BABY Huwae (38 tahun), bekas bintang film yang kini asik dalam
bidang ramal-meramal, sejak dua tahun lalu hidup menjanda. Tapi
ia resah juga. Beberapa putusan pengadilan, yang menyangkut
persengketaan dengan Endang Karnadi, bekas suaminya, ia rasakan
sangat mengecewakan.
Keputusan perkara perceraian oleh Pengadilan Agama memang
dikehendakinya. Hanya, katanya, dalih perceraian yang
ditonjolkan pengadilan sangat memojokkan posisinya sebagai
penggugat.
Kalah di Pengadilan Negeri, janda ini diharuskan pula membagi
dua harta dengan bekas suaminya. Padahal "hasil keringat saya
sendiri, tanpa bantuan suami" ujar Baby. Sementara itu sekali
lagi ia terpukul oleh putusan Pengadilan Agama berikutnya: dia
tak dipercayai memelihara ke anaknya.
Untuk kedua perkara tersebut Baby Huwae naik banding. Keputusan
mengenai pembagian harta gono-gini masih ditunggu dari
Pengadilan Tinggi. Tapi keputusan perwalian dari Mahkamah Islam
Tinggi (Cabang) Bandung yang keluar lebih dulu kembali
mengecewakannya. Dia tetap tak diperkenankan memelihara
anak-anaknya.
Dengan keputusan MIT itu lazimnya habislah upaya hukum bagi Baby
Huwae. Sebab keputusan banding dalam peradilan agama adalah
keputusan final. Namun penasehat hukumnya, M. Assegaf SH, dari
Kantor Advokat Adnan Buyung Nasution masih melihat peluang lain
yaitu mohon kasasi ke Mahkamah Agung.
Sebab sekarang Mahkamah Agung telah membuka pintu bagi
permohonan kasasi dari semua lingkungan peradilan -- termasuk
Peradilan Militer dan Agama. Ini diumumkan 20 Maret lalu sebagai
bagian penting dari hasil rapat kerja antara Mahkamah Agung
dengan para Ketua Pengadilan Tinggi se Indonesia di Jakarta.
Suparmi & Sardji
Dari sudah sekitar 100 perkara yang masuk, untuk pertama kali 15
Maret lalu Mahkamah Agung telah memberi nutusan tingkat kasasi
terhadap 2 perkara dari lingkungan Peradilan Agama. Pertama
sengketa antara Suparmi dengan Sardji sekitar biaya nafkah
isteri setelah perceraian, yang sebelumnya telah diputus oleh
Pengadilan Agama Nganjuk (Jawa Timur) dan Mahkamah Islam Tinggi
(Cabang) Surabaya tahun lalu.
Perkara pertama diterima Mahkamah Agung melalui Panitera
Pengadilan Agama dan masih memenuhi syarat waktu. Sedangkan
perkara kedua yang menyangkut sengketa perceraian antara Cut
Satariah dan Rasyidin, dari Mahkamah Syariah Sigli (Aceh) dan
Mahkamah Syariah Propinsi, dilakukan tak melalui "jalan
pengadilan" biasa. Sebab diajukan langsung oleh pemohon, Cut
Satariah, ke Mahkamah Agung. Perkara ini di samping tak memenuhi
syarat waktu juga tanpa melalui Mahkamah Syariah. Sebab,
katanya, kepaniteraan Mahkamah Syariah Sigli tak mau melayani
segala macam urusan kasasi.
Agaknya inilah pengganjal jalur hubungan antara Pengadilan Agama
- yang belum mau disebut sebagai peradilan bawahan -- dengan
badan peradilan negara tertinggi yaitu Mahkamah Agung.
Untuk sementara Mahkamah Agung memang tak hendak menolak
permohonan kasasi di luar jalan pengadilan seperti yang
dilakukan oleh Cut Satariah dari Aceh itu. Karena ketidakwajaran
permohonan Satariah bukan salahnya sendiri. "Disebabkan oleh
halhal di luar kehendak pemohon kasasi," begitu siaran pers
Mahkamah Agung.
Permohonan kasasi langsung ke Mahkamah Agung seperti dilakukan
Cut Satariah juga bakal ditempuh Baby Huwae. Sebab seperti juga
Mahkamah Syariah Sigli, Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya
juga tak mau melayani atau menerima permohonan kasasi Baby.
Alasannya seperti dikemukakan Ketua Pengadilan Agama Jakarta,
drs Muhail, peradilan agama masih berpedoman pada surat edaran
No. DlV/Ed/89/78 dari Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama,
Ditjen Bimas Islam Departemen Agama. Yaitu, "Departemen Agama
belum mengeluarkan ketentuan tentang tatacara penanganan kasasi
di lingkungan Badan Peradilan Agama."
UU Organik
Alasan yang dikemukakan Direktur Pembinaan Badan Peradilan
Agama, H. Ichtijanto SA, SH, cukup panjang. Pertama, seperti
dalam suratnya 1 Mei 1978 kepada Ketua Pengadilan Agama tingkat
I dan Banding se Indonesia, antara lain "karena hingga kini
belum ada Hakim Agung bidang agama di Mahkamah Agung." Di
samping itu nyatanya memang belum ada undang-undang resmi
(organik) yang mengatur upaya kasasi untuk Peradilan Agama.
Namun begitu Ichtijanto tak melarang siapa saja yang tetap ingin
berkasasi. Tapi "hendaknya para pencari keadilan diberi
kebebasan untuk menyampaikannya sendiri ke Mahkamah Agung."
Memang sejak pagi-pagi karena makin banyak pencari keadilan
yang minta kasasi terhadap putusan peradilan agama, Mahkamah
Agung telah mengedarkan surat tentang pelaksanaan jalan
pngadilan kasasi perkara perdata dan pidana oleh Peradilan
Agama dan Militer (26 Nopember 1977) lengkap dengan lampiran
cara melaksanakannya (Peraturan No 1/1977).
Oleh Ichtijanto surat tersebut disebut sebagai suatu kejutan.
Karena itu terbit petunjuk dari Ichtijanto untuk 'mengatasi'
ketentuan Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Seno
Aji SH, kesal juga dibuatnya. Surat Ichtijanto dinilainya
sebagai "petunjuk justisiil." Sedangkan katanya "Departemen
Agama tidak boleh memberikan petunjuk justisiil kepada badan
peradilan."
"Mahkamah Agung," menurut Seno Aji, "memegang wewenang eksklusif
dan melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya pengadilan
di semua lingkungan peradilan." Jadi yang boleh melakukan
petunjuk justisiil kepada badan pengadilan hanyalah Mahkamah
Agung. Petunjuk dari Departemen Agama, dinilai Seno Adji sudah
merupakan usaha mencampuri kebebasan lembaga judikatif oleh
eksekutif.
Kok, jadi . . .
Bahwa belum ada undang-undang yang khusus mengatur kasasi bagi
Peradilan Agama, menurut Mahkamah Agung, memang benar. Namun
repot juga jika hanya menunggu undang-undang padahal permintaan
kasasi makin banyak. Mahkamah Agung, seperti tercantum dalam dua
putusan kasasinya menyatakan hal itu "akan menimbulkan rasa
ketidakpuasan dan ketidakadilan."
Untuk itu mengingat undang-undang yang ada (pasal 131 No
1/1950), Mahkamah Agung merasa dapat menentukan sendiri tatacara
kasasi bagi Peradilan Aama. Yaitu mempersamakan cara kasasi di
lingkungan peradilan agama (seperti Peradilan Militer) dengan
peradilan umum biasa.
Sikap Mahkamah Agung begitu ditolak Ichtijanto dengan keras.
"Bisa mengguncangkan kehidupan hukum," katanya. Sebab masih
menjadi pertanyaannya, jangan-jangan "dasar hukum yang dipakai
Mahkamah Agung itu bertentangan dengan UUD '45 dan TAP MPR."
Ichtijanto tetap berpendapat, bagaimanapun, selama undang-undang
tentang kekuasaan serta acara bagi badan pengadilan agama serta
tata cara kasasi belum ada, "maka kasasi dalam lingkungan
Peradilan Agama belum dayat dijalankan."
Sebab katanya, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman jelas menyebutkan
keharusan adanya UU tersendiri yang mengatur masing-masing
lingkungan peradilan. Dan aturan tersendiri itulah yang belum
ada. Ichtijanto juga mengingatkan ketentuan Mahkamah Agung 24
April 1973 (No. MA/Pemb/482/73), yang antara lain menyebutkan:
"kasasi terhadap putusan-putusan dari pengadilan di luar
Peradilan Umum, yaitu Peradilan Militer, Agama dan Administrasi
sampai sekarang belum dapat dijalankan." Sebab hukum acara untuk
pemeriksaan kasasi bagi badan peradilan di luar peradilan umum,
"belum ada."
Begitu pula, berpegang pada ketentuan lama yang semustinya masih
berlaku Ichtijanto berpendapat: keputusan dari Pengadilan Agama
tingkat banding merupakan keputusan terakhir (final) dalam
lingkungan peradilan agama. Jadi selama undang-undangnya belum
ada "putusan Mahkamah Syariah adalah final."
Sambil menuduh "di Mahkamah Agung rupanya ada faham yang ingin
melanjutkan fikiran Ter Haar (pejabat BeIanda dulu yang berusaha
menjegal peraturan peradilan agama)," Ichtijanto menyanggah
instansinya telah mencampuri urusan badan peradilan. Suratnya
kepada badan peradilan agama tentang 'larangan' melayani
permintaan kasasi, katanya dimaksudkan bukan sebagai "petunjuk
justisiil." "Hanya aspek administratif peradilan saja," ucapnya.
Namun Ketua Mahkamah Agung Seno Adji, tetap tak bisa mengerti
apa maunya Peradilan Agama. Mahkamah Agung, bagaimana pun tetap
merupakan pengadilan tertinggi negara. "Kalau tidak ke Mahkamah
Agung mau minta kasasi ke mana lagi?" tanyanya. Aneh juga, kata
Seno Adji, "kasasi dari peradilan militer saja lancar, tak ada
persoalan Kok dari Pengadilan Agama jadi...."
Bagaimana kalau ketentuan Mahkamah Agung tak dipenuhi oleh
Peradilan Agama? Sambil membakar tembakau di pipanya Seno Adji
menjawab agak tegas: "Para hakim di situ melakukan contempt of
court. Soalnya, mau taat kepada undang-undang atau hukum lain?"
Nah, penyelesaian kasus Baby Huwae agaknya masih harus ditunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini