Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Perempuan Gagah di Awal Republik

S.K. Trimurti wafat pada usia 96 tahun. Penanda tangan Petisi 50 yang sempat dipencilkan dan dipinggirkan.

26 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEPAS magrib, pas seratus tahun Kebangkitan Nasional, Selasa pekan lalu, Soerastri Karma Trimurti wafat dengan tenang di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. ”Sudah dua pekan Ibu dirawat,” kata Heru Baskoro, putranya yang nomor dua. Ia mengalami pecah pembuluh darah di lambung.

Perempuan gagah ini lahir dari pasangan asisten wedana R.Ng. Salim Banjarsari Mangunsuromo dan R.A. Saparinten binti Mangunbisomo di Sawahan, Boyolali, Jawa Tengah, pada 11 Mei 1912. Setamat Sekolah Guru Putri di Solo, 1930, ia terjun ke dalam gerakan perjuangan.

Sejak saat itulah tulisannya bertebaran di berbagai media, terutama di harian Sinar Indonesia dan majalah Pesat, Semarang. Untuk menghindari incaran intelijen kolonial, ia memakai nama pena Karma, atawa Trimurti, menyembunyikan nama aslinya: Soerastri.

Sebagai anggota Partai Indonesia, ia mengikuti kursus politik di bawah pimpinan Bung Karno di Bandung, 1933. Tiga tahun kemudian, Tri terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Persatuan Marhaeni di Semarang. Pada 1936 ia dipenjarakan karena ketahuan menyebarkan pamflet antipemerintah kolonial.

Bebas dari penjara, dua tahun kemudian, ia menikah dengan Sayuti Melik, kelak pengetik naskah proklamasi kemerdekaan. Trimurti terjun ke dunia jurnalistik dengan menjadi penulis tetap di berbagai media massa, antara lain Pikiran Rakyat, Pesat, Bedug, dan Genderang.

Pada 1939 ia duduk sebagai anggota Pimpinan Pusat Gerakan Rakyat Indonesia dan dua tahun kemudian sebagai anggota Pengurus Besar Gabungan Serikat Buruh Partikelir Indonesia. Pada zaman Jepang, ia pegawai Pusat Tenaga Rakyat, selain bergabung dengan Jawa Hokokai Honbu dan Jawa Shinbunkai Honbu.

Pada era kemerdekaan, Tri terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, kemudian diangkat menjadi Menteri Perburuhan, 1947-1948. Seraya rajin menulis di berbagai surat kabar, Tri masih sempat menyelesaikan studinya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1960.

Ia pernah diutus pemerintah untuk mempelajari manajemen perburuhan di Yugoslavia dan melakukan studi perbandingan sistem ekonomi ke beberapa negeri sosialis pada 1962. Tapi, tiga tahun kemudian, Tri mengalami ”guncangan”. Ia meninggalkan Gerakan Wanita Indonesia, organisasi yang turut ia dirikan.

”Saya tidak bisa mendayung di atas dua perahu,” katanya ketika itu. Ia memilih berdiri di samping suaminya, yang sedang berpolemik dengan kelompok komunis mengenai ajaran Soekarnoisme. Pada 1969 giliran Sayuti Melik meninggalkan Trimurti dan menikah lagi dengan wanita lain.

Pemegang tiga tanda jasa pemerintah Republik Indonesia ini menulis, antara lain, ABC Perjuangan Buruh dan Hubungan Pergerakan Buruh Indonesia dengan Pergerakan Kemerdekaan Nasional. Ia masih sempat memimpin majalah Mawas Diri. Tentang dirinya sendiri, Soebagio I.N. menulis biografi berjudul S.K. Trimurti, Wanita Pengabdi Bangsa (Gunung Agung, 1982).

Rabu pekan lalu, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono sebagai inspektur upacara. ”Ibu Trimurti itu datang dari golongan ’merah’, sedangkan keluarga saya sangat ’hijau’,” kata penyair Taufiq Ismail, yang hadir di pemakaman. ”Tapi keluarga kami sangat akrab.”

Setelah berhenti dari rupa-rupa jabatan, antara lain Ketua Dewan Harian Nasional Angkatan 45, anggota Dewan Nasional, Dewan Perancang Nasional, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Trimurti masih sempat mengikuti kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara hingga 1975.

Sebagai penanda tangan Petisi 50, yang mempertanyakan kekuasaan otoriter Soeharto, Trimurti ikut merasakan dipencilkan dan dipinggirkan. Tapi, dari ranjang pembaringannya yang terakhir di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, ia masih sempat berpesan kepada putranya, Heru Baskoro, ”Jangan jadi orang pendendam.”

Dari putranya yang pertama, Moesafir Karma Boediman, yang wafat pada 2005 karena kanker, Trimurti beroleh dua cucu dan satu cicit. Setelah itu, Heru Baskoro, yang sempat beberapa tahun tinggal di Kanada, pulang ke Tanah Air untuk merawat sang ibu.

Bunga Manggiasih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus