Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI antara negara Asia, setelah Jepang, Korea, India, dan Taiwan, Thailand adalah seekor singa baru. ”Infrastruktur perfilman Thailand sudah dibangun luar biasa dan komplet. Indonesia masih sangat tertinggal jauh,” demikian tutur Garin Nugroho suatu kali, ketika menjadi juri Festival Film Asia Pasifik ke-46 di Jakarta beberapa tahun silam.
Menurut kritikus film Thailand terkemuka Anchalee Chaiworaporn, kini industri film Thailand dikuasai tujuh studio besar. Pengertian studio di Thailand, mereka bukan hanya mendistribusikan film asing, tetapi juga membuat film lokal dan mendistribusikan filmnya sendiri.
Akibatnya, perfilman Thailand bergairah. Chaiworaporn menyebut tahun 2000-an sebagai tahun momentum kelahiran kembali perfilman Thailand akibat suksesnya film Tears of the Black Tiger karya Wisit Sasanatieng, yang dilirik Miramax Film dan dipasarkan ke Amerika.
Berikut ini perbincangan wartawan TEMPO Arif Firmansyah dengan kritikus Thailand yang sering menjadi kontributor The Nation, Anchalee Chaiworaporn, saat ia diundang menjadi pembicara seminar di Teater Utan Kayu, Jakarta.
Bagaimana kondisi perfilman Thailand sekarang?
Perkembangan film di Thailand tak bisa lepas dari kondisi yang terjadi pada 1997. Saat itu beberapa profesional periklanan masuk ke dunia film. Pen-Ek Ratanaruang, misalnya, membuat film Fun Bar Karaoke, yang sukses diputar sebagai film utama di Festival Film Berlin. Prestasi ini baru pertama kali terjadi dalam tiga dekade industri perfilman Thailand. Tak lama kemudian Nonzee Nimibutr melahirkan film Dang Bireley and the Young Gangsters. Film ini cukup sukses dan mendapat respons bagus dari penonton.
Apa yang diceritakan sutradara Nonzee Nimibutr dalam film ini?
Film ini berangkat dari kisah nyata kehidupan anak-anak muda Thailand pada tahun 1950-an. Dia memotret kembali kehidupan geng jalanan di kota besar seperti Bangkok. Meskipun film ini cerita anak-anak muda, ternyata kalangan tua juga menggemarinya. Tapi kondisi bagus film Thailand sempat suram karena terjadi krisis ekonomi pada Juni 1997.
Pada tahun 1997, kondisi film Thailand suram karena krisis ekonomi. Seberapa parah kondisi itu?
Industri film menyusut drastis. Padahal pengaruh dua film tadi sangat besar. Bahkan tradisi Thailand dikenal dunia internasional bermula dari dua film itu. Namun kondisi buruk itu segera lewat. Nonzee dan Pen-Ek kembali membuat film bagus yang segera membuka mata orang tentang film Thailand. Pen-Ek membuat film berjudul 6ixtynin9 dan menjadi film produksi Thailand pertama yang menarik minat produser asing, Fortissimo Film. Film ini bercerita tentang kehidupan masyarakat modern Bangkok ketika dilanda krisis ekonomi. Sedangkan Nonzee melahirkan karya fenomenal Nang Nak.
Jadi perkembangan film Thailand saat ini karena dampak positif Pen-Ek dan Nonzee?
Sebenarnya bukan mereka. Kita juga harus memperhitungkan peran Danny dan Oxide Pang, dua sineas Hong Kong yang menggarap film laga Bangkok Dangerous. Selain itu harus disebut juga adalah Wisit Sasanatieng, yang membuat film Fah Talay Jone. Karya Wisit memang bagus, tapi dia mencapai prestasi gemilang ketika membuat Tears of the Black Tiger pada tahun 2000. Tahun itu saya sebut sebagai momentum kelahiran kembali film Thailand. Film Tears… bukan hanya digemari masyarakat Thailand, tapi juga mendapat pujian dari pengamat film asing yang dianggap bisa dijadikan gambaran salah satu sisi kehidupan masyarakat Thailand. Puncaknya pada tahun 2000 film ini dibeli oleh Miramax untuk dipasarkan di Amerika. Prestasi Tears of the Black Tiger ini memperkenalkan film Thailand kepada dunia internasional.
Kabarnya, setelah dibeli Miramax, film itu diubah bagian akhirnya?
Benar. Akhir cerita film ini memang tragis. Pahlawan yang seharusnya tetap hidup digambarkan mati. Nah, bagian ini yang dianggap kurang pas kalau dipasarkan di Amerika, karena waktu itu masyarakat Amerika masih trauma dengan tragedi 11 September pengeboman menara kembar WTC. Pihak Miramax meminta Wisit dan produser film datang ke Los Angeles, Amerika, untuk mendiskusikan bagian akhir cerita. Kata mereka, masyarakat Amerika kurang suka dan bahkan tidak bisa menerima film sad ending. Setelah diyakinkan, akhirnya memang berubah dari sad ending menjadi happy ending. Si pahlawan dibiarkan hidup begitu saja. Cara ini tentu saja mengikuti selera film Hollywood.
Bagaimana dengan film Nang Nak, yang sangat terkenal sampai ke luar Thailand?
Film itu memang bagus dan menjadi film terlaris di Thailand untuk beberapa lama di gedung bioskop utama. Bahkan beberapa rekor diciptakan karena sukses itu. Daya tarik film ini bukan sekadar cerita sederhana yang berangkat dari legenda yang hidup di tengah masyarakat. Nonzee mampu memanfaatkan kejeliannya sebagai bekas sineas periklanan untuk menarik minat penonton. Sebagai orang yang lama di industri televisi komersial, dia tahu sisi mana yang kira-kira menarik minat penonton.
Sebagian penonton menganggap Nang Nak sebenarnya kisah nyata?
Cerita ini hanya legenda atau folklor dan bukan kisah nyata. Hampir semua orang Thailand mengenal legenda hantu Nak ini. Jika Anda datang ke Thailand dan bertanya mereka tentang hantu Nak, niscaya mereka akan menjelaskan secara detail. Nak adalah nama orang, sedangkan Nang adalah sebutan untuk perempuan. Kisah ini memang dekat dengan masyarakat. Jangan heran jika film ini sudah ditayangkan di televisi dan bioskop lebih dari 20 kali sampai sekarang.
Selama ini yang dikenal masyarakat internasional tentang film Thailand adalah film komersialnya. Apakah film independen juga mengalami perkembangan sebaik film komersial ini?
Film independen biasanya film berdurasi pendek sekitar setengah jam. Memang ada orang yang membuatnya, tapi terlalu sedikit untuk dibicarakan. Karya mereka juga tidak ada yang menjadi fenomena. Apalagi belum ada yang sanggup berprestasi bagus dalam festival. Ini berbeda dengan film komersialnya.
Mengapa tema film Thailand tidak pernah jauh dari hantu, misteri, dan horor?
Mayoritas film Thailand memang horor dan komedi. Tapi memang ada tema lain meski tidak banyak. Dari berbagai festival film yang ada, film horor Thailand memang mendapat perhatian berbeda. Orang semakin yakin bahwa soal hantu merupakan bagian dari tradisi masyarakat Timur. Sebagian produser mengatakan kepada saya bahwa tema ini tidak bisa masuk ke logika tradisi Barat. Kalau film komedi memang banyak meski tidak sebanyak film horor. Film komedi ini lahir setelah terjadi krisis ekonomi sebagai bentuk sentimen masyarakat terhadap tradisinya. Sesuatu yang telah lalu, misalnya keberadaan IMF, bisa diangkat sebagai cerita komedi. Tapi memang tidak sepopuler film horor. Film horor tetap nomor satu dan film komedi cukup nomor dua, dan nomor tiga film tentang transeksual seperti kisah gay dalam film The Iron Ladies.
Apakah tidak menimbulkan persoalan dengan badan sensor film?
Masalah sensor selalu menjadi persoalan setiap tahun karena urusannya menjadi sangat politis. Bukan hanya dari pemerintah, tapi sebagian masyarakat yang belum satu kata tentang apa itu pemandangan seksual dalam film. Sekitar 13 tahun lalu soal ini sudah pernah ramai. Waktu itu jangan harap bisa melihat dada perempuan ada di film.
Siapa yang melakukan sensor?
Ada sebuah badan sensor yang disupervisi langsung oleh departemen kepolisian. Persoalan mendasar bukan lembaga apa yang melakukan sensor, tapi aturan sensor itu yang tidak jelas kriterianya. Di satu film payudara perempuan boleh diperlihatkan. Di film lain bisa dilarang. Jadi memang tidak ada konsistensi batasan mana yang boleh dan tidak dalam hal ini. Aturan ini yang tengah kita perjuangan agar ditinjau kembali. Ada juga beberapa soal tabu yang hampir pasti dilarang untuk difilmkan, seperti soal agama. Masyarakat Thailand sangat peka untuk masalah yang satu ini. Tema lain adalah politik dalam kehidupan masyarakat monarki. Tema tadi berlaku kasus per kasus dan berkembang sesuai dengan tuntutan keadaan.
Kenapa tema politik bisa disensor?
Anda harus bisa memahami struktur masyarakat Thailand yang bertransisi dari absolut monarki menuju negara demokrasi pada tahun 1932. Transisi bentuk negara itu masih menyisakan perasaan yang beragam di antara masyarakat. Intinya, jangan menyentuh soal politik dalam film karena hampir pasti disensor. Tapi aturan sensor untuk adegan seks bisa fleksibel.
Berapa film diproduksi setiap tahun?
Kalau melihat data tahun lalu sekitar 48 judul film. Ini belum termasuk serial di televisi yang jumlah bisa lebih banyak. Jumlah produksi ini memang menggembirakan. Banyak orang tertarik membuat film karena biaya produksi bisa ditekan seminimal mungkin. Ada satu judul film yang dibuat dengan anggaran hanya US$ 2.000. Tapi ada juga yang sampai jutaan dolar, seperti The Legend of Suriyothai, yang mencapai US$ 10 juta. Meski mahal, bagi saya film ini tidak lebih dari film propaganda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo