Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kanvas Entang Wiharso adalah kanvas yang berkisah. Mungkin kisah itu sejenis mitologi, bergerak antara dongeng dan kenyataan. Figur yang ia tampilkan biasanya tak berbaju, sekadar cawat, dengan penampilan cenderung resah. Figur itu seperti terlibat dialog, di tempat terbuka, dengan pohon-pohon, langit, mungkin juga laut. Mengesankan ini alam tropis. Satu-dua lukisan mengesankan alam salju. Yang penting, semuanya alam terbuka, dan sebuah meja makan bertaplak putih pun berada di alam terbuka. Pada beberapa lukisan tampak dua sejoli seperti sedang berasyik-masyuk.
Kisah di kanvas Entang sepertinya sebuah tragedi. Tubuh figur biasanya bebercak-bercak merah, mengesankan luka. Adegan, bila jumlah figur lebih dari satu, seolah-olah terbagi dalam kelompok, seolah-olah ada sesuatu yang dirundingkan.
Tentu gambaran tersebut adalah gambaran garis besar. Lalu dari mana semua itu muncul, ketika zaman Entang bukan lagi zaman "jiwa ketok"? Apakah semua itu didahului dengan sebuah skenario? Melihat goresan dan sapuan pada kanvasnya, tampaknya skenario itu tidak ada—setidaknya skenario dalam pengertian formal. Spontanitas terasa tetap ada, dan masuk akal bila dikatakan itu semua muncul dari bawah sadar sang perupa. Bawah sadar yang sarat dengan pengalaman hidup dari hari ke hari, dari kota ke kota, dari Indonesia dan luar Indonesia.
Kadang tercium bau Jawa (kostum, keris, umpamanya). Pada saat lain bau alam "primitif" (figur tanpa baju, dengan sosok lebih dari alam yang bukan modern). Sesekali ada pula bau "Barat" (salju, figur seperti berseragam polisi Barat). Belakangan, sosok Entang pun ambil bagian: ia masukkan sosok dirinya ke kanvasnya.
Ya, Entang Wiharso hendak hadir dalam kanvas, ambil bagian dalam "mitologi" itu, setelah ia "sukses" hadir dalam dunia seni rupa dunia (pada 1999 ia sudah berpameran di Oakland, Amerika Serikat). Ia perupa yang tak hendak menunggu, tapi agresif dan produktif (hingga 2013 ini 30-an pameran tunggal sudah ia selenggarakan di berbagai tempat). Ia mau tampil, bicara dengan segala kediriannya (konon, ketika pertama kali datang di sebuah kota di Amerika, di kota kelahiran istrinya yang orang Amerika, Entang memasang iklan di koran lokal, menyatakan ingin bertemu dengan perupa setempat).
Juga Entang hendak hadir dalam karya, katakanlah, relief yang lepas, karya yang setengah trimatra. Relief lepas karena latar belakang dihilangkannya, sehingga jadilah sebuah karya—pinjam istilah Nirwan Dewanto, kurator pameran ini—"terawangan": sebuah cutout yang bukan dari bidang datar, melainkan bidang yang berisi, bidang yang tebal. Dan juga karya yang sepenuhnya trimatra: patung. Dan semuanya tetap, menurut saya, karya-karya yang mendongeng, dongeng yang tersusun serentak ketika kita menangkap keseluruhan karya.
Bisa dibayangkan kalau di tiap pameran tunggal Entang suasananya adalah "gemuruh". Setidaknya itu yang saya saksikan di Bentara Budaya, Jakarta (bertajuk "Inter-Eruption", 2005), dan Galeri Nasional Indonesia (bertajuk "Love Me or Die", 2010). Sedangkan pameran di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, saat ini, hingga 11 November bulan depan, kegemuruhan itu jauh berkurang karena karya yang ia tampilkan terbatas, dan kebetulan karya yang dipajang—kurang dari sepuluh karya—memang terasa kurang provokatif, meski tampaknya ada usaha untuk menghadirkan tiap kecenderungan Entang.
Misalnya, karya lukisnya diwakili oleh Reclaim Paradise karya 2013. Pada kanvas 3 x 6 meter itu, selain figur-figur "primitif" tanpa baju, ada figur berbaju dan berpantalon, berkuncir ala Cina, di tangan kanan tergenggam keris, berdiri di pinggir kiri, menghadap ke luar. Ini tampaknya sosok sang perupa, Entang. Berpunggungan dengan sosok ini adalah perempuan berkebaya merah, memegang bunga, bersanggul dengan hiasan untaian bunga (mungkin sosok istri Entang). Tampaknya pria dan wanita ini sepasang pengantin.
Di luar suasana "adem" dan kurang mencerminkan Entang Wiharso, pameran di ruang bundar Salihara ini membuat karya instalasi Entang—disengaja atau tidak—jadi fokus perhatian. Pertama adalah karya berbentuk pagar itu, Crush Me, bertahun 2012-2013. Kedua, Temple of Hope Hit by a Bus, 2011.
Pada pameran "Love Me or Die", Entang sudah membuat Tempel of Hope tanpa "Hit by a Bus". Di Galeri Nasional karya tersebut mendapat ruang sendiri, ruang yang gelap, dan karena itu cahaya lampu di dalam "tandu" memunculkan relief "terawangan" itu dengan jelas. Karya ini mengingatkan saya pada kerobongan, ruang penting dalam susunan rumah Jawa, terletak di tengah agak ke belakang. Kerobongan diisi dengan benda-benda "penting" menurut penghuni rumah. Makna "penting" itu cenderung magis: benda pusaka semacam keris dan tombak, juga tempat tidur. Tempat tidur ini ditempatkan di tengah, biasanya dikelilingi dinding kayu, sehingga membentuk ruang dalam ruang. Tempat tidur yang tidak ditiduri, karena diperuntukkan sang dewi yang tak terlihat: Dewi Sri, pelindung rezeki. Selanjutnya, terjadilah salah-kaprah: bukan hanya keseluruhan ruang itu adalah kerobongan, ruang dalam ruang yang ada tempat tidurnya itu pun disebut kerobongan. Sebutan kerobongan kedua inilah yang teringat oleh saya ketika melihat Temple of Hope pada "Love Me or Die".
Rasa Jawa menyeruak dari Temple of Hope. Meski gambar-gambar "terawangan" itu tak mewakili Jawa, keseluruhan bentuk instalasi ini adalah kerobongan, lengkap dengan dinding atap yang juga bergambar "terawangan". Mungkin bawah sadar saya mengetuk dan muncul di permukaan—saya merasakan Temple of Hope yang magis, cahaya lampu yang membuat gambar "terawangan" jelas seolah-olah matahari kehidupan. Namun perasaan ini terpotong-potong oleh kesan lain dari bawah sadar: ini seperti juga mainan anak-anak "damar kurung" yang khas Tuban, Jawa Timur itu. Dan itulah yang justru membuat saya berlama-lama di ruang ini—serasa karya ini datang dari masa lalu (keseluruhan bentuk itu), namun menyuarakan imaji masa kini (gambar-gambar "terawangan" itu). Lalu antara yang "berat", imaji kejawaan, dan mainan anak-anak damar kurung berkelindan membentuk pengalaman baru.
Entang, dengan medium berbeda, tetap saja mampu mengangkat suara bawah sadarnya. Masalah keterlibatan artisan tak mengganggu ketika kita berhadapan dengan karya ini. Karya ini lebih menampilkan gagasan daripada bentuk rupa. Gagasan itu, menurut saya, adalah ihwal kerobongan tadi—disadari Entang atau tidak: kerobongan dengan kisah masa kini di dindingnya itu.
Jadi Entang dengan sadar atau tidak menggaungkan juga budaya Jawa? Dalam wawancara dengan kurator Salihara, Nirwan Dewanto dan Asikin Hasan, kata Entang, "Jawa itu ada dalam diri saya, jadi saya tak perlu menjawa-jawakan diri."
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo