Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Prospek yang kedodoran

Jakarta : ui-press, 1987 resensi oleh : praginanto.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKONOMI INDONESIA, GAMBARAN DAN PROSPEK 1987/88 Oleh: Moh. Arsjad Anwar, Sri-Edi Swasono (et.al.) Penerbit: UI-Press, Jakarta 1987, 299 halaman SEKELOMPOK ahli ekonomi UI berkumpul di Cisarua, Jawa Barat. Mereka berdebat, melupakan sejuknya udara pegunungan. "Apa yang bakal terjadi di tahun anggaran 1987-88?" Itulah pangkal soal yang menelurkan buku ini. Mcnarik. Hampir tak ada sedikit pun celah ekonomi yang lolos dari kajian. Kasus demi kasus diikat dalam simpul analisa yang tak hanya bersifat teoretis, tapi juga praktis. Ada satu kata kunci yang harus diyakini sebagai etos dalam upaya mengatasi kelesuan ekonomi. Yaitu "terobosan", tulis Sri Edi Swasono dan Toto Wijayanto. Tapi, ingat, jangan perlakukan kata itu sebagai mitos belaka. Kedua ekonom kondang FE UI itu melihat etos sebagai persepsi dan harapan pada serangkaian kenyataan pelik, yang langsung terkait pada keputusan-keputusan para pelaku ekonomi dalam gerak investasi, pembelanjaan, serta mobilisasi dana dan daya pembangunan. Memotongi jalur-jalur birokrasi memang tengah dilakukan pemerintah dengan bersemangat. Tapi, sayang, ketergantungan dan saling ketergantungan struktural pada dunia internasional -- ekonomis dan non-ekonomis -- masih terlalu mencengkeram. Bahkan resesi ekonomi dunia, yang sudah mulai sehat, secara obsesif masih jadi kambing hitam sehingga menutupi banyak kenyataan lain dan melumerkan kebijaksanaan yang kreatif. Sementara itu, di mata internasional Indonesia juga mempunyai kedudukan unik. Menurut The Economist, Desember 1986, negeri kita masih masuk jajaran "negeri semrawut" (countries in trouble), yang dalam susunan peringkat baru mampu parkir di kelompok high risk bersama Meksiko dan Filipina. "Tentu saja penilaian itu meragukan," kata Sri Edi Swasono. Tapi para pemilik uang di negeri seberang agaknya memiliki jawaban sendiri "Indonesia secara politis sangat stabil, tapi secara ekonomis . . . maaf," ujar seorang pengusaha asing. Majalah keuangan terpercaya dari AS, Institutional Investor, mendudukkan Indonesia di peringkat 43 dari 109 negeri yang terdaftar. "Kelaikan Indonesia dalam memperoleh kredit masih cukup baik," komentar kedua ekonom UI itu. Kalau terjadi penyusutan modal yang masuk, itu kecenderungan arus modal saat ini, yaitu pemiliknya lebih suka menanamnya di negeri maju. Arsjad Anwar dan Iwan Jaya Azis -- juga menulis dalam buku ini -- melihat peluang menarik dari segi pengerahan dana masyarakat. Pajak Pertambahan Nilai, yang tahun lalu mengambil porsi 32% dari seluruh penerimaan pemerintah, diramalkan akan naik 25%. Perolehan dari pajak ekspor diramalkan juga akan naik, lantaran kenaikan ekspor minyak dan gas bumi yang cukup berarti. Apalagi harga kedua komoditi ekspor itu maslh diandalkan untuk menyumbang 40% dari seluruh pendapatan. Penerimaan nonpajak dari BUMN juga tak kalah menarik. Seperti diramalkan oleh Bank Dunia, harga beberapa komoditi utama bakal naik. Antara lain nikel, aluminium, tembaga, hasil perkebunan. Kalau dibarengi upaya efisiensi oleh perusahaan pemerintah itu, tak mustahil penerimaan nonpajak akan lebih baik dari tahun lalu, yang mencapai Rp 1,05 trilyun. Bila berbagai gambaran itu terwujud, dana yang dicadangkan di kantung pemerintah akan bisa melampaui pengeluaran pembangunan APBN yang direncanakan Rp 7,76 trilyun. Tapi ulasan dua ekonom itu, "Sudah hampir dapat dipastikan, realisasi pengeluaran pembangunan akan lebih besar." Artinya, laju pertumbuhan ekonomi tahun ini tak merosot. Hanya saja, pemerintah agaknya harus bertindak hati-hati dalam soal pajak, kendati telah mencatat keberhasilan meyakinkan. Seperti diungkapkan Soemarso S.R., strategi perpajakan jangka pendek malah akan bisa destruktif. Target-target yang tinggi, bila tak disertai perluasan basis yang memadai, justru akan merunyamkan suasana. Beban target itu akan bertumpuk pada wajib pajak yang sudah terjaring. Soal pembatasan impor, yang terus meningkat, juga bisa berdampak runyam, kendati cukup efektif untuk menghadapi ketidakpastian di sektor ekspor, kurs, dan penarikan modal asing. Masalahnya, menurut Anwar Nasution, ia telah menciptakan tingkat perlindungan efektif yang berbeda antara cabang industri dan sektor ekononomi. Misalnya sektor industri makanan kaleng sangat terpukul oleh mahalnya kemasan, sehingga kehilangan daya saing di pasar internasional. "Padahal, industri ringan semacam itu justru mempunyai nilai yang lebih tinggi, karena menyerap tenaga lebih banyak dan menghasilkan serta menghemat devisa lebih besar daripada kebanyakan industri substitusi impor," demikian tulisnya. Sedang Darmin Nasution dan Soekarno malah melihat, dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi akan terus dibuntuti oleh kenaikan impor, karena masih didominasi barang modal dan bahan baku penolong. Alasannya, ekspor hasil pengolahan kayu, besi/baja, tekstil, dan pupuk akan meningkat. Padahal komoditi-komoditi tersebut membutuhkan bahan baku impor, sementara pemeliharan dan perluasan fasilitas produksinya masih tergantung luar ngeri. Sayang, 18 ekonom UI yang terlibat dalam buku ini lebih banyak berbicara panjang lebar tentang data tahun-tahun sebelumnya, sehingga masalah "prospek" yang jadi topik pembicaraan jadi kedodoran. Ulasan yang hanya berbicara soal data dan rekomendasi juga tak kalah mengganggu. Meski begitu, buku ini layak dibaca. Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus