Angkat Topi buat Brentano Sebuah trio dari Prancis menggelar musiknya di Jakarta. Francoise Tillard (piano), Raymod Maillard (cello), dan Edouard Popa (biola) memberi isyarat sebuah grup yang punya harapan besar di masa datang. KALAU pasalnya tentang seni, orang Prancis memang pandai menarik perhatian. Mereka senang pada hal-hal yang istimewa dalam soal ini. Seleranya tidak murahan dan suka mengetengahkan hal-hal yang khas. Pekan lalu serombongan tukang musik mereka bertandang di Jakarta. Bergabung dalam sebuah trio yang diberi nama Brentano, mereka bermain di Gedung Kesenian Jakarta (26 Januari), yang dipadati pecinta musik klasik. Orang-orang Prancis ini lagi-lagi membawakan acara yang menarik. Dua dari tiga nomor utama yang mereka mainkan adalah nomor repertoir yang sangat jarang bisa kita dengar di gedung konser yang paling jempolan sekalipun. Bahkan, untuk Indonesia, karya-karya tersebut adalah yang pertama kali bisa kita nikmati. Padahal, mereka hanya memainkan karya-karya tiga orang komponis Eropa yang lazimnya sudah kita kenal. Yaitu Debussy, Mendelssohn, dan Beethoven. Lalu apa anehnya? Di Indonesia kita hanya mengenal komponis Mendelssohn yang bernama depan Felix Bartholdy. Karya-karya musiknya menjadi idaman setiap mahasiswa musik Indonesia. Para penyanyi seriosa bintang radio Indonesia mengenal lagu-lagunya yang enak disenandungkan. Ia komponis besar Jerman yang banyak memberi andil pada aliran baru Romantik pada awal abad ke-19. Mendelssohn yang Felix Bartholdy memang terkenal di seantero jagat. Tapi bukan karya dia yang kita dengar di gedung tinggalan Raffles di Pasar Baru itu. Berkat Trio Brentano dari Prancis, kita jadi tahu bahwa ada Mendelssohn yang lain di Jerman. Yaitu Fanny Hensel-Mendelssohn. Mendelssohn adalah nama keluarga, Fanny adalah nama panggilan, sementara Hensel adalah nama suaminya, seorang pelukis cukup terkenal pada zamannya. Fanny Hensel-Mendelssohn ini tak lain dan tak bukan adalah kakak perempuan si komponis Mendelssohn yang terkenal itu. Ia juga seorang komponis dan pinais yang sangat jempolan pada zamannya. Cuma karena ia perempuan yang masih harus tunduk pada adat, nasibnya banyak tertutup bayangan ketenaran adik laki-lakinya. Padahal, Fanny inilah sesungguhnya mentor dan penasihat artistik si Felix yang kesohor itu. Bahkan beberapa karyanya terpaksa harus diatasnamakan adiknya, agar bisa dipergelarkan di depan publik. Sebagai wanita keturunan Yahudi, ia harus banyak tinggal di dapur dan dianggap tak layak sebagai seniman profesional. Trio Brentano memperkenalkan kepada kita karya terakhir komponis perempuan berbakat ini. Trio untuk piano, biola, dan cello dalam d-Minor opus 11. Dalam karya yang mempesona ini, dapat kita tangkap gambaran sesungguhnya bahwa ia memang seorang komponis dan pianis yang hebat. Gaya kompositorisnya bak pinang dibelah dua dengan adik laki-lakinya, Felix Mendelssohn Bartholdy. Teknik tinggi dalam disiplin struktur bentuk yang sangat bertahan pada disiplin klasik, dalam pengucapannya, sudah cenderung pada dinamika dan kebebasan gaya romantik. Seperti karya-karya adiknya yang mengutamakan teknik virtuositas inggi, karya Fanny Hensel-Mendelssohn juga nampak sangat brilyan di atas bilah-bilah piano. Suasana Mendelssohn bersaudara terutama nampak pada bagian kedua dan ketiga karya ini. Francoise Tillard yang bermain pada partisi piano menafsirkan karya ini dengan setepat-tepatnya. Ia mampu menempatkan diri dalam artikulasi tapal batas antara dunia klasik dan gerbang romantik yang menjadi ciri zaman Mendelssohn. Seperti adiknya yang lahir empat tahun belakangan di Hamburg, Fanny Mendelssohn lahir pada 1805 dari suatu dinasti terpelajar yang kaya raya. Sayang, ia mati muda pada 1847, hanya beberapa bulan sesudah kematian adiknya. Buku-buku dan kuliah-kuliah musik di mana pun selalu menyebutkan bahwa Debussy adalah komponis aliran Impresionisme Prancis abad lalu. Siapa bilang? Trio Brentano memberitahukan kepada kita melalui permainan mereka dalam Trio en Sol bahwa Debussy tidak hanya impresionistis. Dan itu benar. Debussy lebih dari sekadar seorang impresionis. Claude-Achille Debussy lahir di St. Germain en Laye, dekat Paris, pada 1862 dan meninggal di Paris 1918. Memang dialah yang mendobrak kemacetan kebudayaan musik Eropa tepat seratus tahun yang lalu, dengan pandangan-pandangan barunya yang kemudian disebut sebagai mazhab impresionisme. Tapi itu sebenarnya baru terjadi pada dasawarsa terakhir abad kita yang lalu. Tepatnya pada 1892. Tahun-tahun sesudahnya adalah perkenalannya dengan puisi simbolistik, seni rupa impresionis, berbagai aliran kepercayaan, kebudayaan, dan musik negara-negara lain, terutama gamelan Jawa yang ia kenal melalui Expo Paris 1889. Bayi impresionis itu ia baptis terutama melalui karya orkestranya yang sangat terkenal, Prelude a l'apresmidi d'un faune, berdasarkan sajak-sajak Mallarme. Nah, sebelum periode ini tentunya Debussy mempunyai sosok yang sama sekali lain. Sosok lain inilah yang diperkenalkan oleh Trio Brentano kepada pendengar-pendengarnya di Jakarta. Beberapa tahun yang lalu ditemukan potongan-potongan manuskrip karya Debussy di berbagai perpustakaan di Amerika. Sebagian ditemukan di Washington, sebagian di An Arbor, dan sebagian lagi di perpustakaan lain. Kumpul punya kumpul, ternyata itulah karya Debussy yang berlabel Trio en Sol. Maksudnya, trio dalam dasar nada "G". Dasar nada "G" apa, tidak disebut dalam karya itu. Lho, kok aneh? Ya aneh, karya itu memang ditulis Debussy ketika ia baru berumur 18 tahun, yaitu pada 1880. Jadi, masih jauh dari zaman impresionisme. Anehnya lagi, bagaimana potongan-potongan manuskrip ini sampai bertebaran di berbagai perpustakaan Amerika? Belum ada yang tahu. Barangkali dibawa para imigran, atau para tengkulak Amerika yang pernah melancong ke Paris. Yang jelas, melalui ulah Trio Brentano kita bisa belajar, betapa karya seni begitu dihormati di negeri orang yang berbudaya tinggi. Buktinya, sampai-sampai karya "anak ingusan" umur 18 tahun pun diselamatkan di berbagai perpustakaan penting. Karya itu kemudian diterbitkan pada 1986 di Amerika. Karya Debussy yang satu ini sungguh sama sekali jauh dari gaya impresionisme. Ia lebih condong ke gaya-gaya Romantik akhir, yang memang sangat berpengaruh di seluruh Eropa pada waktu itu. Seperti sebagian karya musik kamar para komponis, trio Debussy ini juga memberi kesan kuat sebagai suatu karya latihan mencipta. Sifat-sifat elementer dan napas eksperimennya masih sangat terasa. Ia sama sekali tidak menunjukkan warna Debussyan seperti yang kita kenal. Tapi justru di sinilah pengalaman itu sangat menarik bagi mereka yang sama sekali belum mengenal sisi lain dari Debussy. Angkat topi buat Trio Brentano, yang telah mampu memotret sisi lain dari wajah Debussy. Francoise Tillard adalah pianis Trio dari Prancis yang pandai menempatkan diri secara loyal dalam karya orang lain. Banyak instrumentalis, terutama para solis, yang karena ego besarnya ingin lebih besar dari karya yang dihadapinya. Akibatnya, ia justru menunggangi karya orang, bukannya mengabdi. Dalam sebuah permainan musik kamar, pemain seperti ini tidak banyak gunanya. Tidak demikian dengan Francoise Tillard. Menarik memperhatikan bagaimana pianis ini dengan setia terus-menerus merenangi karya yang ia hadapi sebagaimana sang komponis menghendakinya. Dengan dukungan Raymod Maillard yang permainan cellonya begitu sensibel dan Edouard Popa yang bermain lumayan pada biola, Trio Brentano memberi isyarat sebagai sebuah grup yang mempunyai harapan besar di masa datang. Sebelum ditutup dengan ankor Adagio dari Trio Nr. 4 op. 11, yang aslinya ditulis untuk klarinet, biola, dan piano oleh Ludwig van Beethoven pada 1748, tamu kita dari Prancis ini mengakhiri pergelaran musiknya dengan sebuah Trio dalam Besmayor opus 97, yang ditulis oleh komponis yang sama pada 1811. Karya ini adalah terindah dari 6 karya trio Beethoven untuk formasi yang sama. Karena sifat-sifat dan struktur garapnya yang simfonis, ia dijuluki sebagai Pastoral per camera, untuk mengingatkan kita pada simfoni ke-6 komponis besar tersebut. Pada karya ini, Trio Brentano menunjukkan kematangan interpretasinya sebagai sebuah grup yang sudah banyak makan asam garam musik berbagai aliran. Sebuah muhibah musik dari Prancis yang menarik dan tidak sia-sia. Silakan datang lagi dengan keistimewaan yang lain! Suka Harjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini