BINTANG pelukis Amri Yahya sedang naik. Berpameran tunggal sejak
umur 21 tahun (dia lahir 1939), kini pameran tunggalnya sudah
tercatat hampir 40 kali -- di dalam maupun luar negeri. Belum
lagi sejumlah pameran bersama. Hebatnya, lebih 20 pameran itu
diselenggarakannya hanya 5 tahun terakhir. Dan tahun ini,
setelah berpameran di Abu Dhabi, 3-14 April sejumlah lukisan
batik, cat minyak dan cat airnya dipamerkan pula di Taman Ismail
Marzuki. Ini orang hebat.
Dan agaknya kegiatan pamerannya memang terencana dengan baik.
Kalau melihat produktivitasnya (menurut seorang pembantunya,
minimal 30 lukisan batik per bulan) dan seringnya pameran, tentu
Amri tidak bekerja sendiri. Benar. Sejak 1976 ia dibantu Ny.
Taufiq Ismail dalam menyelenggarakan pameran.
Amri agaknya memang sadar akan perlunya kerjasama. "Sekarang tak
bisa berusaha apa pun tanpa promosi," ujarnya. Tanpa semacam
manajemen, pun waktunya akan terbagi antara berkarya dan
mengatur pameran -- dan itu tentu merugikan kreativitas.
Sementara itu Ny Taufiq, isteri penyair Taufiq Ismail, memang
senang mengurus lukisan. "Meski pun tak laku, menyelenggarakan
pameran begini ini saya sudah senang," katanya kepada TEMPO.
Nyonya itu sebenarnya agak merendah-rendah. Soalnya, menurut
pengakuannya sendiri, sepanjang pengetahuannya sejak bekerja
sama dengan Amri belum pernah sekalipun karya pelukis yang
dipamerkan itu tidak laku. Minimal dua-tiga lukisan diangkat
orang-dengan harga yang berkisar antara Rp 75 ribu sampai Rp 5
juta lebih. Menurut seorang pembantunya, sebuah lukisan batik
bahkan pernah laku Rp 10 juta di Hotel Hilton Jakarta.
Namun berapa pendapatan Amri dari karyanya, tentunya sulit
dicek. Ny. Taufiq hanya ketawa ketika ditanya berapa kira-kira
hasil Amri sebulan lewat pamerannya Hanya diceritakannya, di
Galeri Amri di Yogyakarta (didirikan 1972) paling sedikit sekali
seminggu satu lukisan dibeli orang. Pernah juga sebuah lukisan
batik seharga Rp 3 juta dibeli seorang turis asing di galeri
itu.
Naluri Bisnis
Tapi sejak semula modal memang ada pada Amri. Isterinya sendiri
sudah sibuk dengan perusahaan batik dan butik di Yogya, dengan
pekerja sekitar 25 orang. Sedang Amri, ketika mulai melahirkan
lukisan batik di tahun 1968 sudah punya pembantu (untuk
mengerjakan segala proses batik di luar disain) sekitar 15
orang. Dan kalau anda kenal Amri, orangnya memang cukup
berkwalitas wiraswasta. Pernah satu saat dia menasihati seorang
pelukis muda. Katanya: "Kalau mau maju, tutup telinga."
Yang dia maksud jangan dengarkan kritik yang macam-macam. Dan
memang, bukankah kritik terhadap Amri keras terdengar? Apalagi
mereka yang masih melihat karya seni sebagai pusaka yang sakral,
dan seniman bagai empu, tentulah terkejut melihat ia nampang
di TVRI menawarkan merk cat. Padahal ini dianggap Amri sebagai
salah satu ciri memperkenalkan diri pada masyarak -- sementara
honorarium yang diterimanya tentulah tak sedikit.
Setelah sejak 1974 Amri berpameran di beberapa kota di Barat
(Melboum, Sydney, Koln, Washington DC, Los Angeles), mulai 1976
ia mengalihkan perhatian ke negara-negara petro-dollar Arab
Saudi, Suriah, Kuwait dan lain-lain. Amri agaknya memang punya
naluri bisnis yang baik di samping bakat artistik. Dia pernah
mendapat penghargaan tertinggi untuk karya-karyanya ketika
lulus dari Akademi Seni Rupa lndonesia Yogyakarta (ASRI waktu
itu belum menjadi sekolah tinggi).
Tapi kayak apa sih karya Amri sebenarnya? Judul-judulnya memang
tepat: Embun di Daun, Rumput-rumput Air, Lebak. Pokoknya yang
menyarankan pemandangan di pinggir pantai, atau obyek yang
manis. Tentu saja tidak realistis, tapi merupakan sapuan dan
goresan sugesti. Eksperimen dalam batiknya memang menghasilkan
warna-warna yang bersih dan enak dilihat. Dekoratif, nyaman
sebagai hiasan, walaupun mungkin kita cepat bosan. Semuanya
lebih memberi kesan masinal daripada satu sapuan yang datang
dari dalam -- juga Untuk sketsa hitam-putihnya, cat airnya
maupun cat minyaknya.
Tetapi Amri memang sukses.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini