Siapa PEREMPUAN itu berjalan oleng mendekati saya, dan berkata, "Tolong, beri saya recehan. Saya perlu minum." Plaza itu telah sunyi menjelang jam 21. Musim dingin (angin menyayat dan sisa salju tertabur becek) menghalau orang dari jalanan. Penduduk melindungi diri di kamar-kamar. Cuma kios koran di Harvard Square itu yang masih buka, dan di kedai kue Au Bon Pain hanya nampak dua tiga pembeli. Saya lewat di sana, mengepit koran dan memasukkan tangan rapat-rapat dalam saku, dan agak kaget dipergoki perempuan itu. "Bisa bagi recehnya?" tanya perempuan itu. Aksennya aneh. Dia mabuk. Saya berjalan terus, seperti tak mau acuh, dan terdengar ia menggerutu. Atau menangis. Siapa dia? Dari mana? Saya sering melihatnya berdiri di tepi jalan, menunggu derma orang sambil berlindung di ceruk bangunan di tepi Massachusetts Avenue, antara toko buku dan kedai yogurt. Tubuhnya kecil dan pipinya kempot. Tapi parka yang dikenakannya cukup baik dan bersih. Saya semula menyangka ia seorang pelancong ke sudut Cambridge ini, yang kemudian kehabisan uang karena satu dan lain hal, dan terpaksa mengemis buat sementara. Tapi kemudian beberapa kali saya melihatnya begitu, dan malam itu, ketika ia mendatangi saya dengan oleng dan berbau alkohol, dan minta uang receh untuk "minum", saya tak bisa tahu lagi siapa dia, dan kenapa dia di sini. Dia dikirim ke pojok jalan itu, tanpa rumah dan tanpa pekerjaan, oleh Ronald Reagan -- kata seorang ekonom di sekolah tinggi MIT, seorang pintar yang masygul melihat keadaan yang ditinggalkan oleh pemerintahan Reagan. Di Amerika kini kian sukar jadi kelas menengah: seseorang harus punya istri atau suami yang bekerja untuk menambah penghasilan agar bisa hidup layak. Sekarang -- dengan cara Reagan mengatur ekonomi tempo hari -- jarak bertambah jauh antara si kaya dan si miskin. Reagan, dan kemudian di sana-sini diteruskan oleh Bush, telah menghadirkan kapitalisme dalam bentuknya yang terburuk sejak Perang Dunia II: kapitalisme yang enggan memajak si kaya buat meringankan si miskin. Di stasiun kereta bawah tanah Downtown Crossing, Boston, tujuh laki-laki tak berumah tergolek. Wajah, pakaian, dan sepatu mereka mewakili sebuah dunia yang terjerumus: kacau, putus asa, kumuh. Orang-orang lewat, peduli atau tak peduli, turun dari sepur, dan naik tangga: persis di lantai di atas stasiun itu, toko Filene dan Jordan March membentangkan lantai-lantainya yang bertaburan parfum.... "Mohon bagi recehnya," para gelandangan berkata. "Beri kami ketip," para penganggur itu berbisik. Jika ada Neraka, kata seorang teman yang tak saleh, adalah jadi bokek di Amerika. Tak punya uang di musim dingin, tak punya uang di depan makanan yang berlimpah, tak punya uang dan sendirian di antara mayoritas yang kelas menengah semua itu menyebabkan menjadi melarat adalah menjadi tersisih, aneh, mungkin dikasihani atau disalahkan, dan yang pasti: tak putus-putusnya diiming-imingi. Bukankah seperti pernah dikatakan, di masyarakat ini, hiburan bagi para kecebong ialah bahwa di antara mereka kelak akan ada yang jadi katak? Dan itulah kemerdekaan, kata Milton Friedman, itulah kebebasan. Di Eropa Timur pun orang kini berseru "kemerdekaan". Ada harapan bahwa dengan kebebasan akan datang kemakmuran. Betapa mencemaskan harapan itu, sebab kebebasan bisa juga berarti rasa pahit dan lapar dan berjalan oleng di Harvard Square tanpa sepotong gobang di saku. Memang, Marx sendiri mengatakan, bahwa kaum borjuis telah membuat dunia berubah lebih maju, dengan penemuan dan teknologi yang menakjubkan. Dan beberapa dasawarsa terakhir ini juga terbukti, bahwa bukan Uni Soviet atau Cina tapi Jepang, bukan Cekoslovakia tapi Malaysia, bukan Korea Utara tapi Korea Selatan, yang bergerak dengan cepat dan sejahtera. Manusia nampaknya memang lebih bisa tangkas pada saat ia memikirkan kepentingannya sendiri.... Tapi apa setelah itu? Saya tak tahu. Saya cuma kenal Tuan Pottinger. Hampir tiap pagi, bila matahari sedang mampir ke Cambridge dan ramah, ia akan nampak berlari sepanjang Sungai Charles, seperti menikmati gerak tubuh, juga cuaca yang sedap dan tepi yang berumput rapi dan jajaran pohon-pohon maple yang asri. Umur Pottinger 50, tapi ia masih nampak ramping dan sehat. Ia seseorang yang telah punya segala-galanya. Ia punya sejumlah perusahaan. Anaknya tiga dan sudah lulus Harvard atau MIT atau Standford, dan kini tinggal mewarisi satu kekayaan yang besar. Istrinya cantik dan baik. Pottinger sendiri cukup dikenal dan dihormati, penyumbang teater dan orkes gesek, kolektor lukisan abstrak dan kerajinan rakyat, pengeliling dunia dan tetangga yang sopan. Maka, untuk apa dan untuk siapa lagi dia bekerja, berlari, berpakaian, bepergian? Adakah ia tak bosan, dan segala jadi hambar? Ia tak pernah bilang. Tapi sering saya lihat ia, setelah sekian putaran berlari, akan duduk di salah satu bangku di tepi kali, memandang burung-burung putih yang bertebar di permukaan air. Rasa puas? Atau sebuah kesepian di dasar yang tak sadar? Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini