Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

A. Damhoeri aku dan buku

A. damhoeri memenangkan sayembara menulis artikel dalam peringatan bulan buku 1987. judulnya: aku dan buku. ia eks pemred "persamaan". sudah menulis sekitar 50 novel.

8 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA puluh tahun yang lalu. Di masa kolonial Belanda itu, ia dijebloskan ke penjara. Ini gara-gara pemimpin redaksi koran itu menyalahi janji, rupanya. Seharusnya nama penulisnya yang sebenarnya, A. Damhoeri, disembunyikan. Tulisannya, "Timur Tanah Airku", yang dicap menyinggung penguasa itu, dimuat di Persamaan, Padang, 1937, dibuat dengan nama samaran: Aria Diningrat. "Berdasarkan vonis di pengadilan, saya dan pemimpin redaksi Persamaan sama-sama dihukum empat bulan penjara," tutur A. Damhoeri. "Saya mengkritik pemerintah Belanda, dan kesalahan si pemimpin redaksi, membocorkan nama penulis sebenarnya." A. Damhoeri lahir 31 Agustus 1915 di Desa Batu Payung, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Dalam peringatan Bulan Buku 1987 ini, ia menang sayembara menulis artikel membangkitkan minat baca, berjudul Aku dan Buku. Tulisan yang dilindungi nama yang dulu mengantar dia ke penjara, Aria Diningrat, itu merebut uang Rp 300 ribu. "Aku ikut sayembara bukan untuk mendapatkan hadiah. Tetapi hatiku memang terpanggil," katanya pada Fachrul Rasyid H.F. dari TEMPO. "Aku pencinta buku. Aku salah seorang pengarang Indonesia yang sudah setengah abad berkecimpung dalam buku. Tanpa mengurangi nilai penting semangat cinta buku yang hendak ditularkan melalui Aku dan Buku itu, Damhoeri juga bersyukur. "Kalau tak ada hadiah itu, kami sekeluarga barangkali tak berlebaran," ujarnya, terkekeh. Hidup Damhoeri selama ini memang nyaris tak bercahaya. Pensiun pada 1971 dengan jabatan terakhir Kepala Ditjen Kebudayaan Departemen P dan K Kabupaten Limapuluh Kota, tiap bulan ia mendapat santunan Rp 150 ribu. Anak kandungnya 10 orang: satu dari istri keempat, lima dari istri keenam, empat dari istri terakhir atau kesembilan. Ia memang menikah sembilan kali. Enam anaknya itu sudah bekerja. Dan ada yang mengikuti jejaknya, jadi penulis. Sebagai penulis, Damhoeri mendapat penghasilan dari karyanya, dan memang hidup dari lahan ini. Sudah sekitar 50 novel lahir dari keterampilannya menulis. Di antaranya, Mencari Jodoh, Ratu Anak Mentawai, dan Depok Anak Pagai -- cerita perjuangan yang pernah diterbitkan di Malaysia. "Tetapi mengandalkan honor buku sajatak cukup. Datangnya tak dapat dipastikan," ujar Damhoeri lagi. Pernah pula ia ditimpa Rp 13 juta, lantaran bukunya diterbitkan dan masuk Proyek Inpres. Ini menolong keadaan. "Kalau mengharap honor dari penerbit saja, jelas tak mencukupi. Dan tentu saya belum seperti sekarang," ujarnya. Dari uang itu, ia, antara lain membeli mesin diesel pembangkit listrik, menegakkan rumahnya jadi rumah tembok ukuran 10 X 12 meter -- 50 meter dari kaki Bukit Tembilangan. Di antara 300 warga Lurah Bukit, Kecamatan Luhak Selatan, 145 km, di utara Kota Padang itu, kini Damhoeri termasuk hidup berkecukupan. Ada TV warna 20 inci di rumahnya, mesin giling padi, tiga kolam ikan. Di lereng bukit yang sejuk itu, ia juga punya lahan satu hektar, yang kini ditanami kopi. Di samping itu, ia jua memiliki warung untuk menjual kebutuhan sehari-hari, 70 meter dari rumah tinggalnya. Kini, tuturnya, Damhoeri mengarang dengan mesin tulis Olympia Carina. "Aku bekerja di bawah cahaya listrik yang mesinnya kubeli dengan honorku," katanya. "Makan dengan nasi yang berasnya digiling dengan mesin yang kubeli dengan hasil royalti karanganku. Semua itu hasil dari buku. Buku karanganku, yang bahan-bahannya kudapat dan buku-buku bacaanku, hasil karya penulis-penulis semua bangsa." Kecintaan pada buku kemudian ia turunkan pada anak-anaknya. Juga ia lebarkan ke anak-anak warga Desa Lurah Bukit. Jumlah buku di rumahnya sudah tak terhitung. Kepada anak-anak yang datang, Damhoeri selalu bilang, "Bacalah buku yang di rumah ini, seluruhnya. Asal jangan dibawa pulang." Sehari-hari, warna hidup Damhoeri tak jauh beda dengan warga Lurah Bukit lainnya: monoton khas desa. Sekitar pukul sembilan mulai ia menghidupkan mesin giling padi dan membuka warung. Ketika kedua pekerjaan itu dialihkan ke seorang keponakannya, ia sendiri kemudian pergi menyiangi ladang kopi yang tadi. Atau, mengurus tambak ikan. Semuanya berlangsung sampai menjelang magrib. Lalu ia pun menyalakan diesel pembangkit listrik. Tengah malam ia biasa terbangun. Sebelum duduk memainkan jari-jari di mesin tulis, Damhoeri salat tahajud. Biasanya ia menulis sampai subuh. Di pagi hari, selain kopi, ada rokok merk West yang selalu menemaninya. M.C.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus