Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nirkata dalam pilihan pendengar

Niniek l. karim, pemain tunggal yang memerankan duma. sebuah teater dengan judul pilihan pendengar, adaptasi wunschkonzert karya franz zaver kroetz. disutradarai manuel lutgenhorst, asal jerman.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH setting aneh untuk sebuah sandiwara yang tak lazim. Di halaman tengah rumah Gang Langgar, Jakarta Selatan, itu penonton duduk bersaf di kursi lipat, di tepi kolam renang. Di seberang kolam, ada sepetak halaman berumput, tempat penonton lain bersila, langsung menghadap pentas. Di ruangan lain, di belakang barisan kursi penonton, tersaji hidangan, siap disantap seusai pertunjukan. Dalam tatanan itulah, selama tiga malam awal pekan lalu (malam terakhir tanpa santap), disuguhkan adaptasi Wunschkonzert karya Franz Zaver Kroetz, dengan judul Indonesia Pilihan Pendengar. Sutradaranya Manuel Lutgenhorst, seorang art director asal Jerman yang banyak mencari makan di Amerika Utara. Produsernya PPP (New York) dan Condet (Jakarta), nama-nama yang tak terlalu "berbunyi" di sini. Pemain tunggalnya Niniek L. Karim, psikolog dan aktris yang tahun kemarin menerima Piala Citra sebagai pemeran pembantu wanita terbaik. Dan malam pun jatuh. Duma, yang diperankan Niniek, baru pulang dari apotek tempatnya bekerja. Wajahnya lesi, sosoknya letih. Dia membuka pintu, memasuki pavilyun kontrakan bersekat tiga, dan mengeluarkan barang bawaannya Antara lain koran Pos Kota. Dan mulailah silent acting, dan permainan tunggal itu sebuah teater nirkata sepanjang 100 menit. Kita menonton Duma menjerang air, menyeduh dan menyantap supermi, mencuci gelas, beberapa kali "ke belakang", menyetel dan mematikan pesawat TV, menyetel siaran Pilihan Pendengar di radio, menyulam, dan seterusnya. Pada akhir babak, Duma menimbang-nimbang untuk menelan beberapa butir alium. Semuanya urut, sangat realistis. Dan dingin. "Lakon yang amat liris dan mengajak orang berpikir," kata Manuel. Setumpuk kata-kata besar memang dijejalkan dalam pengantar: "... perlu ditekankan bahwa lakon ini bukan semata-mata sebuah studi psikologis tentang seorang wanita yang terpencil, tetapi sekaligus dia juga berbicara tentang dunia yang membentuk dirinya. Setiap gerak dan tindakannya ... bisa dikaitkan dengan konsumerisme, iklan, dan teknologi." Kemudian, "Yang penting, lakon ini tampil dalam konteks budaya masyarakat setempat masa kini." Kita tak tahu sebesar apa misi di balik sandiwara ini. Kita juga akhirnya tak paham, sedalam apa sang sutradara menukik ke lubuk "budaya masyarakat setempat masa kini". Ada kesepian, ada alienasi, memang. Tapi, tak terasa teror konsumerisme, iklan, dan teknologi itu. Lagi pula, masih relevankah menghadap-mukakan keterasingan dengan sejumlah fenomena zaman yang pada akhirnya tak bisa disanggah secara obyektif? Duma akhirnya tokoh yang tak jelas. Dari benda-benda panggung kita mencoba menyimpulkan: Katolik, sebatang kara, terpasung pada suatu malam Minggu (ada ucapan "selamat bermalam panjang" lewat Pilihan Pendengar di radio). Dan pada puncak kesepiannya tergoda untuk menelan obat penenang. Dia korban sebuah nasib tanpa juntrungan. Alienasi (keterasingan) masih digemari sebagai tema fenomenal beberapa tahun belakangan ini. Tapi akomodasinya barangkali tidak bisa disodokkan ke sembarangpenjuru. Ada batas sejarah dan kultur yang seyogyanya diperhitungkan, ada kerangka sosial yang tak selalu bisa diuniversalisasikan, apalagi dalam bentuk pengucapan yang cenderung menyimpulkan. Kroetz, penulis lakon, memang tokoh yang agak langka. Dalam usia 41 tahun, ia kini hidup menyepi di desa kecil dekat Munich, mengaku tak lagi bisa bersahabat dengan kehidupan kota. Setelah menghasilkan 40 naskah -- semuanya dalam dialek Bavaria -- aktor yang juga sutradara ini memutuskan pensiun sebagai penulis. Wunschkonzert digubahnya pada 1973, dan tiga tahun kemudian dipertunjukkan untuk pertama kali di Stuttgart. Bahwa 11 tahun kemudian lakon itu diadaptasikan di Kemang, dengan pengantar "dalam konteks budaya masyarakat setempat masa kini", itulah justru yang mengusik rasa ingin tahu kita. Manuel Lutgenhorst, 39 tahun, konon sudah menayangkan Wunschkonzert di Calcutta, Bombay, dan Madras, tahun lalu. Bulan depan ia akan tampil di Seoul, dan Januari 1988 di Tokyo. Dalam mata rantai pertunjukan ini, termasuk di Jakarta, ia didampingi Dr. Rustom Baruchi, dramaturg dari Calcutta. Pada malam panjang di Kemang itu, sebuah ironi berhasil muncul. Kita jadi sangsi akan keterasingan Duma. Yang lebih terasa adalah keterasingan kita dengan Duma, yang dilunta-luntakan sutradara melalui nasib yang dipaksakan. Kita mengalami kesulitan mengidentifikasikan Duma dengan akar sosial di sekitar "budaya masyarakat setempat masa kini" itu tadi. Salah seorang penyelenggara pertunjukan memang menjelaskan, "Ini adalah sebuah tatapan ke masa depan." O, sebuah teater prediksikah gerangan? Itu pun sulit dicerna. Dengan akselerasi ilmu dan teknologi yang berlipat setiap saat, masih layakkah sebuah nujum untuk menjawab kebutuhan masa kini ? Permainan Niniek sendiri sulit dievaluasi. Dalam bentuk yang demikian "nyata", Niniek dan Duma jadi baur, kecuali dalam beberapa momen kecil. Ia muncul tanpa rias, tanpa busana "drama", tanpa upaya eksplorasi vokal sebab ini memang sandiwara bisu. Bukan saja bisu, sebetulnya, tetapi juga sebuah sandiwara yang bukan sandiwara. Lalu, hikmah apa yang kita dapat? Paling tidak, satu hal bisa diketahui: kita masih sering dipahami secara amatiran. Kali ini, pemahaman itu dikemas dalam paket "teater" yang mengambil jarak, kendati niat ingsun-nya merakyat-rakyat, menjelata-jelata, memproblem-problem. Sebuah teater urban di Kemang nan tenang -- bayangkan. Seporsi tontonan keterasingan dari seberang zwembad dan meja panjang penuh hidangan. Semuanya sah belaka, termasuk pertanyaan: Adakah Duma bagian dari hari-hari kita, bagian dari kesadaran kultur dan sosial kita? Jawaban, mestinya, datang dari Manuel, atau Rustom, yang bertandang ke sini sehari dua, lalu mengajak kita menikmati buah tangannya. B.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus