Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mahkamah Islam Tinggi, Belum Final?

Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi memberikan kasasi dari semua lingkungan peradilan termasuk peradilan agama & militer, tapi peradilan agama belum dapat menerimanya.(hk)

14 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BABY Huwae (38 tahun), bekas bintang film yang kini asik dalam bidang ramal-meramal, sejak dua tahun lalu hidup menjanda. Tapi ia resah juga. Beberapa putusan pengadilan, yang menyangkut persengketaan dengan Endang Karnadi, bekas suaminya, ia rasakan sangat mengecewakan. Keputusan perkara perceraian oleh Pengadilan Agama memang dikehendakinya. Hanya, katanya, dalih perceraian yang ditonjolkan pengadilan sangat memojokkan posisinya sebagai penggugat. Kalah di Pengadilan Negeri, janda ini diharuskan pula membagi dua harta dengan bekas suaminya. Padahal "hasil keringat saya sendiri, tanpa bantuan suami" ujar Baby. Sementara itu sekali lagi ia terpukul oleh putusan Pengadilan Agama berikutnya: dia tak dipercayai memelihara ke anaknya. Untuk kedua perkara tersebut Baby Huwae naik banding. Keputusan mengenai pembagian harta gono-gini masih ditunggu dari Pengadilan Tinggi. Tapi keputusan perwalian dari Mahkamah Islam Tinggi (Cabang) Bandung yang keluar lebih dulu kembali mengecewakannya. Dia tetap tak diperkenankan memelihara anak-anaknya. Dengan keputusan MIT itu lazimnya habislah upaya hukum bagi Baby Huwae. Sebab keputusan banding dalam peradilan agama adalah keputusan final. Namun penasehat hukumnya, M. Assegaf SH, dari Kantor Advokat Adnan Buyung Nasution masih melihat peluang lain yaitu mohon kasasi ke Mahkamah Agung. Sebab sekarang Mahkamah Agung telah membuka pintu bagi permohonan kasasi dari semua lingkungan peradilan -- termasuk Peradilan Militer dan Agama. Ini diumumkan 20 Maret lalu sebagai bagian penting dari hasil rapat kerja antara Mahkamah Agung dengan para Ketua Pengadilan Tinggi se Indonesia di Jakarta. Suparmi & Sardji Dari sudah sekitar 100 perkara yang masuk, untuk pertama kali 15 Maret lalu Mahkamah Agung telah memberi nutusan tingkat kasasi terhadap 2 perkara dari lingkungan Peradilan Agama. Pertama sengketa antara Suparmi dengan Sardji sekitar biaya nafkah isteri setelah perceraian, yang sebelumnya telah diputus oleh Pengadilan Agama Nganjuk (Jawa Timur) dan Mahkamah Islam Tinggi (Cabang) Surabaya tahun lalu. Perkara pertama diterima Mahkamah Agung melalui Panitera Pengadilan Agama dan masih memenuhi syarat waktu. Sedangkan perkara kedua yang menyangkut sengketa perceraian antara Cut Satariah dan Rasyidin, dari Mahkamah Syariah Sigli (Aceh) dan Mahkamah Syariah Propinsi, dilakukan tak melalui "jalan pengadilan" biasa. Sebab diajukan langsung oleh pemohon, Cut Satariah, ke Mahkamah Agung. Perkara ini di samping tak memenuhi syarat waktu juga tanpa melalui Mahkamah Syariah. Sebab, katanya, kepaniteraan Mahkamah Syariah Sigli tak mau melayani segala macam urusan kasasi. Agaknya inilah pengganjal jalur hubungan antara Pengadilan Agama - yang belum mau disebut sebagai peradilan bawahan -- dengan badan peradilan negara tertinggi yaitu Mahkamah Agung. Untuk sementara Mahkamah Agung memang tak hendak menolak permohonan kasasi di luar jalan pengadilan seperti yang dilakukan oleh Cut Satariah dari Aceh itu. Karena ketidakwajaran permohonan Satariah bukan salahnya sendiri. "Disebabkan oleh halhal di luar kehendak pemohon kasasi," begitu siaran pers Mahkamah Agung. Permohonan kasasi langsung ke Mahkamah Agung seperti dilakukan Cut Satariah juga bakal ditempuh Baby Huwae. Sebab seperti juga Mahkamah Syariah Sigli, Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya juga tak mau melayani atau menerima permohonan kasasi Baby. Alasannya seperti dikemukakan Ketua Pengadilan Agama Jakarta, drs Muhail, peradilan agama masih berpedoman pada surat edaran No. DlV/Ed/89/78 dari Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama, Ditjen Bimas Islam Departemen Agama. Yaitu, "Departemen Agama belum mengeluarkan ketentuan tentang tatacara penanganan kasasi di lingkungan Badan Peradilan Agama." UU Organik Alasan yang dikemukakan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama, H. Ichtijanto SA, SH, cukup panjang. Pertama, seperti dalam suratnya 1 Mei 1978 kepada Ketua Pengadilan Agama tingkat I dan Banding se Indonesia, antara lain "karena hingga kini belum ada Hakim Agung bidang agama di Mahkamah Agung." Di samping itu nyatanya memang belum ada undang-undang resmi (organik) yang mengatur upaya kasasi untuk Peradilan Agama. Namun begitu Ichtijanto tak melarang siapa saja yang tetap ingin berkasasi. Tapi "hendaknya para pencari keadilan diberi kebebasan untuk menyampaikannya sendiri ke Mahkamah Agung." Memang sejak pagi-pagi karena makin banyak pencari keadilan yang minta kasasi terhadap putusan peradilan agama, Mahkamah Agung telah mengedarkan surat tentang pelaksanaan jalan pngadilan kasasi perkara perdata dan pidana oleh Peradilan Agama dan Militer (26 Nopember 1977) lengkap dengan lampiran cara melaksanakannya (Peraturan No 1/1977). Oleh Ichtijanto surat tersebut disebut sebagai suatu kejutan. Karena itu terbit petunjuk dari Ichtijanto untuk 'mengatasi' ketentuan Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Seno Aji SH, kesal juga dibuatnya. Surat Ichtijanto dinilainya sebagai "petunjuk justisiil." Sedangkan katanya "Departemen Agama tidak boleh memberikan petunjuk justisiil kepada badan peradilan." "Mahkamah Agung," menurut Seno Aji, "memegang wewenang eksklusif dan melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya pengadilan di semua lingkungan peradilan." Jadi yang boleh melakukan petunjuk justisiil kepada badan pengadilan hanyalah Mahkamah Agung. Petunjuk dari Departemen Agama, dinilai Seno Adji sudah merupakan usaha mencampuri kebebasan lembaga judikatif oleh eksekutif. Kok, jadi . . . Bahwa belum ada undang-undang yang khusus mengatur kasasi bagi Peradilan Agama, menurut Mahkamah Agung, memang benar. Namun repot juga jika hanya menunggu undang-undang padahal permintaan kasasi makin banyak. Mahkamah Agung, seperti tercantum dalam dua putusan kasasinya menyatakan hal itu "akan menimbulkan rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan." Untuk itu mengingat undang-undang yang ada (pasal 131 No 1/1950), Mahkamah Agung merasa dapat menentukan sendiri tatacara kasasi bagi Peradilan Aama. Yaitu mempersamakan cara kasasi di lingkungan peradilan agama (seperti Peradilan Militer) dengan peradilan umum biasa. Sikap Mahkamah Agung begitu ditolak Ichtijanto dengan keras. "Bisa mengguncangkan kehidupan hukum," katanya. Sebab masih menjadi pertanyaannya, jangan-jangan "dasar hukum yang dipakai Mahkamah Agung itu bertentangan dengan UUD '45 dan TAP MPR." Ichtijanto tetap berpendapat, bagaimanapun, selama undang-undang tentang kekuasaan serta acara bagi badan pengadilan agama serta tata cara kasasi belum ada, "maka kasasi dalam lingkungan Peradilan Agama belum dayat dijalankan." Sebab katanya, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman jelas menyebutkan keharusan adanya UU tersendiri yang mengatur masing-masing lingkungan peradilan. Dan aturan tersendiri itulah yang belum ada. Ichtijanto juga mengingatkan ketentuan Mahkamah Agung 24 April 1973 (No. MA/Pemb/482/73), yang antara lain menyebutkan: "kasasi terhadap putusan-putusan dari pengadilan di luar Peradilan Umum, yaitu Peradilan Militer, Agama dan Administrasi sampai sekarang belum dapat dijalankan." Sebab hukum acara untuk pemeriksaan kasasi bagi badan peradilan di luar peradilan umum, "belum ada." Begitu pula, berpegang pada ketentuan lama yang semustinya masih berlaku Ichtijanto berpendapat: keputusan dari Pengadilan Agama tingkat banding merupakan keputusan terakhir (final) dalam lingkungan peradilan agama. Jadi selama undang-undangnya belum ada "putusan Mahkamah Syariah adalah final." Sambil menuduh "di Mahkamah Agung rupanya ada faham yang ingin melanjutkan fikiran Ter Haar (pejabat BeIanda dulu yang berusaha menjegal peraturan peradilan agama)," Ichtijanto menyanggah instansinya telah mencampuri urusan badan peradilan. Suratnya kepada badan peradilan agama tentang 'larangan' melayani permintaan kasasi, katanya dimaksudkan bukan sebagai "petunjuk justisiil." "Hanya aspek administratif peradilan saja," ucapnya. Namun Ketua Mahkamah Agung Seno Adji, tetap tak bisa mengerti apa maunya Peradilan Agama. Mahkamah Agung, bagaimana pun tetap merupakan pengadilan tertinggi negara. "Kalau tidak ke Mahkamah Agung mau minta kasasi ke mana lagi?" tanyanya. Aneh juga, kata Seno Adji, "kasasi dari peradilan militer saja lancar, tak ada persoalan Kok dari Pengadilan Agama jadi...." Bagaimana kalau ketentuan Mahkamah Agung tak dipenuhi oleh Peradilan Agama? Sambil membakar tembakau di pipanya Seno Adji menjawab agak tegas: "Para hakim di situ melakukan contempt of court. Soalnya, mau taat kepada undang-undang atau hukum lain?" Nah, penyelesaian kasus Baby Huwae agaknya masih harus ditunggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus