Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menguras Kemih Sang Bunda

Sisa urine di kandung kemih pasca-persalinan bisa berbahaya bagi ibu. Terapi simultan akan sangat membantu dari segi kesehatan dan biaya.

27 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memandangi anak pertamanya yang baru lahir tujuh jam sebelumnya, senyum Ruki Dwi Ewangga tak pernah henti. Perempuan 24 tahun ini begitu gembira karena kini resmi menjadi seorang bunda. Memang proses kelahiran sempat agak sulit. Tapi dia bersyukur karena akhirnya bisa melahirkan secara normal. "Mengejannya memang agak lama, sejam lebih," kata Ruki di salah satu ruang rawat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Senin pertengahan Juli lalu.

Sesaat seorang dokter masuk ke ruang perawatannya untuk mengukur residu urine dalam kandung kemih ibu muda itu. "Buang air kecil dulu sampai maksimal ya, Bu," ujarnya. "Nanti diukur sisanya."

Rupanya, proses persalinan yang lama membuat Ruki berpotensi mengalami retensio urine. Apalagi sebelumnya ada tanda lain bahwa dia berpeluang terkena gejala medis yang jika tak segera diatasi bisa membahayakan tersebut. Dokter kini terus memantau Ruki dengan mengukur sisa urine yang tertinggal di kandung kemih.

Retensio urine pasca-persalinan merupakan ketidakmampuan kencing secara spontan, atau dapat berkemih spontan, tapi masih meninggalkan sisa urine lebih dari 200 mililiter enam jam setelah melahirkan. Ini hampir setara dengan air mineral kemasan gelas. Jumlah tersebut jauh melebihi residu urine dalam keadaan normal, yang tak lebih dari 50 mililiter setelah kencing.

Jika tak segera dikeluarkan, urine akan terus berkumpul dan membuat dinding kandung kemih meregang. Akibatnya, ibu bakal merasa tegang, tak nyaman, gelisah, dan mengalami nyeri tekan pada tulang panggul. Ada pula ibu yang mengalami perasaan seperti ingin berkemih tapi tak kunjung keluar. Atau sesekali bisa berkemih tapi merasakan nyeri seperti terbakar pada bagian vagina.

Tak cuma membuat tersiksa, masalah ini bahkan bisa mengancam jiwa ibu. Penyebabnya tumpukan urine akan bercampur ke dalam darah dan meracuni tubuh. Sudah ada contohnya, yakni seorang pasien meninggal pada November 2001 karena tak mampu mengeluarkan air kencing.

Pada perempuan yang melahirkan secara normal, retensio urine bisa terjadi lantaran beberapa hal, di antaranya kandung kemih melar setelah ibu mengeluarkan sang bayi dari rahim. Saat hamil, kandung kemih yang terletak sedikit di atas rahim tertekan karena rahim membesar. Ini membuat urine lebih sering keluar. Nah, saat jabang bayi keluar, tekanan ini hilang sehingga membuat kandung kemih mengembang.

Selain itu, retensio bisa terjadi karena refleks kram pada klep saluran kencing yang dipicu oleh efek psikologis. Penyebabnya ibu mengalami ketakutan terhadap proses persalinan ataupun saat penjahitan. Penyebab lain, bisa jadi saat persalinan terjadi tekanan pada kandung kemih sehingga melukai dan mengakibatkan kelumpuhan sementara.

Jumlah mereka yang mengalami kasus semacam ini tak bisa diremehkan. Dari penelitian di Rumah Sakit Cipto pada 1996, ada 14,8 persen kasus retensio pada ibu bersalin. Pada penelitian 2003-2004, angkanya jauh lebih besar, yakni 26,7 persen kasus ibu yang mengalami retensio.

Meski angkanya cukup tinggi, dokter spesialis obstetri dan ginekologi Suskhan mengatakan retensio urine sering kali terlambat diprediksi. Pasien terkadang tak menyadari dirinya mengalami retensio karena merasa masih bisa berkemih. Padahal sisa urine yang tak dikeluarkan masih banyak. Walhasil, mereka biasanya baru datang kembali ke rumah sakit setelah perutnya tak nyaman—sekitar tiga hari sampai satu bulan pasca-persalinan. Saat itu tentu urine sudah menumpuk dalam perut. "Ada yang tumpukannya 3 liter, bahkan 4 liter," ucapnya.

Untuk mengantisipasi hal semacam ini, Suskhan meneliti indikator retensio pada ibu yang melahirkan secara normal. Kepala Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto ini menggabungkan kombinasi faktor risiko, gejala, dan tanda klinis yang dialami para ibu seusai persalinan. Semuanya ada lima indikator yang dia teliti: usia ibu, paritas, lama kala II, robekan jalan lahir, dan volume urine kala III.

Usia ibu dipatok pada angka 25 tahun. Menurut Suskhan, pada usia di bawah itu, kemungkinan terjadi retensio urine lebih besar karena kesiapan fisik ibu lebih rendah dibanding usia di atasnya. Sedangkan paritas merupakan jumlah persalinan yang pernah dijalani ibu. Kemungkinan terjadinya retensio lebih besar pada persalinan pertama.

Lama kala II, kata Suskhan, adalah waktu persalinan dihitung mulai dari mengejan hingga bayi lahir. Jika waktunya lebih dari 20 menit, kemungkinan retensio akan lebih besar. Sedangkan robekan jalan lahir merupakan luka yang terjadi di daerah antara vagina dan anus akibat melahirkan secara alami. Semakin luas robekan, kemungkinan retensio semakin tinggi.

Adapun volume urine kala III merupakan jumlah urine yang bisa keluar secara spontan ditambah sisa urine yang diukur dengan kateter. Volume ini diukur antara rentang waktu setelah bayi lahir dan sebelum plasenta lahir.

Dari hasil perhitungannya, tiap kombinasi faktor risiko ini diukur dengan skor yang berbeda. Usia diberi skor 14, paritas 20, lama kala II 15, robekan jalan lahir 13, dan volume urine kala III dengan skor 10. Ibu yang melahirkan normal kemudian diperiksa dengan skor ini. Jika nilainya lebih dari 28, potensi terjadi retensio besar.

Ruki, misalnya, mendapat skor 49. Jumlah ini didapat dari perhitungan umurnya yang belum mencapai 25 tahun, melahirkan anak pertama, dan lama mengejannya lebih dari 65 menit. "Makanya harus dipantau karena berpotensi mengalami retensio," kata Suskhan.

Pengukuran volume urine itu tak cuma dilakukan pada enam jam pertama setelah melahirkan, tapi juga enam jam setelahnya sampai dalam rentang waktu 24 jam.Jika ibu mengalami retensio, terapi simultan akan segera diberikan. Antara lain dengan memberikan obat analgetik dan antibiotik serta meminta pasien banyak minum untuk memancing urine keluar. "Sehingga 24 jam setelah melahirkan dia bisa pulang dengan bayinya," ujarnya.

Program scoring itu sudah dilakukan dalam sebulan terakhir di RSCM. Hasilnya, dalam jangka waktu tersebut, belum ada ibu yang melahirkan secara normal di sana mengalami retensio.Tapi, di rumah sakit lain, dokter masih menggunakan cara lama. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi Frizar Irmansyah, yang berpraktek di Rumah Sakit Pusat Pertamina, misalnya, mengatakan pemantauan hanya dilakukan pada mereka yang proses melahirkannya menggunakan alat seperti vakum. Perangkat ini memang berpotensi menimbulkan luka.

Selain itu, mereka yang proses melahirkannya lama (lebih dari 24 jam) atau yang terlalu singkat (kurang dari 30 menit) dipantau. Alasannya, melahirkan lama menyebabkan jalan lahir membengkak. Sedangkan terlalu singkat bisa membuat terjadinya robekan. Untuk mengatasinya, dokter biasanya memasangkan kateter agar urine tetap bisa keluar.

Ketua Pengurus Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Cabang Jakarta ini mengatakan kebanyakan retensio terjadi akibat pasien tak mau buang air kecil lantaran takut sakit karena ada luka bekas jahitan. Maka mereka memilih menahan pipis. Untuk pasien semacam ini, dokter hanya perlu melakukan edukasi pentingnya segera mengeluarkan urine dua jam setelah melahirkan.

Ya, para ibu kadang alpa hal sepele bisa berakibat serius. Retensio akibat enggan pipis bisa berbahaya, bahkan mengancam jiwa. Setidaknya juga bisa mengancam tabungan keluarga. Menurut Suskhan, jika ibu terhindar dari gejala ini, keluarga akan bisa menghemat pengeluaran hingga sekitar Rp 20 juta. Maklum, biaya perawatan untuk pemulihan akibat retensio bisa mencapai Rp 6-22 juta. Lumayan banyaklah.…

Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus