Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Angasraya dan Mata Pedih Laut

Enam puluh fotografer mengeksplorasi segala hal tentang laut. Mata mereka masih didominasi oleh sejumlah segi kekalahan laut kita.

21 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam bulan sekali, menurut perhitungan kalender Bali, umat Hindu di Bali utara melakukan upacara memanggil perahu-perahu imajiner. Pada masa silam, banyak pedagang dari penjuru dunia datang ke pelabuhan Bali utara.

Fotografer Anggara Mahendra menyajikan jepretan ritus pemanggilan perahu imajiner di Pura Negara Gambur Anglayang di Kubu Tambahan, Buleleng, Bali Utara. Karyanya dapat kita saksikan di Vision International Image Festival 2013 di Denpasar dan Gianyar. Festival foto ini disebar di beberapa lokasi di Danes Art Veranda, Bentara Budaya, Maha Art Gallery, dan Street Art Gallery. Ini adalah pergelaran yang mempertemukan 60 fotografer untuk menggali kehidupan maritim Nusantara.

Pura Negara Gambur Angkayang adalah pura yang unik. Pura dari abad ke-13 ini memiliki delapan altar persembahyangan bagi dewa-dewi aneka bangsa. Altar Ratu Bagus Sundawan adalah peribadatan suku Sunda; Ratu Bagus Malayu (Melayu); Ratu Ayu Syahbandar; Ratu Manik Mas untuk warga Cina dan Buddha; Ratu Pasek, Dwi, dan Ratu Gede untuk komunitas Hindu; serta altar Ratu Gujarat untuk masyarakat Islam. Keberadaan altar ini menyajikan fakta bahwa Kubu Tambahan merupakan daerah persilangan perdagangan internasional sekaligus menjadi pintu masuk Bali.

Pameran ini bertolak dari konsep Anga­sraya yang dirumuskan oleh Empu Prapanca di masa Majapahit. Angasraya bisa diterjemahkan sebagai kesadaran untuk menjadikan laut tumpuan bagi kejayaan bangsa. Selama ini Majapahit dikenal sebagai negara agraris. Padahal kata Angasraya adalah kata kunci, yang menjelaskan betapa sesungguhnya Majapahit negara yang berwawasan maritim. Konsep Angasraya diyakini sebagai kunci rahasia mengapa Majapahit mampu menjelajahi samudra untuk mempersatukan Nusantara.

Membaca laut dari candi juga dilakukan oleh Komunitas Fotografi Lubang Jarum Indonesia. Mereka menjadikan Candi Batujaya di Karawang, Jawa Barat, sebagai obyek bidikan. Candi dari masa Kerajaan Tarumanagara itu menjadi saksi ledakan kemarahan Gunung Krakatau. Teknik lubang jarum yang hanya memberi sedikit celah untuk merekam obyek dari sudut yang terbatas justru membuat tampilan visual mampu menyeret imajinasi ke dalam atmosfer masa silam.

Foto laut dari berbagai sisi selanjutnya dieksplorasi di sana-sini. Tema nelayan adalah sesuatu yang tak terhindarkan agaknya. Namun pameran ini mampu menghasilkan jepretan di luar dugaan. Misalnya foto-foto ekstrem kehidupan pemburu kelelawar di tebing-tebing samudra. Juga foto-foto ekstrem kehidupan perompak.

Selain itu, ada rangkaian foto Rahmad Gunawan merekam kondisi pantai dan masyarakat Nias yang pada 2004 disapu oleh tsunami. Di lain sisi ada foto ironis mengenai wisata Raja Ampat, Papua. Tempat ini kini menjadi incaran turis, tapi ramainya kehidupan di pantai membuat sampah menyusup ke laut. Ada juga foto yang berkisah tentang kehidupan anak-anak pekerja di jermal yang sarat penderitaan. Para fotografer Bali seperti Piping juga menyajikan kehidupan dunia surfing.

Mengubah cara pandang terhadap laut sendiri bukanlah hal yang mudah. Menurut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja, kesadaran ruang bangsa ini sudah terlalu lama dicengkeram dalam pikiran agraris. Bahkan termasuk orang-orang yang tinggal di wilayah laut. "Suatu kali saya buat lomba menggambar pemandangan pada anak-anak di Kepulauan Seribu, ternyata mereka semua menggambar gunung dan sawah," ujarnya.

Itulah mungkin mengapa rata-rata foto yang dipamerkan dalam festival ini seperti mewakili kekalahan bangsa ini di laut. Sisi yang membuat bangga mungkin hanya tampil pada foto-foto karya Muhammad Akbar mengenai pembuatan kapal pinisi.

Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus