Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Anatomi perpecahan umat

Pengarang : deliar noer jakarta : pustaka utama grafiti, 1987 resensi oleh : ridwan saidi.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARTAI ISLAM DI PENTAS NASIONAL Oleh: Dr. Deliar Noer Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, 1987, 493 halaman INI sebuah buku bacaan yang amat menarik. Kecermatan meneliti, penulisan yang lancar dengan disertai imbuhan khazanah kata Malaysia yang seronok. Dan ditambah lagi dengan keterlibatan Deliar Noer sendiri dalam pergerakan Islam -- sebagai Ketua Umum HMI (1953-1955). Kemudian ia juga ikut serta dalam usaha mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (1966-1967) bersama Dr. Moh. Hatta. Kekayaan data tentang aktualisasi politik partai Islam (1945-1965) yang terkandung dalam buku Deliar Noer cukup mengagumkan. Lalu Deliar, sebagai seorang ilmuwan politik, sekaligus aktivis pergerakan yang mempunyai visi politik tertentu, menceritakan sebab perpecahan umat Islam, bagai sebuah melodrama. Perpecahan intern Masyumi, antara kubu Sukiman dan Natsir, serta pertentangan pendapat antara Masyumi di satu pihak dan NU-PSII-Perti di pihak lain yang diramu intrik politik pihak ketiga, cuma menimbulkan perasaan sedih dan sesal. Hal itu disebabkan Noer menyuguhkannya secara anatomis, nyaris tanpa analisa dan menempatkannya dalam perspektif ke depan. Visi politik Noer amat dominan dalam rancang bangun kembali anatomi peristiwa sejarah perpecahan umat Islam lewat aktualisasi politik partai Islam kurun tersebut. Kerangka permasalahan memang menjadi jelas, tapi nuansa politik yang muncul di sela-sela perpecahan tak dapat terungkap secara semestinya. Misalnya peranan integratif dari tokoh muda seperti Subchan Z.E. (NU) dan M.Ch. Ibrahim (PSII) pada akhir era Demokrasi Terpimpin, tak banyak disinggung. Kedua politikus muda Islam itu dengan caranya sendiri berusaha membangun kembali solidaritas Islam dimulai dengan angkatan mudanya. Berdirinya Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami) pada 1964 tak dapat dilepaskan dari peran Subchan Z.E. Dan ia sendiri menjadi ketua yang pertama wadah tunggal intelektual muslim itu. Sedang M.Ch. Ibrahim, di samping Jusuf Hasjim (NU), adalah tokoh penggerak demonstrasi solidaritas Islam. Tokoh-tokoh muda itu adalah bukan orang yang antipati terhadap tokoh senior Islam seperti M. Natsir bahkan mungkin sebaliknya. Perpecahan umat Islam jika ditelusuri mempunyai akar pada sejarah masa prapenjajahan. Seperti diketahui, Partai Syarekat Islam mempunyai masa jaya yang singkat (1912-1916). Perpecahan yang timbul akibat infiltrasi komunis pada 1921, ternyata diikuti perpecahan lain antara sesama Islam, yaitu hubungan yang tak serasi antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Wafatnya H.O.S. Tjokroaminoto pada 1934 merupakan eskalasi perpecahan dengan keluarnya tokoh-tokoh penting SI yang kemudian mendirikan Gerakan Penyedar oleh H. Agus Salim dan Partai Islam Indonesia oleh Dr. Sukiman. Mereka yang tergabung dalam wadah baru itu kemudian menjadi teras pemimpin partai Masyumi yang berdiri pada 7 November 1945, yang waktu itu diniatkan sebagai wadah tunggal politik bagi umat Islam. Kesamaan aspirasi politik tak dengan sendirinya menjadi ikatan yang kuat bagi adanya persatuan. Karena persatuan politik memerlukan dukungan para pelaku yang memiliki etos persatuan. Etos persatuan adalah "jimat" yang harus dicari dari tradisi politik sejarah perjalanan umat yang bersangkutan. Di sepanjang sejarah Nusantara, belum ada otoritas politik Islam yang mempersatukan kawasan ini. Tidak Kerajaan Demak, dan juga tidak Pajang. Kerajaan-kerajaan Islam lain mempunyai kawasan pengaruh lokal, atau sedikit lebih luas dari itu. Karena itu, umat Islam secara utuh amat sulit mengidentifikasikan dirinya pada satu kelembagaan politik. Masalahnya tak terletak pada perbedaan mazhab -- secara mazhabiyah pendukung NU dan Perti mempunyai "aliran" sama -- atau pada keanekaragaman etnisitas, karena dalam kasus Masyumi, kubu Natsir juga didukung tokoh-tokoh Jawa dan kubu Sukiman mendapat sokongan tokoh-tokoh Sumatera. Sehingga dapatlah dimengerti kalau dalam Pemilu 1955 adanya empat parpol Islam yang ikut berkontes masih dirasa kurang banyak. Terbukti dengan munculnya Partai Politik Tarekat Islam (PPTI) dan Aksi Kemenangan Umat Islam (AKUI) yang berlambangkan huruf "Alif". Dan kedua kontestan itu masing-masing mampu meraih satu kursi di Sumatera Tengah dan Jawa Timur. Spektrum politik slam masih dapat diperlebat dengan memasukkan varian didirikannya Jamiatul Muslimin pimpinan Sabilal Rasyad yang bergabung dalam PNI. Sayang, dan segi penganalisaan Noer tak masuk sampai ke sini. Sehingga buku yang ditulisnya, dari segi ini, menjadi karya yang lahir di bawah "kapasitas terpasang" intelektual sesungguhnya yang dimilikinya. Perpecahan membuat partai-partai Islam terjerat pada kekinian, seluruh waktu tercurah untuk memikirkan soal intern atau hubungan sesama mereka -- di samping masalah kenegaraan. Masa depan partai yang terletak pada pengaderan diabaikan. Dengan tepat Noer menggambarkan, "Dua puluh tahun sesudah revolusi, umumnya para pemimpin yang sama dalam partai Islam masih mempunyai kedudukan yang kuat. Bagi Masyumi keadaan ini masih terlihat sesudah ia bubar para pemimpin yang sama menjadi pusat jala pumpunan ikan bagi para simpatisan mereka. Memang benar bahwa gejala ini umum terdapat di mana-mana seperti yang terungkap pada kata-kata the iron law of oligarchy (hukum besi oligarki), tetapi ini berarti juga bahwa sistem pengaderan tidak berjalan dengan baik. Padahal, suatu partai politik hanya akan lebih berhasil bila ia mampu membentuk kader yang menjaga kelestarian ide dan perjuangan" (halaman 545). Tetapi Isa Anshary dengan tajam mengingatkan, "Djikalau kita memindjam utjapan Natsir jang bersajap itu bahwa pemimpin adalah memegang untuk melepaskan, kita tidak melihat dalam perdjalanan kehidupan Masjumi selama ini. Patah tak tumbuh, hilang tak berganti. Kadervorming sama sekali tidak dilakukan" (Majalah Daulah Islamyah No. 11 Th. I, November 1957). Deliar Noer, dengan baik telah menyibak sebuah masa lalu. Terpulang pada generasi kini untuk secara arif menarik pelajaran bagi masa mendatang. Ridwan Saidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus