Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Akhir Perjalanan Sang 001

Oey Hay Djoen wafat pada usia 79 tahun. Guru spiritual para anak muda.

26 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA datang dari keluarga Tionghoa yang masih menyimpan abu jenazah para leluhur. Dilahirkan di Malang, Jawa Timur, pada 18 April 1929, Oey Hay Djoen kemudian berjalan jauh—jauh sekali—menembus batas penjuru dan alam pikiran.

Di kota kelahiran itu, Oey remaja yang ”gila” membaca berkenalan dengan seorang pengelola toko buku kecil, Pak Kliwon namanya. Aktivis Serikat Rakjat yang pernah dibuang ke Boven Digoel, Papua, itu memperkenalkan Oey pada gagasan-gagasan progresif, bahkan kemudian menawarinya pergi ke Yogyakarta untuk belajar di Marx House.

Pada mulanya ia ditolak karena dianggap terlalu muda. Tapi, atas bantuan Tan Ling Djie, pemimpin Partai Komunis Indonesia sebelum disingkirkan oleh D.N. Aidit, Oey diterima belajar di sana. ”Pendidikan di Marx House mengubah perjalanan hidup saya,” kata Oey sekali waktu, seperti dikutip sejarawan Hilmar Farid.

Di lingkungan Marx House pula ia terlibat diskusi dan mendengarkan para pemuka Republik, dari Alimin, Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Setiajit, hingga Maruto Darusman—antara lain. Ketika itu pula, pada usia 17 tahun, ia mengerjakan terjemahan buku yang pertama, yaitu karya W.I. Lenin, Negara dan Revolusi, yang diterjemahkannya dari bahasa Inggris ke bahasa Belanda.

Kembali ke Malang, Oey mulai bergiat dalam organisasi rakyat, juga terlibat dalam gerakan gerilya kota. Ia mengurus logistik dan membangun jaringan bawah tanah, termasuk membeli senjata dari para milisi Belanda yang tak mau berperang di Indonesia. Dari Malang ia pindah ke Surabaya, mengurus percetakan Sin Tit Po.

Oey Hay Djoen sempat terpukul oleh Peristiwa Madiun 1948. Tapi, seperti pernah diakuinya, ia kemudian ”dipungut” Njoto—kelak Wakil Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia—dan kembali ke dalam arus gerakan. Dari Surabaya ia pindah ke Semarang dan memimpin Gabungan Perusahaan Rokok Nasional.

Semarang punya tempat khusus dalam perjalanan hidup Oey, karena di sinilah ia berkenalan dengan—dan kemudian menikahi—perempuan manis bernama Jane Luyke. Dari Semarang pula Oey terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat mewakili Partai Komunis Indonesia.

Pada akhir 1950-an Oey Hay Djoen pindah ke Jakarta dan aktif mengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ia memang rajin menulis esai sastra, bahkan puisi dan cerita pendek, dengan nama pena Samandjaja. Tulisan-tulisan analisis ekonominya juga dimuat dalam berbagai majalah dan jurnal ekonomi-politik.

Gempa politik 1965 menyeret Oey ke sisi gelap pusaran hidup. Ia ditahan tanpa proses pengadilan selama 14 tahun dan pada 17 Agustus 1969 mengikuti rombongan tahanan politik pertama yang dibuang ke Pulau Buru. Nomor urutnya: 001. Pada urutan 007 bertengger nama sahabatnya, Pramoedya Ananta Toer.

Pulang dari Pulau Buru, pada November 1979, ia kembali menekuni dunia penulisan dan penerbitan. Pertemuannya dengan kaum muda menggerakkannya terus berkarya, membagi pengetahuan dan pengalaman. ”Tidak salah jika ia disebut guru spiritual bagi banyak anak muda yang berjuang untuk keadilan dan persamaan,” kata Romo Sandyawan, satu di antara sahabatnya.

Dalam keadaan kesehatan yang kurang baik, ditopang tongkat, bahkan kadang kursi roda, Oey tetap menghadiri berbagai pertemuan dan diskusi serta menerjemahkan belasan ribu halaman karya filsafat, sejarah, ekonomi-politik, dan gerakan sosial, di antaranya karya klasik Karl Marx, Das Kapital, setebal 1.500 halaman.

Pada Sabtu tengah malam dua pekan lalu, 17 Mei, penerima Abdurrahman Wahid Award 2007 ini mengalami stroke dan dilarikan ke Rumah Sakit St Carolus, Jakarta Pusat. Para dokter tak berhasil menyelamatkan jiwanya dari penyumbatan pembuluh darah di otak: tepat pukul 00.00 Oey Hay Djoen wafat dengan tenang.

Oey meninggalkan seorang istri, Jane Luyke, sepasang anak-menantu, dan tiga cucu. Dari rumah duka di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Pondok Rangon, Jakarta Timur, di antara makam para korban kerusuhan Mei 1998.

Amarzan Loebis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus