Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini suku Asmat di Papua sangat bergantung pada konsumsi beras melalui program bantuan beras untuk orang miskin. Begitu juga banyak daerah lain. Ketergantungan pada beras bisa menyebabkan krisis pangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, kebijakan pangan pokok yang masih terkonsentrasi pada beras membuat ketergantungan pada komoditas tersebut tetap tinggi. Padahal, selain beras, masyarakat Indonesia memiliki banyak varian makanan pokok. Menurut Ari Ambarwati, penulis Nusantara dalam Piringku, Nusantara memiliki 77 bahan tanaman berkarbohidrat yang bisa dikonsumsi sebagai makanan pokok. Tanaman tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari 77 varian tanaman itu, masyarakat Indonesia hanya mengenal beberapa, di antaranya adalah jagung, umbi-umbian, sagu, pisang, dan sorgum yang sudah dikonsumsi sebagai pangan pokok utama dari generasi ke generasi sebelum padi dikenal belakangan. "Fakta ini menunjukkan bahwa potensi bahan pangan yang ada di wilayah Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber pangan," demikian penjelasan Ari (hlm. 2).
Nasionalisasi beras yang dilakukan pemerintah pada 1990-an bisa menyebabkan krisis pangan. Ari mengutip pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, yang menyebutkan bahwa suku Asmat di Papua saat ini sangat bergantung pada konsumsi beras melalui program bantuan beras untuk orang miskin (raskin). Masyarakat Asmat dulu mengkonsumsi umbi-umbian sebagai makanan pokok. Tapi kebiasaan itu bergeser sejak pemerintah mensuplai raskin pada 2003. Mereka tidak lagi mengolah pangan lokal berupa umbi-umbian. Mereka menanti jatah raskin tiba.
Masyarakat di Maluku tengah, tepatnya di Pulau Haruku, secara turun-temurun mengkonsumsi makanan pokok sagu dan umbi-umbian. Kini beras menjadi pangan pokok favorit mereka. Sementara itu, sagu mulai dikesampingkan.
Menurut Ari, perubahan pola konsumsi pangan pokok dari umbi-umbian ke beras bukan sekadar perkara berganti dari satu pangan pokok ke pangan pokok lainnya. Kosakata serta frasa yang berhubungan langsung dengan pangan pokok itu juga akan hilang. Kondisi ini mengancam keberlangsungan bahasa daerah. Bahasa Indonesia juga terganggu karena bahasa daerah merupakan salah satu lumbung pemasok kosakata bahasa Indonesia.
Tingginya "wabah" beras di Indonesia bisa dilihat dari statistik impor beras. Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa Indonesia mengimpor beras sebanyak 256,56 ribu ton dari berbagai negara. Ini mengherankan. Pasalnya, Indonesia memiliki luas lahan sagu sebesar 6 juta hektare dan 20–40 ton tepung sagu yang dihasilkan dari setiap hektarenya. Dibanding beras, sagu memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Satu juta hektare lahan sagu mampu menghasilkan 30 juta ton tepung sagu. Adapun 12 juta hektare sawah menghasilkan 30 juta ton padi saja.
Bergantung pada beras, kata Ari, juga rentan menyebabkan krisis pangan. Sebab, pasar perdagangan beras internasional sebenarnya sangat sedikit. Menurut penelitian Bank Dunia, hanya 5 persen dari produksi global beras diperdagangkan di pasar internasional. Ini mengimplikasikan bahwa harga beras rentan terhadap perubahan penawaran dan permintaan. Terlebih lagi, suplai beras internasional berasal hanya dari tiga negara eksportir beras, yaitu Thailand, India, dan Vietnam (hlm. 111).
Surya Wiyono, ahli tanaman pangan dari IPB, menyatakan wabah beras di Indonesia terjadi karena tiga faktor anomali. Pertama, pangan pokok harus beras. Kedua, beras wajib berasal dari padi sawah. Ketiga, budi daya padi wajib menggunakan pupuk dan obat kimia. Tiga faktor anomali ini menegasikan kenyataan bahwa tidak semua daerah di Indonesia sesuai dan tepat untuk budi daya padi.
Menurut Ari, beras tampaknya mulai ditinggalkan demi alasan kesehatan. Banyak bermunculan warung, kafe, dan restoran yang menyediakan menu non-beras, seperti jagung, sebagai alternatif pengganti beras putih. Alasannya, beras putih memiliki indeks glikemik senilai 86. Sementara itu, jagung senilai 62. Indeks glikemik merupakan indikator kadar gula. Masyarakat perlahan mulai meninggalkan makanan yang mengandung karbohidrat tinggi.
Kesadaran berbasis kesehatan tersebut juga harus didukung oleh kebijakan ekonomi-politik untuk mengangkat nilai varian pangan pokok lain lewat sosialisasi, promosi, pemberdayaan para petani, dan yang paling penting jaringan harga pengaman, sehingga ia dianggap komoditas yang menjanjikan.
Buku yang berasal dari penelitian ini sebenarnya diarahkan sebagai buku ajar untuk pelajaran di sekolah. Bisa dimaklumi jika analisis kritis terhadap kebijakan soal nasionalisasi beras sedikit dan tak begitu tajam. Pembaca, seusai bab pendahuluan yang agak panjang, hanya disajikan data lengkap ragam pangan pokok di Indonesia, tanpa diberi tahu ihwal solusi alternatif agar varian pangan pokok yang hampir punah itu kembali berwibawa, setara dengan beras.
Nusantara dalam Piringku
Penulis : Ari Ambarwati
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Juni 2019
Tebal : 163 halaman
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo