NASIB Istifadah terkatung-katung. Padahal, bayi putri berusia 9 bulan yang lahir di Desa Sukowono, Kecamatan Pujer, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, ini perlu penanganan segera. Beratnya 18 kilogram, panjangnya 82 sentimeter. Seperti "bayi raksasa". Pada umur ini, berat bayi rata-rata 8 kilo, dan panjangnya 65-70 sentimeter saja. Para dokter yang merawat Istifadah, di Bondowoso, hingga kini masih berdebat tentang penyebab kelainan itu. Mereka juga tidak sepaham dalam menentukan penanganan selanjutnya. Terjadi beda pendapat antara para dokter yang merawatnya di RS Bondowoso dan para dokter di dinas kesehatan kabupaten itu. Sekilas, tak tampak sesuatu yang mendesak pada bayi tersebut. Dan menurut kedua orangtuanya, Abdul Halim dan Nursamah, anak ketiga mereka ini sehat walafiat. "Waktu mengandung sampai melahirkan, semua wajar-wajar saja," kata Nursamah, 35 tahun. "Sewaktu masih di kandungan, secara tetap kami periksa ke Puskesmas Pujer," kata Abdul Halim, 45 tahun. Lain dr. Djoko Pamardi, Kepala Puskesmas Pujer. Ia berpendapat Istifadah tumbuh tak normal. Karena itu, ia merujuk dr. Sulaiman Isa, dokter ahli anak di RS Bondowoso. Setelah pemeriksaannya, Sulaiman memperkirakan penyebabnya sangat mungkin gigantisme. Karena itu, dokter itu berniat segera mengirim Istifadah ke RS dr. Sutomo, Surabaya, untuk pemeriksaan endokrinologi (kondisi hormon). "Di RS Bondowoso tak ada fasilitas untuk pemeriksaan itu," kata Sulaiman. Dalam pada itu, dr. Sutikno Arioredjo, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, yang menerima laporan 19 Januari lalu, tak setuju Istifadah dikirim langsung ke Surabaya. Alasannya: tidak sesuai dengan prosedur. "Kalau kami tidak sanggup, baru dikonsultasikan. Itu pun harus ke rumah sakit tipe B di Jember. RS Bondowoso kan tipe C," ujarnya. "Kalau tidak begitu, lalu apa gunanya rumah sakit ditetapkan tipe-tipenya?" Selain persoalan prosedur yang disebutnya tadi, kata Sutikno, anak itu bukan mengidap gigantisme. Dokter ini cenderung berpendapat, Istifadah menderita obesitas alias kegemukan. Karena itu, anak ini hanya perlu diet. Ia juga melihat kemungkinan kegemukan itu terjadi karena si bayi menderita kencing manis yang diturunkan kedua orangtuanya. Hasil pemeriksaan Sutikno dan dua dokter lain menunjukkan bahwa kedua orangtuanya menderita kencing manis. Sedangkan Prof. Askandar Tjokroprawiro, ahli endokrinologi di RS dr. Sutomo Surabaya, justru meragukan pendapat Sutikno. Dasar analisanya: kegemukan bisa menimbulkan kencing manis. Bukan sebaliknya. Obesitas dan diabetes tak selalu berkait. Di samping itu, kata Askandar, anak kecil yang kena kencing manis, bila tidak dirawat khusus, badannya malah habis. "Biasanya jadi kurus," ujar ahli hormon itu. Maka, Askandar cenderung berpendapat bahwa kondisi Istifadah yang tidak normal adalah salah satu jenis gigantisme. Ia tidak berani memastikannya, karena belum melakukan pemeriksaan. Faktor yang menguatkan dugaan ini ialah kelainan Istifadah bukan hanya kelebihan bobot. Bayi ini juga "melar", lebih panjang dari bayi normal. Gigantisme yang paling umum adalah kondisi di mana produksi hormon pertumbuhan (growth hormon) tidak terkendali akibat kelainan pada otak. Misalnya terdapat tumor pada kelenjar hipofise (salah satu kelenjar seks), yang terletak di bagian tengah otak. Gigantisme biasanya baru nampak gejalanya pada usia remaja, 13-15 tahun. Namun, menurut Askandar, gigantisme bisa juga terjadi pada anak-anak. "Jadi, bayi Bondowoso itu sangat mungkin kena gigantisme. Yaitu, gigantisme cerebral yang terjadi pada anak-anak," katanya. Menurut ahli endokrinologi yang lain, Dr. Koentjoro Soehadi, ada macam-macam penyebab gigantisme pada anak-anak. Bisa karena faktor keturunan atau genetik, bisa juga karena kelainan kelenjar tubuh. "Misalnya kelainan kelenjar seksual, yang mengakibatkan hormon seks diekskresikan terlampau dini," katanya. Koentjoro, yang juga bertugas di RS. dr. Sutomo itu, melihat pula kemungkinan penyebab lain di samping gigantisme. "Yang mencurigakan, ibunya menderita diabetes. Tapi, yang kita belum tahu, apakah diabetes mellitus," katanya. Ia mengutarakan, diabetes mellitus yang tidak terawat baik pada ibu hamil bisa mengakibatkan gangguan pada bayi yang kemudian dilahirkannya. Salah satunya adalah macrosomia, yang dikenal pula sebagai gejala big babies atau bayi besar. "Kelainan macrosomia ini terjadi karena kadar gula darah yang tinggi pada ibu merangsang pembentukan insulin pada janin," kata Koentjoro. Kondisi ini mengakibatkan sel-sel pada jaringan tubuh janin tumbuh tidak normal. Perkembangan bayi yang lahir kemudian juga tidak wajar, besar, dan melebihi bobot yang umum. Toh Askandar dan Koentjoro tak berani memastikan apa penyebab kelainan Istifadah. Mungkin genetik, mungkin hormonal. Mungkin pula gabungan dari keduanya. Askandar dan Koentjoro sama-sama mengemukakan, bayi itu sebaiknya segera menjalani pemeriksaan hormon untuk mengetahui penyebab kelainannya. Dengan kata lain: birokrasi hendaknya mau mengalah untuk keselamatan penderita. Mendengar ada kesulitan biaya, menurut Askandar, belakangan bisa dirundingkan. Biaya pemeriksaannya memang mahal. Tapi yang penting segera bayi itu dibawa ke Surabaya demi keselamatannya. "Bila ada keterangan dari pamong setempat, biaya pengobatannya bisa dibebaskan," katanya. Lampu hijau sudah dinyalakan untuk Istifadah. Jim Supangkat (Jakarta) dan Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini