Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Antara Mati dan Hidup

Asia Tri 2008 di Yogyakarta menghadirkan para maestro butoh dari Jepang berumur 70-an tahun. Gerakannya memang agak lambat, tetapi energi yang terpancar membuat mereka tampak lebih muda.

22 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOSOK itu meliuk, menekuk, merayap, dan merangkak, mengingatkan pada sosok binatang yang sedang berontak melawan belenggunya. Di panggung, dia tak sendirian. Tiga orang pemain gamelan Bali Salekat, Dewa Ketut Alit, Kadek Widana, dan Gusti Ketut Muliawan, mengiringi gerakannya.

Panggung di-setting dengan warna hitam. Sosok tubuh manusia berkepala plontos itu, dengan kulit berbalur cat tubuh sewarna kapas, tersorot lampu panggung. Di sisi kiri panggung, tampak gundukan garam mengerucut, juga tersorot lampu. Keduanya menimbulkan efek warna keperakan.

Butoh berjudul Quick Silver dimainkan Ko Murobushi, diiringi sejumlah alat musik orkestra kontemporer Bali: gong, bilah jegokan, kantilan, bilah ceng-ceng kopyak, kendang, riong, dan aneka seruling.

Pertunjukan itu menampilkan dua karakter yang mencolok. Satu karakter manusia berpakaian lengkap, dengan setelan jas hitam. Tapi seluruh wajah dan kepalanya yang plontos dibalur warna putih. Karakter kedua, dia sebagai binatang, telanjang, mencoba menjadi manusia. Di babak ini, dia sempat mengumbar keliarannya saat merespons gundukan garam di panggung. ”Ya, setelah manusia tidak ada dan seluruh lautan mengering, yang tertinggal hanya garam. Tapi garam juga menjadi kebutuhan manusia,” kata Ko Murobushi.

Untuk menjadi manusia, dia berusaha berdiri. Di akhir adegan, dia memang berhasil berdiri, tetapi akhirnya jatuh oleh teror musik. Salekat dimainkan lebih keras, dipadu sound dari audio yang menggelegar memenuhi ruangan. Dan sosok putih telanjang itu pun jatuh dan jatuh lagi, tak mampu menopang tubuh dengan kedua kaki.

Menurut Ko Murobushi, konsep pertunjukan itu dibuat sekitar tiga minggu lalu, sebelum dia datang ke Indonesia. Maestro butoh berusia 61 tahun ini, pada akhir 1960, berguru pada Tatsumi Hijikata. Tapi hanya bertahan satu tahun, lalu meninggalkan gurunya. ”Guru saya lebih tertarik pada murid lain yang usianya lebih tua,” katanya.

Dia pergi ke gunung, mencoba menjadi pendeta Buddha, tidak makan, hanya berjalan kaki terus. ”Waktu itu saya seperti orang patah hati,” katanya. Setelah melewati dua musim, dia merasa tidak cocok, dan kembali menekuni butoh. Kini sudah empat kali ia berkunjung ke New York, menampilkan sekitar delapan sampai sepuluh karya spektakuler, di Cabee Gallery.

Di Yogyakarta, Ko Murobushi tampil sebagai penutup Asia Tri 2008, sebuah perhelatan seni tari Asia tahunan di Yogyakarta, yang kali ini mengambil tajuk The Life of Butoh.

Empat hari sebelumnya, tampil beberapa penari butoh lain. Yukio Waguri berkolaborasi dengan Besar Widodo. Tomiko Takai, Keiin Yoshimura, Saga Kobayasi, pantomimer Jemek Supardi dan Broto Wijayanto. Juga, kolaborasi Yoshito Ohno dengan Mugiyono Kasido dari Solo.

Kolaborasi itu memang tidak menyatukan butoh dengan penari Jawa. Mereka tampil satu panggung, dan saling merespons. Gerakannya, yang ditampilkan Besar Widodo atau Mugiyono Kasido, tetap menunjukkan mereka bukan pemain butoh. Yoshito Ohno, 72 tahun, pemain butoh generasi kedua yang juga anak Kazuo Ohno, tampil pada malam sebelumnya, dalam koreografi berjudul ”Empty and Emptiness”. Karya itu dibuat, saat dia tiba di Yogyakarta. ”Ide menulis skrip muncul ketika saya sudah menghirup udara Yogyakarta,” kata Yoshito.

Di penginapan, dia menulis skrip dengan huruf kanji, di lembaran kertas hotel, tempat dia menginap. Judulnya Yogyakarta, Kematian dan Kelahiran. ”Ketika saya di Bali, saya melihat kepercayaan yang begitu kuat. Demikian juga di Yogya. Karena ada kepercayaan, pasti percaya pada kematian dan kelahiran,” tuturnya.

Penampilannya terbagi dalam beberapa bagian. Pada tiga babak awal, dia memperagakan koreografi ”titipan” Tatsumi Hijikata. Beberapa kali, Yoshito menghilang ke balik panggung, kemudian muncul kembali, sebagai penanda bergantinya koreografi titipan itu.

Mengenakan celana longgar putih dan kemeja putih, dia melumuri wajahnya dengan warna putih pula. Sebagaimana Ko Murobushi, Yoshito menampilkan gerakan-gerakan yang sangat kaku. Kedua tangannya sering mengejang di depan tubuh, sesekali telapak tangannya terbuka, hingga urat-urat di lengan dan tangannya tampak menonjol.

Di akhir pertunjukan, Yoshito menampilkan gerakan-gerakan yang lebih lincah dengan iringan musik Pink Floyd. Sesekali dia berguling di lantai panggung. Inilah koreografi garapannya sendiri. Di bagian tengah, dia sempat menghilang dari panggung, lalu sebuah layar putih membentang. Sementara itu, proyektor menyorotkan gambar Yoshito Ohno sedang ”bermain-main” dengan ayahnya, Kazuo Ohno, yang kini berusia 103 tahun.

Kazuo Ohno tampak gembira, dengan boneka kecil berbaju hitam yang disodorkan sang anak. Di akhir rekaman, Yoshito muncul di panggung berpakaian jas hitam. Dia membawa boneka berbaju hitam setinggi penggaris, sebagaimana yang terekam dalam gambar sebelumnya. Itulah boneka kesayangan Kazuo, pemberian seorang cantrik asal Meksiko.

Lagu Can’t Help Falling in Love mengalun, mengiringi tarian boneka dan langkah-langkah Yoshito yang kemudian menuruni panggung, berbaur dengan penonton, sembari terus memainkan boneka itu. Penonton seperti tersihir, seolah merasakan kehadiran Kazuo Ohno di gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta, malam itu.

Penampilan dua aliran butoh dari Jepang, Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata, membawa kesan mendalam bagi penonton. Penari asal Yogyakarta, Miroto, misalnya, terharu saat Yoshito memainkan boneka. ”Itu adegan yang sangat menyentuh. Dia bicara tentang ayahnya,” kata Miroto.

Miroto mengaku sangat mengagumi Yoshito. Meski usianya sudah renta, menarinya masih hebat. Menurut Miroto, butoh tidak menghadirkan gerakan-gerakan dinamis, tapi justru menghadirkan gerakan detail yang keluar dari dalam hati. Dalam butoh, kata Miroto, tubuh bukan berorientasi pada otot, tapi pada ruang yang lebih dalam. ”Makanya, penghayatan gerak menjadi bagian yang penting,” tuturnya. Karena itu, untuk menikmati pertunjukan butoh, orang harus belajar dan memahami butoh. Dan cara melihatnya bukan dengan mata, tapi dengan hati.

Penari Besar Widodo, yang juga Direktur Yayasan Bagong Kussudiardja, menilai butoh tak sekadar tarian telanjang, tetapi memiliki makna filosofi yang lebih dalam. Besar memberi contoh Yukio Waguri, yang tampil bersamanya pada malam pertama, dalam Butterfly’s Dream. Waguri berperan sebagai kupu-kupu yang bermimpi menjadi manusia. Tapi, tak sekadar itu, maknanya bisa dijabarkan lebih luas, karena kupu-kupu memiliki siklus abadi.

Yukio Waguri membenarkannya. Menurut dia, Butterfly’s Dream yang ditampilkan dalam beberapa bagian itu, khusus dipersembahkan kepada Kazuo Ohno, juga bisa diartikan sebuah reinkarnasi. ”Saya persembahkan karya ini, pertama untuk Kazuo Ohno, kedua untuk Tatsumi Hijikata,” ujar Waguri.

Dalam workshop, Profesor Morishita, pengamat butoh dari Jepang, dengan tegas mengatakan butoh bukan tarian. Dan itu diakui Ko Murobushi yang mengatakan butoh merupakan campuran death body and life. Alasannya, kematian posisinya harus terbaring, tetapi butoh berdiri juga. ”Jadi, ini merupakan perpaduan antara yang mati dan hidup,” kata Ko Murobushi.

Para maestro butoh itu usianya memang tak muda lagi. Tapi semangat yang luar biasa itu muncul saat mereka tampil di panggung. Umurnya pun tampak lebih muda dari yang sebenarnya. Lihat saja Tomiko Takai, yang seusia Yoshito Ohno dan mempelajari butoh pada Kazuo Ohno, awal 1960. Gerakannya memang agak lambat, tetapi energi yang terpancar membuat tampak lebih muda. ”Hebat, sudah nenek-nenek tapi masih begitu kuat,” kata seorang penonton.

Munculnya butoh bermula dari karya berjudul ”Kinjiki” atau warna yang terlarang, yang dipentaskan Tatsumi Hijikata. Karya ini menuai kontroversi besar-besaran dan disebut sebagai karya antisosial. Sejak itu, nama Hijikata melambung. Dia berkeras melahirkan tarian baru dengan bendera avant-garde, dengan nama Ankoku Butoh atau butoh kegelapan.

Hijikata lalu mengajak Kazuo Ohno, penari ulung pada masanya, dan pada 1960-an lahirlah butoh sebagai jenis tarian baru, yang diusung Tatsumi Hijikata, Kazuo Ohno, Yoshito Ohno, dan Akira Kasai.

Di Yogya ini, penonton dapat menikmati dua gaya, aliran Ohno dan Hijikata. Menurut Yoshito Ohno, perbedaan itu muncul karena Tatsumi Hijikata dan Kazuo Ohno mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda. Kazuo hidup sebagai nelayan, sehingga lebih terbuka, lebih bisa dinamis. Sedangkan Hijikata hidup di gunung, tertutup salju, sehingga butoh yang ditampilkan sering menggunakan gerakan meringkuk dan lebih sering tidak mengenakan kostum.

Mereka sama-sama bermain butoh, dengan sisi yang berlawanan. Gelap, terang, hidup, dan mati.

L.N. Idayanie, Heru C.N.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus