Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sabtu, 17 Mei 2008, pukul 10 pagi. Dering telepon dan tanda terima pesan pendek datang bertubi-tubi tanpa henti. Sophan Sophiaan meninggal dalam kecelakaan di perbatasan antara Ngawi dan Sragen. Seketika, dada terasa sesak. Seisi rumah dan ruang batin saya menjadi hening. Sulit menerima kenyataan bahwa sahabat saya yang selama ini selalu tampil tabah, segar, serta ceria begitu cepat dan tiba-tiba pergi meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya.
Seketika, seluruh peristiwa bersama almarhum semasa hidupnya terbayang dan datang beruntun satu per satu bak gambar hidup yang tersusun apik. Terutama saat beberapa hari menjelang kepergian Sophan; tepatnya ketika bersama menghadiri pesta terbatas antarsahabat di rumah Jenggala, tempat kediaman Arifin Panigoro. Seperti biasa, Sophan selalu tampil ceria dan murah cerita dengan berbagai gurauan hangatnya.
Saya masih ingat bagaimana dengan penuh gairah, ia menceritakan rahasia nikmatnya mengendarai motor besar. ”Kalau belum tahu trik dan cara mengendarai motor besar, memang sepertinya menyeramkan. Tapi begitu tahu… wah, nikmatnya luar biasa...,” kata Sophan. ”Masak lu takut, Ros... Widya aja berani dan selalu mbonceng ikut gue ke mana-mana. Pokoknya, kalau udah di atas motor, hilang tuh seluruh stres...,” katanya meyakinkan.
Selanjutnya, ia menceritakan dengan semangat rencananya melakukan na-pak tilas Jalur Merah-Putih dalam rangka memperingati 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional. Dengan ketegaran dan semangat nasionalismenya yang begitu menggebu ini, sungguh saya tak mengira bahwa motor besar yang menjadi kebanggaan dan hobi barunya inilah yang justru mengantarnya pergi ke alam baka untuk selama-lamanya. Padahal masih begitu banyak yang ingin ia lakukan, baik yang akan dilakukannya sendiri dalam dunia perfilman maupun yang direncanakan bersama saya dalam dunia politik.
Di dunia politik, Sophan dikenal sebagai sosok politikus yang memilih suara hati nurani sebagai panglima. Berkali-kali ia mengatakan bahwa warna abu-abu tidak ia kenal dalam khazanah politiknya. Pilihannya hanya dua ekstrem: hitam atau putih! Tidak ada kompromi dan tidak ada warna antara. Apalagi bila menyangkut masalah hak-hak rakyat di satu sisi dan kekuasaan yang batil di sisi lain. Dunia politik yang biasanya bergerak dan berpusar di antara kata ”menang” dan ”kalah”, dalam khazanah politik seorang Sophan diganti menjadi masalah ”benar” dan ”salah”. Itulah sebabnya, banyak yang kemudian lebih menilai dirinya sebagai seorang moralis ketimbang politikus. Tidak mengherankan bila belakangan, di pengujung hidupnya, ia merasa muak terhadap dunia politik yang penuh dengan tipu daya.
Berbagai kekecewaan terhadap partai dan ”kawan-kawan” seperjuangannya semasa melawan rezim Orde Baru sering kali diungkapkan dengan mendorong serta membujuk saya untuk membuat film tentang peristiwa politik di balik gerakan Reformasi. ”Kita bikin saja filmnya, Ros, biar rakyat tahu siapa mereka sesungguhnya. Kita bongkar berbagai kebusukan teman-teman kita yang tega jadi pelacur, menjual rakyat, dan memperkaya diri sendiri.” Begitulah harapan yang hingga akhir hayatnya belum sempat terealisasi. Satu hal yang perlu dicatat bahwa semua itu diungkapkan bukan dengan rasa dendam, tapi justru didasari rasa cinta kepada negeri dan rakyat bangsa Indonesia.
Aktor yang melejit lewat film Romi dan Yuli di awal debutnya pada 1970-an itu bukanlah pribadi yang keras sebagaimana sikapnya dalam dunia politik. Kehangatan dan kesetiaan sebagai kawan dirasakan oleh semua sahabat dan kerabat dekatnya. Bagi sang istri tercinta, Widyawati, sosok Sophan sebagai suami yang romantis dan selalu setia mendampingi ke mana pun pergi tetap membekas dan sangat dirasakan hingga hari kepergian sang suami tercinta. Kesetiaan dan kebersamaan yang ia lakukan selama hidup bersama istrinya inilah yang membuat pasangan Sophan Sophiaan dan Widyawati menjadi simbol ikon keharmonisan hidup sepasang suami-istri yang tak terpisahkan oleh apa pun kecuali ajal yang datang memisahkan.
Begitu membekas hadirnya Sophan, kepergiannya terasa selalu kembali datang dalam bentuk kenangan indah. Selamat jalan, Sobat, seluruh pesanmu kucatat sudah!
Erros Djarot
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo