Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU ketika, api melahap satu kampung di Jakarta. Ali Sadikin, yang belum lama menjadi gubernur, memanggil Kepala Dinas Sosial. Ia ingin memerintahkan agar korban kebakaran segera diberi bantuan. Tapi orang yang dicari tak ada; ia baru datang keesokan harinya. Sang Kepala Dinas melaporkan: kampung itu dihuni warga yang tak memiliki identitas sah.
Mendengar laporan itu, Ali meledak. ”Tidak ada rakyat yang tidak sah,” katanya, seperti diulangi Wardiman Djojonegoro—ketika itu sekretaris gubernur. ”Kita harus menolong rakyat!” Si Kepala Dinas langsung dimutasi.
Perhatian Bang Ali terhadap rakyat jelata memang sangat terasa. Ia pernah naik bus kota untuk ikut ”menikmati” amburadulnya sarana angkutan rakyat itu. Dari perjalanan incognito itu lahirlah kebijakan membangun terminal dan halte bus untuk melayani penumpang.
Pada saat yang lain, Ali mendengar rakyat tak punya air bersih dan kakus. Seketika ia memerintahkan agar di sepanjang kanal Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada dibangun peturasan dan kamar mandi umum. Proyek itu kelak terkenal dengan MCK—mandi, cuci, kakus.
Sejak hari pertama menjadi gubernur, Bang Ali mencari tahu apa sesungguhnya tugas orang nomor satu di Jakarta. Dari beberapa sesepuh dan staf senior, dia mendapat jawaban: gubernur bertugas mengayomi rakyat. ”Itu artinya kita harus membimbing dan memberikan fasilitas kepada rakyat, sejak dia lahir sampai mati,” ujar Bang Ali, seperti ditirukan Wardiman.
Dari kajian singkat, ia menemukan kenyataan yang dihadapi warga Jakarta: infrastruktur yang menyedihkan. Mulailah Ali memperbaiki prasarana. Jalan-jalan dipugar dan diperlebar, sering tanpa memberikan ganti rugi kepada rakyat yang tanahnya digusur. ”Ini untuk kepentingan umum, dan pemerintah tak punya uang,” katanya ketika itu.
Satu di antara karyanya adalah program perbaikan kampung, yang meniru kampong verbetering pada zaman Belanda. Dengan dana minim, ia membangun gang dari semen di kampung-kampung Jakarta, juga selokan agar air yang menggenang bisa mengalir. Bank Dunia belakangan tertarik dan memberikan pinjaman untuk program itu.
Bang Ali juga membenahi organisasi pemerintahan kota. Ia merekrut tenaga ahli dan sumber daya manusia yang unggul. Beberapa di antaranya lulusan luar negeri, misalnya Wardiman, yang insinyur perkapalan alumni Jerman, Hafiz Faturrahman yang sarjana administrasi publik lulusan Amerika, dan Soetjipto Wirosardjono yang sarjana statistik alumni Filipina.
Dengan bantuan para ahli itulah Ali Sadikin menggariskan berbagai kebijakan, mulai dari rencana, persiapan, anggaran, hingga kajian dampak sosialnya. ”Beliau sangat konsisten,” Soetjipto Wirosardjono mengenang. ”Apa yang sudah digariskan oleh pemerintah pasti akan dijalankan.”
Sebagai militer, Ali sangat ketat waktu. Tak ada staf yang berani terlambat menghadiri rapat setiap pukul tujuh pagi di Balai Kota. Tapi dia juga amat demokratis dan mau mendengar masukan dari anak buah.
Sukses lain Bang Ali selama memimpin Jakarta adalah program urban renewal. Daerah-daerah yang semula kumuh diperbaiki sehingga asri. Dia menantang pengusaha untuk membenahi kawasan Planet Senen, yang semula merupakan pangkalan pelacur. Hasilnya: Proyek Senen bersalin rupa menjadi pusat belanja kebanggaan warga Jakarta.
Program serupa dilakukan di kawasan Pulomas, Cempaka Putih, dan Tebet. Pengusaha senang karena modal yang ditanam berbuah laba. Pemerintah gembira lantaran bisa membenahi kawasan kumuh tanpa banyak mengeluarkan biaya.
Nugroho Dewanto, Yugha Erlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo