BERMULA dari disertasi Sahlan Asnawi yang dipertahankannya di depan Sidang Senat Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Sabtu dua pekan lalu. Disertasi berjudul Nilai Prediksi Hasil Beberapa Test Psikologi Terhadap Profisiensi Jabatan itu mengantarkan Sahlan meraih gelar doktor psikologi. Sahlan, Direktur Personalia dan Umum Perum Pelabuhan II Tanjungpriok, Departemen Perhubungan, lewat penelitiannya mencoba menganalisa tingkat kesahihan nilai prediksi hasil tiga unsur tes psikologi -- intelijensia, kepribadian, dan minat -- yang dilakukan secara bersama-sama dalam penerimaan pegawai baru. Tujuan utamanya adalah untuk melihat seberapa besar sumbangan tiap-tiap tes itu sebagai perangkat prediktor. Dan seberapa jauh korelasi positif antara tes psikologi dan 16 unsur profisiensi jabatan setelah si pegawai baru aktif bekerja. Enam belas unsur profisiensi (totalitas kemampuan yang ditunjukkan dalam kerja) itu antara lain inisiatif, pengetahuan jabatan, ketajaman persepsi, ketepatan pengambilan keputusan, kuantitas kerja, kualitas kerja, kerja sama. Sahlan mengambil sampel 542 pegawai Departemen Perhubungan. Mereka adalah sarjana yang dijaring melalui tes psikologi tahun 1978 hingga 1983. Namun, hanya 358 subyek yang kemudian dianggap layak. Itu pun cuma 290 subyek yang bisa diolah. Dan yang penting, penelitian ini dilakukan terhadap pegawai yang baru memiliki masa kerja dua tahun. Hasil analisa Sahlan menunjukkan bahwa bila ketiga tes itu dilakukan bersama-sama, ternyata tidak mempunyai korelasi signifikan dengan 16 unsur profisiensi jabatan secara total. Hanya lima unsur yang dipenuhi. Yakni pengetahuan jabatan, inisiatif, ketajaman persepsi, kualitas kerja, dan pergaulan. Itu berlaku pada kelompok pegawai pria dan wanita, antara pegawai di satu unit dan unit lainnya, serta antara pegawai lulusan PTS dan PTN. Khusus terhadap empat unsur profisiensi jabatan lulusan PTS dan PTN, Sahlan melihat adanya perbedaan dalam beberapa hal yang dinilai cukup penting. Yakni pada unsur sikap terhadap pengawasan, kualitas kerja, kesehatan, dan kerja sama. Di sini lulusan PTS menunjukkan keunggulan. Keunggulan itu bisa terjadi karena terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi. Misalnya karena sadar bahwa kuliah di PTS menuntut biaya besar, sehingga "daya tempur" mereka tinggi. Bisa juga karena mereka kebanyakan berasal dari keluarga menengah ke atas, sehingga mampu membiayai perolehan keahlian tambahan lewat kursus dan kegiatan di luar kampus. Sebenarnya ini hanya salah satu kesimpulan dari beberapa kesimpulan yang diketengahkan Sahlan. Akan tetapi, justru inilah yang menjadi perbincangan belakangan ini, karena diperbandingkannya lulusan PTS dan PTN. Apalagi timbul kesan bahwa mutu lulusan PTN kalah dibandingkan lulusan PTS. "Saya sendiri tidak setuju kalau lulusan PTS dikatakan lebih unggul daripada lulusan PTN," ujar Sahlan. "Jangan lupa bahwa saya melakukan penelitian hanya pada hasil tes psikologi penerimaan pegawai baru Departemen Perhubungan. Dalam empat unsur yang saya sebutkan, mereka (lulusan PTS) memang unggul," ujar Sahlan. Sahlan segera memberikan catatan. "Lulusan PTS di Departemen Perhubungan sedikit. Bisa jadi, mereka adalah yang terbaik dari kampusnya," katanya. Buktinya, menurut Sahlan, banyak sarjana PTS yang melamar ke Departemen Perhubungan, tapi hanya sedikit yang diterima. "Komposisi pegawai Departemen Perhubungan adalah 80% lulusan PTN, dan sisanya swasta," tuturnya. Ini diperkuat oleh Prof.Dr. Masrun, M.A., Ko-Promotor Sahlan. "Lulusan PTS yang ditolak karena gagal tes lebih banyak dibanding lulusan PTN," kata Masrun. Sahlan mengakui bahwa penelitiannya hanya bersifat assessment study, penelitian terhadap suatu kondisi hasil kegiatan. "Jadi, bukan penelitian murni," katanya. Disebut tidak murni, karena cuma menyangkut hasil tes psikologi dan profisiensi kerja subyek dalam masa dua tahun. Malahan, untuk melihat profisiensi itu, Sahlan tidak melakukan wawancara atau menyebarkan kuesioner pada subyeknya langsung, melainkan pada atasan tiap-tiap subyek. Itu pun dengan kuesioner. "Dan jawaban atasan kan bisa subyektif," ujar Sahlan. Kalau memang penelitian ini tidak murni, mengapa proposal Sahlan untuk mengajukan disertasi diterima oleh UGM? "Saya sendiri tidak menduga bakal diterima. Empat setengah tahun lalu saya mengajukannya ke Senat Guru Besar UGM, dan langsung disetujui," kata Sahlan, yang mengaku sebagai satu-satunya doktor di bidang psikologi dari luar kampus -- maksudnya tak menjadi staf pengajar dan tidak menempuh S-2. Dengan disertasi itulah Sahlan dinyatakan lulus "dengan sangat memuaskan". Ini mengagetkan banyak orang. Begitu diobralkah gelar doktor saat ini? Tunggu dulu. Ada SK Menteri P dan K bernomor 0207/1987, yang menyebutkan bahwa lulusan S-1 sebelum tahun 1979 berhak mengajukan disertasi doktor tanpa harus memasuki program pascasarjana. Namun, kesempatan itu diberikan sampai 1990. Nah, Sahlan, yang lulus Fakultas Psikologi UGM pada 1968, memanfaatkan peluang itu. "Yang penting, otaknya mampu dan tidak harus staf pengajar," ucap Prof.Dr. Ismadi, Pembantu Dekan I Fakultas Pascasarjana UGM. Ismadi menyebutkan sudah ada 124 calon doktor menunggu giliran yudisium di UGM. Banyaknya calon doktor itu bukan berarti kriteria mutu diturunkan. "Memang sekarang jarang sekali yang lulus cum laude, tetapi itu bukan berarti mutu doktor merosot," kata Ismadi. Suasana serupa terjadi di semua PTN. Maka, jangan heran kalau koran-koran hampir setiap hari memuat lahirnya seorang doktor. Priyono B. Sumbogo dan Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini