTN yang direncanakan ini.
Unsur radio aktif bukanlah kotoran yang bisa dibasuh dengan air
dan sabun saja. Karenanya risiko yang terkandung dalam proyek
nuklir semacam itu yang merupakan sumber potensial dari ranas,
neutron dan radiasi -- selamanya akan sangat besar bagi
lingkungan, terutama bagi penduduknya.
Majalah Amerika OMNI, edisi Januari lalu mengemukakan bahwa
Pilipina, dengan pinjaman dari Export-lmport Bank sebesar $ 644
juta dengan jaminan tambahan lagi, sangat mengherankan telah
membeli sebuah reaktor nuklir dari Westinghouse dan sekarang
dibangun justru di suatu daerah yang tersohor akan kegiatan
tektonisnya, kurang lebih 22 km dari sebuah gunung berapi. Juga
harga listriknya akan jauh lebih mahal, dibanding dengan yang
dari pembangkit bertenaga air, panas bumi atau batubara. "Tidak
satu pun (faktor di atas) dipelajari sebelumnya. Reaktor ini
tidak mungkin disetujui di Amerika Serikat berdasar keadaan
semacam itu," tulis OMNI.
Bahwa bahaya radio aktif itu bukan khayalan saja, contohnya
dikemukakan oleh Dr. Stephen Hanauer. Pejabat Nuclear Regulatory
Commission (AS) ini selama 10 tahun mengumpulkan bukti-bukti
kejadian. Antara lain ia mencatat bahwa para pekerja di
pembangkit tenaga nuklir La Crosse, Wisconsin (AS), mendapatkan
sumber air minum mereka terkena radio aktif sedikit akibat
kesalahan sambung salah satu penyalur. Ada pula enam PLTN
lainnya di AS menemukan bahwa alat-alat pengaman mereka yang
direncanakan mengambang bila terjadi kecelakaan, ternyata
tenggelam bagaikan sepotong timah.
Banyak lagi contoh kelalaian dan insiden di proyek nuklir AS.
Padahal negeri itu sudah maju sekali.
Juga di Jepang, di prefektur Ibaragi, sebuah PLTN dengan tidak
sengaja membuang 'sampah' radio aktif dalam konsentrasi cukup
tinggi ke sungai yang mengalir dekat perusahaan itu, sebanyak 4
ton. Rupanya ada kebocoran pada salah satu tangki penyimpan.
'Sampah' itu terus mengalir ke samudera Pasifik yang sebenarnya
dilarang pemerintah.
Kejadian semacam itu rupanya tidak terelakkan skalipun
peraturan pengamanan berlapis empat sampai lima, dan terjadi di
negara yang justru memiliki industri dan teknologi termaju di
dunia ini. Dengan kemampuan Indonesia yang masih terbatas --
tarohlah 10 tahun lagi -- dibanding dengan tingkat kemajuan
seperti di AS dan Jepang sekarang ini, risiko PLTN sungguh
mengerikan.
Soal Politik
'Sampah' nuklir itu, bahkan di Eropa sekali pun, kini masih
menjadi persoalan. Di Jerman Barat, misalnya, pembangunan
PLTN-nya pesat sekali tapi 'sampahnya entah mau dibawa ke mana.
Tiap negara-bagiannya kini memiliki tempat penyimpanan
sementara, sedang pemerintah federal masih harus menyediakan
tempat penyimpanan pusat, mengingat 'sampah' itu kian banyak.
Cogema, singkatan nama suatu perusahaan pemerintah Perancis, di
Cap de La Hague sanggup menampung 'sampah' itu guna diolah dan
dipakai kembali. Ia menjual jasa reprocessing pada para
langganan PLTN di mana-mana. Tapi pabrik Cogema sudah bekerja
penuh, sedang orang Jerman tampaknya masih 'malu hati' -- maklum
Jerman kan juga kaya -- untuk mengirim 'sampah' nuk-lirnya ke La
Hague itu.
Bagi negara berkembang, proyek PLTN jelas akan menambah
ketergantungan pada negara maju. Bukan hanya sumber biaya,
tenaga ahli, maupun untuk pembuangan 'sampah', melainkan juga
untuk memperoleh bahan bakar dan suku cadangnya. Ketergantungan
ini mempunyai risiko ikatan politik, seperti kolumnis Peter
Shear mengungkapkannya di Bangkok Post, bagi rencana Thailand
membangun PLTN.
Indonesia, rnenurut Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie
dalam suatu interpiu TEMPO, memang berhasrat membangun PLTN tapi
secara ekonomis masih "belum bisa dipertanggungjawabkan." Namun
ia mengakui bahwa BATAN telah diminta menyiapkan diri. Dalam hal
ini, PLTN Indonesia mau menjadi no. 2 atau no. 3 di ASEAN? Yang
pasti ialah tiada urgensinya bagi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini